Tantangan Bank Digital & Ramalan 'Tiga Raksasa' Bos BCA

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
16 August 2021 07:25
Foto Story 10 Tahun Pasca Krisis Ekonomi 2008
Foto: Gubernur Bank of England Mervyn King (REUTERS/Jonathan Ernst/File photo)

Untuk melihat apakah ke depan bank digital di Indonesia akan mengalami konsolidasi seperti perkiraan Jahja, ada baiknya kita menengok kondisi di negara maju, yang beberapa tahun lebih dini mengembangkan industri keuangan digital.

Harus diakui, bank digital mulai marak setelah krisis keuangan 2008 yang ditandai dengan ambruknya raksasa keuangan Lehman Brothers. Bank beraset US$ 600 miliar ini digulung skandal surat berharga beragunan kredit properti risiko tinggi (sub-prime mortgage loan).

Saat itu, publik tak menyangka bahwa raksasa keuangan itu, yang menawarkan jasa pengelolaan keuangan kepada puluhan juta nasabah di seluruh dunia, justru gagal mengelola keuangan mereka sendiri, sehingga bangkrut.

"Menurut saya, kepercayaan terhadap bank tidak sekuat sebelumnya... skandal yang terjadi itu menunjukkan bahwa nama besar bukan segalanya, dan saya pikir saat itulah startup mulai dilirik dan dipercayai konsumen," tutur Nikolay Storonsky, kepada CNBC International. Nikolay adalah mantan karyawan Lehman yang menjadi Direktur Utama Revolut, bank digital Inggris.

Sejak krisis 2008, regulator di seluruh dunia memperketat pengawasan dan permodalan bank. Secara bersamaan, bank sentral membuka sektor keuangan menuju open banking, yang memungkinkan beroperasinya perusahaan keuangan berbasis teknologi (fintech).

Memang, sejak krisis 2008, bank-bank digital, utamanya yang berbentuk startup atau sering disebut dengan istilah 'challenger bank' bermunculan. Menurut penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, yang pertama kali muncul adalah Jibun Bank (Jepang), disusul beberapa lainnya Selain Revolut di Inggris, ada Fidor di Jerman, Chime di Amerika Serikat (AS).

Namun, apakah konsolidasi terjadi di negara-negara tersebut? Belum. Mengambil kasus di Inggris, Accenture mengungkapkan bahwa bank-bank digital masih eksis, beroperasi, dengan jutaan basis pelanggan. Konsolidasi seperti proyeksi Jahja belum terjadi, tetapi justru ada tantangan yang lebih besar dari itu, yakni: mereka nggak ke mana-mana.

Dalam laporan "Digital Banking Tracker" (2020) firma konsultan global ini menyebutkan bahwa rata-rata dana simpanan masyarakat di bank digital Inggris anjlok 25%, dari £350 menjadi £260 per pelanggan di semester kedua 2019. Tren ini menunjukkan bahwa publik belum sepenuhnya nyaman dengan layanan keuangan berbasis digital tersebut.

"Anjloknya dana simpanan itu menunjukkan bahwa mereka masih kesulitan menggeser pemain petahana sebagai tujuan utama masyarakat menyimpan gaji bulanan mereka. Jika ingin berhasil, neobank harus menyulap kecepatan akuisisi pelanggan dan keunggulan biaya layanan rendah menjadi laba,' tuturnya dalam laporan yang dirilis Februari 2020, sebelum pandemi menerjang.

(ags/roy)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular