
Waspada Gelombang II, Pasien Covid-19 Berisiko Kena Lagi?
Rahajeng Kusumo, CNBC Indonesia
02 June 2020 17:37

Jakarta, CNBC Indonesia- Menjelang diberlakukannya new normal di Indonesia, timbul kekhawatiran terjadinya gelombang kedua penularan COVID-19 di Indonesia. Selain itu, apakah orang yang sudah pernah terkena COVID-19 bisa tertular lagi?
Ketua Laboratorium Mikrobiologi FKUI Pratiwi Sudarmono mengatakan setiap orang yang pernah terinfeksi tubuhnya akan secara otomatis membuat kekebalan dan meningkatkan immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM), inilah yang terlihat pada rapid tes.
Untuk menyebabkan perubahan yang jelas dari reaksi, menurutnya tidak bisa karena pemilihan immunoglobulin pada protein tertentu yang tidak berubah dari virus tersebut. Sayangnya, menurut Pratiwi di Indonesia masih kurang dilakukan sequencing terhadap virus ini.
"Kalau saya kena dan hasilnya negatif kemudian 2-3 minggu dites PCR kemudian positif, dan kemudian diambil virusnya dites lagi sequence-nya sama, maka itu reaktivasi. Artinya virus itu dari yag sudah ada di tubuh seseorang sebelumnya," kata Pratiwi, Selasa (02/06/2020)
Akan tetapi jika ternyata sequence dari virus ini berbeda, artinya orang tersebut terkena reinfeksi.
"Jadi dalam artian terinfeksi lagi, virus Sars-Cov-2 masuk ke kita lagi," tambahnya.
Pratiwi menegaskan penting dilakukan sequencing dari virus ini untuk melihat variasi dari Sars-Cov-2 ini. Dari sequencing ini bisa terlihat dari mana virus tersebut datang, apakah dari Wuhan, China langsung ke Indonesia, atau telah berpindah-pindah sebelum masuk ke Indonesia.
Meski perbedaan variasinya tidak cukup bermakna, namun Pratiwi menilai melalui sequencing penting mengetahui dari mana virus ini datang dan juga perkiraan waktunya. Dengan begitu peneliti pun bisa mencocokan dengan berbagai karakter sehingga bisa dipelajari.
"Kita bisa tahu dari mana virus itu datang. Apakah virus itu sudah jalan dari Wuhan, dan tanggal berapa dia sampai karena sebenarnya bisa pertengahan Januari virus itu masuk ke Indonesia. Lalu apakah itu jalan dari ke Singapura, ke Eropa, kemudian Amerika baru masuk ke Indonesia. Itu yang dikatakan ada di Jawa Timur, memang berbeda sama yang Jakarta. Makin banyak virus yang kita sequencing kita makin banyak tahu dari mana virus itu datang," jelas Pratiwi.
Selain itu menurutnya, untuk kembali beraktivitas pun masyarakat tidak bisa menunggu virusnya hilang, karena Sars-Cov-2 akan tetap ada. Pratiwi menegaskan yang perlu dilakukan adalah memikirkan bagaimana tata cara bekerja, belajar, bersosialisasi, dan beribadah dalam kondisi ada virus corona.
"Sampai sekarang dianggap efektif dan dipraktikkan di seluruh dunia, kita harus ubah perilaku kita," katanya.
Meski demikian dia juga mengakui tetap ada kekhawatiran terjadinya gelombang kedua COVID-19 setelah new normal ini berjalan. Sayangnya, ketakutan masyarakat tersebut tidak diikuti oleh perilaku yang semestinya.
"Takut gelombang kedua, tapi sekarang masyarakat malah merasa lebih leluasa pergi kesana kemari, pergi ke restoran, dan yang lainnya. Ketakutannya iya, tetapi perilakunya enggak," kata Pratiwi.
Dia menegaskan gelombang kedua bisa saja terjadi karena pergerakan yang luar biasa, dari mulai arus balik setelah lebaran gelombang kedua bisa terjadi, kemudian pekerja migran yang kembali ke Indonesia.
"Virus itu melakukan mutasi secara terus menerus karena dia virus RNA, bisa saja dia berkembang di satu daerah dan lebih banyak dari kemarin," katanya.
Apalagi tidak ada pembatasan yang jelas, ataupun bekerja dari rumah sehingga orang tidak takut lagi untuk keluar. Dengan begitu, kemungkinan penularan pun menjadi sangat tinggi.
(gus) Next Article RI New Normal, Pakar Epidemi: Waspada Gelombang II Corona!
Ketua Laboratorium Mikrobiologi FKUI Pratiwi Sudarmono mengatakan setiap orang yang pernah terinfeksi tubuhnya akan secara otomatis membuat kekebalan dan meningkatkan immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM), inilah yang terlihat pada rapid tes.
Untuk menyebabkan perubahan yang jelas dari reaksi, menurutnya tidak bisa karena pemilihan immunoglobulin pada protein tertentu yang tidak berubah dari virus tersebut. Sayangnya, menurut Pratiwi di Indonesia masih kurang dilakukan sequencing terhadap virus ini.
Akan tetapi jika ternyata sequence dari virus ini berbeda, artinya orang tersebut terkena reinfeksi.
"Jadi dalam artian terinfeksi lagi, virus Sars-Cov-2 masuk ke kita lagi," tambahnya.
Pratiwi menegaskan penting dilakukan sequencing dari virus ini untuk melihat variasi dari Sars-Cov-2 ini. Dari sequencing ini bisa terlihat dari mana virus tersebut datang, apakah dari Wuhan, China langsung ke Indonesia, atau telah berpindah-pindah sebelum masuk ke Indonesia.
Meski perbedaan variasinya tidak cukup bermakna, namun Pratiwi menilai melalui sequencing penting mengetahui dari mana virus ini datang dan juga perkiraan waktunya. Dengan begitu peneliti pun bisa mencocokan dengan berbagai karakter sehingga bisa dipelajari.
"Kita bisa tahu dari mana virus itu datang. Apakah virus itu sudah jalan dari Wuhan, dan tanggal berapa dia sampai karena sebenarnya bisa pertengahan Januari virus itu masuk ke Indonesia. Lalu apakah itu jalan dari ke Singapura, ke Eropa, kemudian Amerika baru masuk ke Indonesia. Itu yang dikatakan ada di Jawa Timur, memang berbeda sama yang Jakarta. Makin banyak virus yang kita sequencing kita makin banyak tahu dari mana virus itu datang," jelas Pratiwi.
Selain itu menurutnya, untuk kembali beraktivitas pun masyarakat tidak bisa menunggu virusnya hilang, karena Sars-Cov-2 akan tetap ada. Pratiwi menegaskan yang perlu dilakukan adalah memikirkan bagaimana tata cara bekerja, belajar, bersosialisasi, dan beribadah dalam kondisi ada virus corona.
"Sampai sekarang dianggap efektif dan dipraktikkan di seluruh dunia, kita harus ubah perilaku kita," katanya.
Meski demikian dia juga mengakui tetap ada kekhawatiran terjadinya gelombang kedua COVID-19 setelah new normal ini berjalan. Sayangnya, ketakutan masyarakat tersebut tidak diikuti oleh perilaku yang semestinya.
"Takut gelombang kedua, tapi sekarang masyarakat malah merasa lebih leluasa pergi kesana kemari, pergi ke restoran, dan yang lainnya. Ketakutannya iya, tetapi perilakunya enggak," kata Pratiwi.
Dia menegaskan gelombang kedua bisa saja terjadi karena pergerakan yang luar biasa, dari mulai arus balik setelah lebaran gelombang kedua bisa terjadi, kemudian pekerja migran yang kembali ke Indonesia.
"Virus itu melakukan mutasi secara terus menerus karena dia virus RNA, bisa saja dia berkembang di satu daerah dan lebih banyak dari kemarin," katanya.
Apalagi tidak ada pembatasan yang jelas, ataupun bekerja dari rumah sehingga orang tidak takut lagi untuk keluar. Dengan begitu, kemungkinan penularan pun menjadi sangat tinggi.
(gus) Next Article RI New Normal, Pakar Epidemi: Waspada Gelombang II Corona!
Most Popular