Rupiah Digital vs Bitcoin, Apa Perbedaannya?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 February 2021 20:00
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengungkapkan rencana bank sentral menerbitkan rupiah digital, mengikuti beberapa bank sentral di dunia lainnya. Hal tersebut diungkapkan Gubernur Perry saat menjawab pertanyaan dari Founder/Chairman CT Corp Chairul Tanjung mengenai cryptocurrency dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook, Kamis (25/2/2021) kemarin.

"Kami rumuskan Central Bank Digital Currency yang BI akan terbitkan dan edarkan dengan bank-bank dan fintech secara wholesale dan ritel," ujar Perry. Menurut Perry, BI akan berkoordinasi dengan bank sentral lainnya untuk mengeluarkan mata uang digital ini.

Rupiah atau mata uang digital lainnya disebut Central Bank Digital Currency (CBDC) tentu berbeda dengan mata uang kripto seperti bitcoin yang popularitasnya sedang menanjak belakangan ini.

Meski sama-sama disebut "mata uang" tetapi keduanya memiliki perbedaan yang sangat jelas, bahkan bisa dikatakan berlawan. Kemunculan bitcoin sebagai pionir mata uang kripto untuk lepas dari kendali suatu entitas dalam hal ini adalah bank sentral.

Seperti diketahui, mata uang konvensional atau fiat yang beredar saat ini diterbitkan dan dikendalikan oleh bank sentral. Jumlahnya bisa ditambah atau dikurangi sesuai keperluan bank sentral untuk menggerakkan roda perekonomian. Ketika bank sentral menambah jumlah uang yang beredar, maka nilainya akan menurun. Artinya, daya beli pemegang mata uang fiat juga akan menurun.

Penurunan nilai mata uang tersebut juga menjadi salah satu alasan kenapa bitcoin muncul. Jumlah bitcoin saat ini sebanyak 21 juta, dan yang sudah bereda di pasaran sekitar 18 juta. Sisanya bisa diperoleh dengan cara menambang (mining). Terbatasnya jumlah bitcoin tersebut membuat nilainya akan terjaga, oleh kerena itu mata uang kripto yang satu ini juga disebut sebagai emas digital.

CBDC yang diterbitkan bank sentral tentunya jumlahnya bisa ditambah atau dikurangi sesuai dengan keperluan.

Namun, bukan berarti bitcoin dan mata uang kripto lainnya bebas dari penurunan nilai. Bitcoin terkenal dengan volatilitasnya yang ekstrim, harganya bisa turun atau pun naik belasan hingga puluhan persen dalam kurun waktu kurang dari 24 jam. CBDC meski meliki risiko penurunan nilai, tetapi pergerakannya akan lebih stabil sama dengan mata uang fiat, sebab dikontrol oleh bank sentral.

Perbedaan lainnya, bitcoin saat ini sudah terbukti bisa digunakan secara global (cross boarder). Misalnya dalam mengirimkan uang dari satu negara ke negara lainnya, bisa dilakukan dalam waktu singkat tanpa dengan biaya yang murah sebab tanpa melibatkan pihak ketiga.

Sementara CBDC masih mencakup seputaran domestik karena mata uang yang diterbitkan oleh bank sentral untuk menfasilitasi transaksi negara tersebut.

Saat ini, baru ada 1 CBDC yang sudah masuk tahap pilot project, yakni yuan digital atau e-CNY yang dirilis bank sentral China (People's Bank of China/PBoC).

Meski demikian, PBoC kini mulai bekerja sama dengan Otoritas Moneter Hong Kong (HKMA), bank sentral Thailand, dan bank sentral Uni Emirat Arab, dalam mengembangkan CBDC untuk transaksi cross border.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> CBDC Bakal Buat Beli Rokok di Warung?

CBDC pada dasarnya belum ada saat ini, semuanya masih dalam proses riset. Hanya China yang sudah sampai pada tahap pilot project e-CNY. Bagaimana model dan teknologi CBDC nantinnya juga masih belum pasti, apakah menggunakan teknologi blockchain seperti bitcoin, atau sistem lainnya, semua tergantung dari bank sentral yang akan merilisnya.

