Dicari Bank Pembaharu yang Siap Saingi Fintech

Yuni Astutik, CNBC Indonesia
24 February 2021 14:35
mata uang Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Urgensi pengembangan bank digital di Indonesia muncul di tengah semakin berkembangnya layanan keuangan non-bank berbasis teknologi (financial technology/fintech).

Di Indonesia, beberapa fintech berkembang pesat menggarap pasar ritel yang belum tercapai perbankan. Diakui atau tidak, fintech memang selama ini dinilai sebagai penantang dan pendisrupsi utama layanan perbankan di era digital.

Perkembangan yang pesat ini sebagaimana direkam EY Global dalam laporan Global FinTech Adoption Index. Tercatat tingkat adopsi fintech pada 2019 telah melesat lebih dari dua-pertiga di seluruh dunia, atau sebesar 64%.

Angka tersebut naik dari posisi 2015 yang masih berada di level 16%. Dengan kata lain, tiga dari empat konsumen dunia telah menggunakan layanan mereka.

Nilai bisnis fintech diperkirakan menembus angka US$ 310 miliar pada tahun depan, atau naik dengan rerata pertumbuhan per tahun sebesar 24,8%-jika dibandingkan dengan posisi tahun 2018 yang sebesar US$ 127,7 miliar.

Pertanyaan selanjutnya, apakah perbankan merasa tersaingi dengan kehadiran Fintech ini?

Dalam laporan berjudul "Digital Transformation and The Rise of Fintech: Blockchain, Bitcoin and Digital Finance 2021," mereka menilai fintech hanya melakukan apa yang bank bisa (tapi enggan) melakukannya, seperti penghapusan biaya tak perlu.

"Di satu sisi banyak dari mereka menawarkan pengalaman baru bagi pelanggan, poin diferensiasi mereka lainnya adalah: kebanyakan fintech tak menarik biaya atas produk dan layanan yang jadi tempat bergantung bank biasa," tulis JP Morgan dalam laporannya beberapa waktu lalu.

Contohnya adalah biaya kelebihan penarikan (overdraft fee) di mana perbankan membebankan biaya bagi nasabah yang bertransaksi (penarikan ataupun penggunaan kartu kredit) melampaui ketentuan. Di Amerika Serikat (AS), nilainya bisa mencapai US$ 30 (Rp 423.000) per transaksi.

Selanjutnya, fintech "mengeksploitasi' teknologi untuk menciptakan efisiensi dan personalisasi layanan bagi konsumen. Ini sebenarnya hal yang juga bisa dilakukan oleh bank biasa, tetapi laju implementasinya cenderung lambat ketimbang fintech yang lebih lincah berinovasi.

Solusinya, bank tradisional harus berubah menjadi bank pembaharu, melakukan apa yang fintech lakukan. Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI)-yang menurut McKinsey memiliki nilai ekonomi US$ 1 triliun/ tahun bagi perbankan global-menjadi kunci dan solusi utama.

Menurut konsultan keuangan global ini, penggunaan AI memungkinkan bank meraih manfaat dari empat pos: laba yang naik, biaya operasional yang turun, turunnya risiko kesalahan tataran operasional, dan pembukaan peluang-peluang baru. Jika itu terjadi, maka penghapusan "biaya tak perlu" atas nasabah pun menjadi kian feasible.

Sebagai informasi, OJK baru saja merilis roadmap (peta jalan) pengembangan perbankan nasional 2020-2025, yang mengatur soal digitalisasi.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Teguh Supangkat menjelaskan terkait peta jalan tersebut, bahwa pandemi telah mendorong transaksi dan layanan keuangan secara digital dan virtual di Indonesia.

Menurutnya, perkembangan tersebut mendorong otoritas pengawas keuangan untuk mempercepat transformasi digitalisasi perbankan Indonesia, menempatkannya sebagai prioritas terpenting kedua yang harus dijalankan dalam peta pengembangan industri.

"Kondisi ini menuntut adanya transformasi struktural, antara lain melalui akselerasi layanan digital. Dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperkuat oleh bank, baik jangka pendek, melakukan konsolidasi atau jangka panjang transformasi struktural," pungkasnya.

Baca riset selengkapnya "Roadmap Perbankan RI: Berlomba Menuju 'AI-First' Bank" 


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perlombaan Menjadi Bank Digital Nan Canggih

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular