Jakarta CNBC Indonesia - Lanskap bank digital diyakini kian mengerucut dalam tren konsolidasi dan konsentrasi penguasaan pangsa pasar meski pandemi mengakselerasi masyarakat untuk bermigrasi ke layanan keuangan tanpa kehadiran fisik tersebut. Namun, perkembangan di negara maju justru menyatakan ada tantangan lain yang lebih serius.
Adalah Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja yang baru-baru ini memantik perbincangan mengenai arah perkembangan industri perbankan digital. Meski secara tegas dia mengakui bahwa tren menuju digital tidak terelakkan, dia meyakini hanya akan ada tiga bank digital besar di Tanah Air.
Argumen tersebut dibangun dengan mengacu pada sejarah perbankan di Indonesia, di mana jumlah bank sempat mencapai 200-an pada tahun 1990. Namun kini, hanya ada 7-8 bank besar yang menguasai 60-70% market share.
"Apa yang terjadi pada 1998? Secara alam terfilterisasi, sehingga sekarang mungkin bank-bank besar 7-8 bank sudah menguasai sekitar 60-70% dari market share. Jadi, bank digital juga demikian saya pikir, hanya tiga yang punya kemampuan untuk berlanjut," tuturnya kepada CNBC Indonesia dalam program Money Talks, pada Jumat (13/8/2021).
Dia kemudian memberikan contoh fenomena bank digital yang terjadi di beberapa negara. Salah satunya Korea Selatan yang saat ini hanya memiliki satu bank digital dan sudah bisa menghasilkan keuntungan, yaitu KakaoBank.
"Di Jepang ada Rakuten, income perkapita tinggi sekali tapi hanya ada 1-2 bank yang berhasil. Thailand, ada satu. Artinya, di setiap negara, at the end of the day, itu enggak akan lebih dari tiga, menurut saya," kata Jahja.
Dalam satu hal, Jahja benar ketika menyebutkan bahwa pemain bank digital saat ini memang banyak-meski tidak sampai ratusan (seperti jumlah bank konvensional di era 1990-an). Menurut data Neobank.app, ada lebih dari 200 bank digital yang beroperasi di seluruh dunia.
Jumlah terbanyak ada di Eropa, yakni sebesar 75 bank, diikuti Amerika Serikat (AS) sebanyak 58 bank, dan baru kemudian Asia Pasifik dengan jumlah 42 bank digital. Afrika dan Timur Tengah berada di posisi buncit dengan jumlah 13 bank digital.
Di Indonesia, bank digital jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari meski banyak bank (terutama buku dua) yang menyatakan niat dan rencana bertransformasi menjadi bank digital. Salah satu bank digital tersebut adalah Bank Digital BCA dengan nama merek 'blu'.
Sejauh ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproses izin operasi bank digital murni untuk tujuh bank (lihat di tabel, yang dicetak biru), sementara sisanya baru membangun layanan digital inovatif, atau bekerja sama dengan startup (perusahaan rintisan digital), dan menjajaki peralihan menjadi bank digital murni.
Untuk melihat apakah ke depan bank digital di Indonesia akan mengalami konsolidasi seperti perkiraan Jahja, ada baiknya kita menengok kondisi di negara maju, yang beberapa tahun lebih dini mengembangkan industri keuangan digital.
Harus diakui, bank digital mulai marak setelah krisis keuangan 2008 yang ditandai dengan ambruknya raksasa keuangan Lehman Brothers. Bank beraset US$ 600 miliar ini digulung skandal surat berharga beragunan kredit properti risiko tinggi (sub-prime mortgage loan).
Saat itu, publik tak menyangka bahwa raksasa keuangan itu, yang menawarkan jasa pengelolaan keuangan kepada puluhan juta nasabah di seluruh dunia, justru gagal mengelola keuangan mereka sendiri, sehingga bangkrut.
"Menurut saya, kepercayaan terhadap bank tidak sekuat sebelumnya... skandal yang terjadi itu menunjukkan bahwa nama besar bukan segalanya, dan saya pikir saat itulah startup mulai dilirik dan dipercayai konsumen," tutur Nikolay Storonsky, kepada CNBC International. Nikolay adalah mantan karyawan Lehman yang menjadi Direktur Utama Revolut, bank digital Inggris.
Sejak krisis 2008, regulator di seluruh dunia memperketat pengawasan dan permodalan bank. Secara bersamaan, bank sentral membuka sektor keuangan menuju open banking, yang memungkinkan beroperasinya perusahaan keuangan berbasis teknologi (fintech).
Memang, sejak krisis 2008, bank-bank digital, utamanya yang berbentuk startup atau sering disebut dengan istilah 'challenger bank' bermunculan. Menurut penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, yang pertama kali muncul adalah Jibun Bank (Jepang), disusul beberapa lainnya Selain Revolut di Inggris, ada Fidor di Jerman, Chime di Amerika Serikat (AS).