Bank for International Settlement (BIS) menyebutkan CBDC harus memenuhi 6 kebutuhan utama nasabah, yakni privasi, mudah digunakan, aman seperti uang tunai, memiliki akses universal, pembayaran luar negeri (cross-border), serta kegunaan peer-to-peer.

Berdasarkan kebutuhan utama tersebut, ada 3 model CBDC yang disajikan yakni, yakni indirect CBDC, direct CBDC, dan hybrid CBDC.

Menurut Moody's dalam model indirect CBDC tidak ada perubahan besar dari peran bank sentral. Model indirect CBCD hampir sama dengan sistem finansial saat ini. Transaksi finansial dilakukan melalui perantara (dalam hal ini bank komersial).

Sementara itu model direct CBDC akan membuat perubahan besar di sistem finansial, sebab individu, merchant, hingga korporasi dapat memiliki rekening langsung di bank sentral, sehingga semua transaksi akan melalui bank sentral. Hal tersebut tentunya mengubah peran bank sentral saat ini yang hanya menangani transaksi antar bank komersial.

Terakhir, model Hybrid CBDC, yang ini menggabungkan antara direct dan indirect CBDC. Model ini diterapkan oleh PBoC dalam menerbitkan e-CNY.

Dalam beberapa bulan terakhir bank sentral China sudah melakukan uji coba e-CNY di beberapa wilayah. JD.com menjadi e-commerce pertama yang menerima pembayaran menggunakan yuan digital.

Akhir tahun lalu, kota Suzhou sudah membagikan voucher senilai 20 juta yuan (US$ 3 juta) ke warganya dalam bentuk e-CNY. Setiap voucher tersebut berisi 200 e-CNY, dan bisa dibelanjakan di JD.com. Sebelumnya voucher e-CNY juga dibagikan di kota Shenzhen senilai 10 juta yuan.

Di awal tahun ini uji coba kian meluas, ibu kota Beijing kebagian voucher e-CNY senilai US$ 1,5 juta, kemudian terbaru kota Chengdu yang mendapat jatah, bahkan nilainya paling besar mencapai US$ 6 juta.

Dalam pengumumannya, pemerintah kota Chengdu mengatakan penduduk setempat dapat bergabung dalam program undian untuk mendapatkan 200.000 voucher. Masing-masing voucher akan berisi Yuan digital dengan nilai US$27 hingga US$37.

Seperti selebaran Beijing, uji coba Chengdu terkait dengan Tahun Baru Imlek dan akan bekerja dengan pengecer lokal dan aplikasi e-commerce JD.com. Pemenang undian dapat menggunakan voucher dari 3-19 Maret, melansir CNBC International, Rabu (24/2/2021).

Lantas bagaimana dengan rupiah digital? Sejauh ini belum ada keterangan dari BI bagaimana modelnya. Jika melihat e-CNY, kemungkinan rupiah digital juga akan bisa digunakan di platform e-commerce terlebih dahulu.

Ke depannya, bukan tidak mungkin membeli rokok di warung bisa menggunakan rupiah digital. Sebab seperti yang disebutkan BIS CBDC harus memenuhi 6 kebutuhan utama nasabah, yakni privasi, mudah digunakan, aman seperti uang tunai, memiliki akses universal, pembayaran luar negeri (cross-border), serta kegunaan peer-to-peer.

Kegunaan peer-to-peer tersebut yang akan memungkinkan rupiah digital untuk membeli rokok di warung. Toh e-CNY selain di JD.com juga bisa digunakan di beberapa pengecer.

Lantas bagaimana dengan bitcoin? Jawabannya sudah pasti tidak bisa. Sebab alat pembayaran yang sah sesuai undang-undang di di Indonesia hanya rupiah. Hal tersebut ditegaskan Gubernur BI Perry Warjiyo.

"Seluruh alat pembayaran menggunakan koin, kertas dan digital menggunakan rupiah dan wewenang di BI. Digital currency wewenang di BI, kami jelaskan bitcoin bukan alat pembayaran sah," ujarnya Kamis kemarin.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/roy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ramai-ramai Investor Lirik Bitcoin, Cuannya Menggirukan?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular