Selain Pajak, Ini Masalah lain Toko Online di RI
Bernhart Farras, CNBC Indonesia
12 January 2019 11:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian keuangan baru saja meluncurkan PMK PMK No.210/PMK.010/2018 tentang e-commerce. Aturan ini memberikan tata cara dan prosedur pemajakan bagi toko online.
Dalam beleid ini, pedagang dan e-commerce yang menjual barang akan dikenakan kewajiban pajak penghasilan (PPh) sesuai ketentuan perundang-undang di bidang pajak penghasilan.
E-commerce juga punya tugas untuk memungut dan menyetorkan pajak. Ada tiga pajak yang akan dikutip e-commerce, yakni pajak pertambahan nilai (PPN) yang tertunggak sebesar 10%, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPNBM).
Selain itu, Kementerian keuangan juga mewajibkan pedagang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memberikan NPWP kepada pengelola e-commerce.
Masalah toko online di Indonesia bukan hanya tentang pajak saja. Toko online juga disoroti soal marahnya produk impor yang ditawarkan kepada konsumen.
Maraknya produk impor yang dijual melalui toko online punya dampak negatif bagi nilai tukar rupiah. Banyaknya barang impor akan membuat defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) melebar. Bila terus CAD melebar, nilai tukar rupiah bisa melemah terhadap mata uang lainnya.
Selain itu, maraknya barang impor bisa membuat produk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tidak berkembang dan tak laku dijual. Padahal UMKM merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.
Untuk masalah ini, pemerintah sejak awal tahun 2018 sedang menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) e-commerce.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti mengatakan RPP e-commerce sedang dalam tahap pembahasan.
"Online dan offline akan disamakan aturan mainnya," ujarnya melalui pesan singkat kepada CNBC Indonesia, Jumat (11/1/2019).
Itu artinya, penjualan produk lokal di toko online akan disamakan dengan aturan ritel konvensional. Dalam aturan yang dibuat Kemendag sebelumnya, perusahaan ritel konvensional harus menjual 80% produk lokal.
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy) Next Article Deras Barang China di Lazada-Shopee Cs, Apa Kata Bea Cukai?
Dalam beleid ini, pedagang dan e-commerce yang menjual barang akan dikenakan kewajiban pajak penghasilan (PPh) sesuai ketentuan perundang-undang di bidang pajak penghasilan.
E-commerce juga punya tugas untuk memungut dan menyetorkan pajak. Ada tiga pajak yang akan dikutip e-commerce, yakni pajak pertambahan nilai (PPN) yang tertunggak sebesar 10%, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPNBM).
Maraknya produk impor yang dijual melalui toko online punya dampak negatif bagi nilai tukar rupiah. Banyaknya barang impor akan membuat defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD) melebar. Bila terus CAD melebar, nilai tukar rupiah bisa melemah terhadap mata uang lainnya.
Selain itu, maraknya barang impor bisa membuat produk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tidak berkembang dan tak laku dijual. Padahal UMKM merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia.
Untuk masalah ini, pemerintah sejak awal tahun 2018 sedang menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) e-commerce.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti mengatakan RPP e-commerce sedang dalam tahap pembahasan.
"Online dan offline akan disamakan aturan mainnya," ujarnya melalui pesan singkat kepada CNBC Indonesia, Jumat (11/1/2019).
Itu artinya, penjualan produk lokal di toko online akan disamakan dengan aturan ritel konvensional. Dalam aturan yang dibuat Kemendag sebelumnya, perusahaan ritel konvensional harus menjual 80% produk lokal.
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy) Next Article Deras Barang China di Lazada-Shopee Cs, Apa Kata Bea Cukai?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular