
PSBB Ketat DKI, Pengusaha ini Minta Pajak Daerah Dihapus!

Jakarta, CNBC Indonesia - PemberlakukanĀ pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta mulai Senin (14/9/2020) menuai pro dan kontra dari kalangan pengusaha.
Beberapa asosiasi menganggap, kebijakan pengetatan PSBB di DKI Jakarta, sudah mengakomodasi keinginan pengusaha. Namun, ada juga yang merasa, pemberlakukan PSBB kali ini tidak adil.
Semisal dari Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bidang Organisasi Maulana Yusran. Ia mengaku tidak ada koordinasi dari Pemprov DKI Jakarta perihal pengetatan PSBB.
"Kalau koordinasi, sejauh yang saya tahu, gak ada persiapan pelaksaan itu," kata Yusran kepada CNBC Indonesia, Minggu (13/9/2020).
Pengusaha pun, menurut dia, semacam 'setengah hati' untuk menerima kebijakan PSBB DKI Jakarta kali ini. Kebijakan PSBB yang diterapkan selama ini, tidak adil kepada pengusaha. Sebab, pengsuaha tidak pernah mendapatkan stimulus dari pemerintah daerah saat PSBB diterapkan. Misalnya saja pajak daerah yang harus dibayarkan oleh para pengusaha.
"Bagaimana kita bayar pajak kalau misalnya usaha tidak berjalan atau bergerak. Kita gak pernah tahu sampai kapan akan terjadi. Nah tentu pemerintah memberikan satu win-win solution kepada kami pelaku usaha. Jangan kita dibuat kebijakan gak boleh melakukan kegiatan usaha, tapi pajaknya ditarik, itu kan gak fair," ujar Yusran.
Seandainya pajak daerah tidak ditarik, menurut dia, mungkin pengusaha akan menerima 'setulus hati' dengan adanya kebijakan PSBB sudah dilakukan oleh pemerintah daerah selama ini. Masalahnya, kata Yusran, di samping harus membayar pajak, pengusaha pun masih harus untuk menanggung beban, membayar gaji para karyawannya.
"Jangan sampai juga kita terbebani, kecuali kebijakannya jelas. Ini sudah tiga bulan nggak boleh melakukan usaha, dan kemudian baru dibuka Juni, tapi tiba-tiba ditutup lagi. Dan kita dari dulu gak mendengar namanya relaksasi dari kepala daerah," katanya.
"Tidak ada satu pun kebijakan kepala daerah yang merelaksasi pajak daerah ke pelaku usahanya," lanjutnya.
Adapun pajak daerah yang dimaksud Yusran yakni Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak reklame, pajak kendaraan, dan sebagainya. Oleh karena itu, Yusran meminta agar ada relaksasi pemberhentian pungutan pajak daerah kepada daerah.
Karena pajak-pajak yang ditarik daerah tersebut, menurut Yusran, sangat berguna bagi arus kas perusahaan untuk bisa bertahan. Pun pengsuaha mengklaim, relaksasi berupa diskon pun tidak akan bisa membuat pengusaha, terutama hotel dan restoran untuk membayarnya.
"Relaksasinya bukan diskon lagi, tapi kami sudah tidak bisa bayar. Kami telat bayar saja masih didenda," kata Yusran.
Senada, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mande juga berharap, di tengah pemberlakukan PSBB Jilid II di Jakarta, ada relaksasi pungutan pajak dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Roy berharap ada stimulus dari Pemprov Jakarta, untuk bisa setidaknya melakukan penundaan bayar pajak yang ditarik oleh daerah.
"Stimulus yang diharapkan itu, misalnya penundaan dalam hal pembayaran pajak PBB, pajak reklame, atau pajak air dan tanah. Itu mesti ada stimulus penundaan. Kalau gak ada pengurangan, ya minimal penundaanlah," katanya kepada CNBC Indonesia.
Roy juga berharap pemerintah pusat bisa memberikan keputusan atau suatu aturan baku. Tujuannya agar para pengusaha ritel bisa mendapatkan kredit korporasi di perbankan. Karena selama ini, saat pengusaha ritel mengajukan permohonan kredit korporasi kepada perbankan, perbankan selalu menolak.
"Korporasi kredit yang dikucurkan 27 Juli oleh Ketua Satgas PEN [Budi Gunadi Sadikin], itu belum menyentuh para peritel. Dengan alasan pihak bank yang ditugaskan 15 bank, bank pemerintah, dan bank swasta umum, itu tidak pernah menyediakan itu. Selalu memberitahukan ke kita itu, juklak/juknis [untuk peritel] itu belum ada," ujar Roy.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Anies Izinkan Mal Buka Saat PSBB, Pengusaha Mal Happy?