Namun, apakah konsolidasi terjadi di negara-negara tersebut? Belum. Mengambil kasus di Inggris, Accenture mengungkapkan bahwa bank-bank digital masih eksis, beroperasi, dengan jutaan basis pelanggan. Konsolidasi seperti proyeksi Jahja belum terjadi, tetapi justru ada tantangan yang lebih besar dari itu, yakni: mereka nggak ke mana-mana.
Dalam laporan "Digital Banking Tracker" (2020) firma konsultan global ini menyebutkan bahwa rata-rata dana simpanan masyarakat di bank digital Inggris anjlok 25%, dari £350 menjadi £260 per pelanggan di semester kedua 2019. Tren ini menunjukkan bahwa publik belum sepenuhnya nyaman dengan layanan keuangan berbasis digital tersebut.
"Anjloknya dana simpanan itu menunjukkan bahwa mereka masih kesulitan menggeser pemain petahana sebagai tujuan utama masyarakat menyimpan gaji bulanan mereka. Jika ingin berhasil, neobank harus menyulap kecepatan akuisisi pelanggan dan keunggulan biaya layanan rendah menjadi laba,' tuturnya dalam laporan yang dirilis Februari 2020, sebelum pandemi menerjang.
Analis Accenture Tom Merry menyebutkan ada "faktor kepercayaan" di balik turunnya dana simpanan masyarakat di perbankan digital di Inggris. Enam tahun berlalu sejak bank digital pertama muncul di sana, tetapi bank digital di Negeri Big Ben ini belum beranjak dari pasar milenial.
Sebagaimana diketahui, milenial adalah anak muda yang umumnya belum memiliki kemapanan finansial seperti baby boomer. Accenture memaparkan bahwa rerata pendapatan bank digital dari tiap nasabah di Inggris adalah £9, atau 30 kali lipat lebih kecil dari rerata pendapatan bank petahana terhadap nasabah mereka yang sebesar £270.
Hukum bilangan berperan dalam menciptakan ketimpangan ini. Meski dua bank sama-sama mendapat margin bunga bersih 3%, tetapi hasilnya tentu berbeda jauh jika dikenakan terhadap dua aset dengan bilangan berbeda: Rp 30 miliar untuk aset kelolaan Rp 1 triliun dan Rp 30 juta untuk dana kelolaan Rp 1 miliar.
Oleh karena itu, bank digital harus lebih berhati-hati dengan aksi bakar uang untuk membangun public awareness. Demikian juga dengan investasi besar-besaran untuk membangun infrastruktur digital. Semua harus dihitung dengan mengukur target tingkat pengembalian yang didapatkan.
Di tengah kondisi demikian, pandemi menjadi semacam blessing in disguise bagi pelaku industri bank digital. Studi firma konsultan global Deloitte, misalnya, menyebutkan bahwa terjadi peningkatan penggunaan platform perbankan non-konvensional di Swiss selama pandemi, dari kisaran 9-16% pada saat prapandemi, ke kisaran 14-33% selama pandemi.
 Sumber: Deloitte |
Studi Chase di Amerika Serikat (AS) mengonfirmasi temuan tersebut. Unit usaha bank JP Morgan ini melakukan survei terhadap 1.500 nasabah perbankan dari berbagai latar belakang dan umur. Hasilnya, 54% nasabah perbankan mengakui bahwa mereka menggunakan platform bank digital lebih sering selama pandemi tahun 2020, jika dibandingkan dengan tahun 2019.
Tidak berhenti di situ, mereka juga menyatakan bahwa penggunaan platform atau fitur digital akan terus mereka lakukan setelahnya. "Pandemi telah menunjukkan bahwa layanan perbankan digital menjadi esensial bagi konsumen dari semua umur untuk mengelola keuangan mereka," tutur Allison Beer, Head of Digital Chase.
Dan ternyata, 30% responden menyatakan bahwa mereka telah menginstal aplikasi pembayaran pihak-ke-pihak (peer-to-peer payment/P2P) selama semester kedua 2021. Sebanyak 45% yang sudah menginstalnya sebelum pandemi kini menggunakannya lebih sering ketimbang tahun lalu.
P2P adalah platform pembayaran dari akun ke akun tanpa harus melewati proses otorisasi seperti teller perbankan. Chase menemukan bahwa mayoritas responden memilih memakai platform P2p untuk menghindari penggunaan uang kertas yang rentan menjadi sarana penyebaran virus.
Jika bank digital gagal memanfaatkan peluang pandemi, maka proyeksi Jahja bisa jadi benar. Hanya dua-tiga bank digital yang meraja, itupun anak-anak usaha dari bank yang sudah mapan. Mereka yang tak dapat dukungan dana dan ekosistem petahana bisa layu sebelum berkembang.
TIM RISET CNBC INDONESIA