MARKET DATA

Pemerintah Perang Melawan Judol dan Penipuan, Begini Strategi Komdigi

Intan Rakhmayanti Dewi,  CNBC Indonesia
08 December 2025 16:35
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid saat rapat dengan Komisi I DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (8/12/2025). (CNBC Indonesia/Intan Rakhmayanti)
Foto: Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid saat rapat dengan Komisi I DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (8/12/2025). (CNBC Indonesia/Intan Rakhmayanti)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid memaparkan secara detail peta tantangan dan kebijakan terbaru yang tengah dijalankan kementeriannya untuk menjaga ekosistem digital tetap aman dan berkeadilan.

Dalam rapat kerja bersama DPR RI Komisi I, Meutya menjelaskan bahwa dua tantangan terbesar di ruang digital saat ini adalah maraknya serangan disinformasi serta meningkatnya risiko kejahatan akibat informasi yang tak terkendali.

Untuk itu, menurutnya, Komdigi memperkuat tiga pilar utama, yakni regulasi tata kelola, jaringan komunikasi publik, dan kemudian kesiapan SDM dan juga literasi dari masyarakat.

Meutya memaparkan beberapa kerangka hukum yang menjadi landasan pengawasan ruang digital, Undang-Undang ITE Nomor 1 Tahun 2024, kemudian Undang-Undang nomor 27 Tahun 2022 terkait pelindungan data pribadi.

Kemudian turunan dari Undang-Undang ITE yaitu PP nomor 71 tahun 2019 terkait penyelenggaran sistem dan transaksi elektronik atau PP-PSTE. Kemudian turunan dari Undang-Undang ITE dalam bentuk Permenkominfo nomor 5 tahun 2020 terkait pengaturan PSE publik dan privat.

Di bawah aturan PSE tersebut, Komdigi belakangan menegur sejumlah platform global, termasuk Cloudflare dan ChatGPT, karena belum memenuhi kewajiban pendaftaran. Meutya menegaskan bahwa teguran tersebut sudah ditindaklanjuti melalui pertemuan langsung dengan para platform.

"Pembicaraannya telah terjadi, jadi artinya mereka datang ke kantor Komdigi dan kita tengah mencari solusi terbaik agar negara tetap berwibawa para penyelenggara PSE ini mendaftar kepada pemerintah, di saat yang bersamaan juga kita bisa memberikan atau mereka bisa memberikan layanan bagi masyarakat secara aman," kata Meutya saat rapat kerja dengan Komisi I DPR, di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (8/12/2025).

Selain itu, salah satu regulasi terbaru yang disorot adalah PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak, atau dikenal dengan PP TUNAS. Aturan ini mencegah anak-anak membuka akun media sosial sebelum usia yang dinilai layak.

Meutya mengungkapkan bahwa regulasi tersebut menarik perhatian dunia. Setelah ditandatangani presiden pada Maret 2025, negara tetangga seperti Malaysia hingga sejumlah negara Eropa kini mempertimbangkan untuk mengadopsi aturan serupa.

Inti aturan PP TUNAS bukan memberikan sanksi kepada anak maupun orang tua, melainkan mewajibkan platform digital memastikan secara teknologi bahwa anak-anak di bawah usia tertentu tidak bisa membuat akun.

"Sekali lagi, pada dasarnya aturan ini adalah mengatur bagi penyelenggara sistem elektronik untuk tidak secara teknik, secara teknologi tidak membiarkan anak-anak di usia tertentu masuk ke dalam ranah PSE-nya" tegasnya.

Indonesia juga menerapkan struktur batas usia yang lebih detail dibanding negara lain, mulai dari 13 tahun untuk kategori ringan, 16 tahun untuk PSE berisiko tinggi, dengan syarat pendampingan orang tua, dan 18 tahun untuk akses akun secara mandiri.

(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Awas Kena Catphishing, Modus Penipuan Baru-Kuras Habis Rekening


Most Popular