Review

Perang Operator Seluler RI, Siapa Pemenangnya?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
05 April 2022 17:40
Penjual Ritel Operator Seluler
Foto: Penjual Ritel Operator Seluler (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang di industri telekomunikasi, khususnya penyedia layanan operator seluler kian hari kian sengit. Hal ini salah satunya dapat terlihat dari konsolidasi bisnis yang dilakukan demi dapat bertahan dan menantang pemimpin pasar.

Kondisi tersebut membuktikan bahwa industri ini merupakan salah satu yang paling menarik, salah satunya karena menjanjikan pendapatan yang relatif tetap setiap bulan dari jasa yang ditawarkan baik itu layanan panggilan dan pesan singkat maupun data internet dengan sistem pembayaran di awal (prabayar) maupun di akhir (pascabayar).

Indonesia yang digadang-gadang akan menjadi salah satu ekonomi digital terbesar di dunia, juga menjadi alasan lain bagi para operator untuk tidak keluar dari arena tinju. Penetrasi ekonomi digital tentu akan meningkatkan jumlah pelanggan, dengan ekonomi digital yang lebih besar pada akhirnya akan mendongkrak permintaan, khususnya akan data internet.

Pertumbuhan ekonomi digital salah satunya terlihat dari menjamurnya layanan video on demand baik itu produk dalam negeri maupun impor. Streaming drama Korea hingga pertandingan sepak bola berkualitas jernih pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi data dan merupakan peluang yang tidak akan dilewatkan oleh para penyedia operator seluler Tanah Air.

Saat ini terdapat empat emiten yang menawarkan jasa operator seluler di Indonesia yakni Telkom Indonesia (TLKM) dengan kartu sejuta umat Telkomsel, kemudian ada XL Axiata (ECXL), Indosat (ISAT) dan Smartfren (FREN).

Operator utama lainnya di Tanah Air termasuk 3 yang tahun lalu baru saja menyelesaikan merger dengan Indosat.

Lalu bagaimana kondisi pasar telekomunikasi Indonesia? Emiten mana yang dapat memaksimalkan pendapatan dari para pelanggannya?

Berdasarkan jumlah pelanggan, Telkomsel masih memimpin dengan pangsa pasar lebih dari setengah total pelanggan Tanah Air. Hingga akhir tahun 2020 jumlah pelanggan pasca bayar Telkomsel mencapai 6,5 juta pelanggan, dengan 163 juta lainnya menggunakan kartu prabayar.

Indosat dan XL berada di posisi dua dan tiga dengan selisih tipis di antara keduanya - angka ini akan berubah jika ditambah pengguna kartu 3, dan di posisi terakhir ada emiten milik Grup Sinarmas.

Dalam tiga tahun terakhir jumlah pengguna layanan pasca bayar mengalami pertumbuhan, kecuali Indosat yang jumlah pelanggannya sempat turun tahun 2019, sebelum kembali naik tahun 2020.

Senada, pelanggan prabayar juga mengalami peningkatan dalam tiga tahun ke belakang, dengan Smartfren mencatatkan pertumbuhan pelanggan lebih dari dua kali lipat sepanjang tahun 2018-2020.

Indonesia yang merupakan negara penghasilan menengah tetapi memiliki demografi yang cukup besar, memaksa seluruh operator melakukan perang harga demi mengamankan pelanggan setia dan menambah pangsa pasar ke depan.

Operator berlomba-lomba menawarkan harga serendah mungkin, yang mana pada akhirnya menekan pendapatan rata-rata per pelanggan (ARPU/average revenue per user). ARPU yang rendah pada akhirnya tentu akan berkontribusi pada kinerja laba yang juga kurang optimal.

Meski demikian dalam tiga tahun terakhir ARPU dari operator seluler mencatatkan pertumbuhan, kecuali Smartfren yang malah turun setiap tahun.

Hingga akhir tahun 2020, tidak ada satu pun operator dalam negeri yang ARPU gabungannya (prabayar dan pasca bayar) menyentuh angka Rp 50.000.

ARPU gabungan tertinggi dicatatkan oleh Telkomsel yang tumbuh dari Rp 41.000 di 2018 menjadi Rp 44.000 pada 2020, diikuti XL Axiata yang ARPU-nya juga meningkat menjadi Rp 36.000. Selanjutnya ada Indosat yang ARPU meningkat lebih dari 70% dari tahun 2018 menjadi Rp 31.900 pada tahun 2020.

Secara kontrak pembelian, layanan pasca bayar jauh lebih menguntungkan. Di luar Telkomsel yang tidak merinci ARPU berdasarkan kontrak, XL Axiata memimpin sebesar Rp 111.000 dan meningkat dalam tiga tahun terakhir. Sementara itu Smartfren dan Indosat angka ARPU-nya masing-masing tercatat turun dari tahun 2018.

Dari kontrak prabayar, XL memimpin dengan ARPU sebesar Rp 34 ribu, diikuti oleh Indosat sebesar yang naik 84% menjadi Rp 30.500 pada 2020. Sedangkan Smartfren ARPU nya malah turun lebih dari sepertiga dari semula tertinggi tahun 2018, menjadi hanya Rp 29.300 di tahun 2020.

Cakupan jaringan 4G yang lebih luas, konsumsi data yang lebih tinggi, dan lebih banyak penawaran layanan bernilai tambah meningkatkan pendapatan layanan agregat sektor industri seluler global beberapa tahun terakhr. Akan tetapi, berdasarkan riset pasar S&P Global, langganan seluler yang tumbuh lebih cepat menyebabkan penurunan pendapatan rata-rata per pengguna sebesar 0,6% pada tahun 2019 lalu.

Hal ini berkebalikan dengan kondisi di Indonesia yang ARPU-nya terus mengalami kenaikan. Meski demikian nilainya masih merupakan salah satu yang terendah di dunia.

Tahun 2019, ARPU tertinggi dicatatkan Telkomsel sebesar Rp 46.000 atau setara dengan US$ 3,20 (kurs Rp 14.350/US$) yang mana hanya lebih tinggi dari beberapa negara termasuk India (US$ 1,36), Bangladesh (US$ 1,51) dan Pakistan (US$ 1,75).

Untuk mengukur keterjangkauan barang dan jasa, dalam risetnya S&P Global menggunakan pendapatan per kapita yang dapat dibelanjakan (disposable income) sebagai metrik proksi karena ini menunjukkan rata-rata uang berlebih yang dimiliki untuk dibelanjakan. Dalam perhitungan tersebut paritas daya beli (purchasing power parity) juga ikut dipertimbangkan untuk perbandingan yang lebih baik.

Hasilnya setelah membandingkan metrik ini dengan ARPU, diperoleh korelasi positif bahwa pasar dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dalam disposable income memiliki ARPU seluler yang lebih tinggi.

India, Bangladesh, dan Pakistan memiliki ARPU terendah dalam daftar kami, tetapi mereka juga memiliki pendapatan per kapita yang dapat dibelanjakan terendah.

Sementara Kanda menjadi negara dengan harga layanan seluler paling tidak terjangkau, relatif terhadap disposable income. Beberapa negara lain yang harga layanan selulernya relatif kurang terjangkau adalah Korea Selatan, Jepang dan Norwegia.

 

Keterjangkauan Biaya SelulerFoto: S&P Global
Keterjangkauan Biaya Seluler

 Tarif Data RI Paling Murah di ASEAN

Rendahnya ARPU membuat akses internet semakin dekat dengan masyarakat karena harganya mampu ditekan secara signifikan. Bahkan rata-rata harga internet dari operator seluler Indonesia menjadi yang terendah dibandingkan negara lain di kawasan Asia Tenggara. Dilaporkan jika harga 1GB di tanah air hanya Rp 6.000.

Dalam pemaparan yang disampaikan Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kementerian Kominfo, Aju Widya Sari, terlihat jika harga rata-rata internet yang mendekati Indonesia di Vietnam senilai US$ 0,49. Tiga negara Singapura, Timor Leste dan Fillipina memiliki rata-rata harga internet di atas US$ 1.

Bahkan di Brunei Darussalam mencatat harga rata-rata tertinggi di Asia Tenggara dengan US$2,23 (Rp 32.014).

Selain harga yang murah, Aju juga menjelaskan produk yang ditawarkan para operator cukup banyak. Bahkan menurutnya mencapai 1000an produk dari bulan ke bulan.

Menurutnya hal tersebut menunjukkan persaingan yang ketat di industri mobile broadband. Untuk mendapatkan kenaikan pendapatan cukup menantang dari sisi operator, ujar Aju.

"Untuk mendapatkan sedikit ya pendapatan yang naik dari operator cukup menantang dari operator, kita perlu memperhatikannya dari segala sisi. Tidak hanya dari tarifnya tapi apa sih yang menjadi penyebab ini semua," kata dia.

Aju mengatakan pendapatan operator sangat tergantung untuk bisa memperbaiki kecepatan rata-rata bandwidth layanan internet dari negara tetangga.

Untuk daya serap sendiri, 30% masyarakat Indonesia masuk dalam segmentasi rentan kemiskinan. Tarif murah sendiri menjadi pilihan bagi masyarakat di dalam negeri.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular