Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pekan lalu merilis Roadmap (peta jalan) Pengembangan Perbankan Indonesia (RP2I) 2020-2025, yang mengatur soal digitalisasi. Ke mana arah pengembangan bank digital yang ideal di Tanah Air? Berikut ini ulasannya.
Dalam peluncuran peta jalan tersebut, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Teguh Supangkat mengonfirmasi bahwa pandemi telah mendorong transaksi dan layanan keuangan secara digital dan virtual di Indonesia.
Perkembangan tersebut mendorong otoritas pengawas keuangan tersebut untuk mempercepat transformasi digitalisasi perbankan Indonesia, menempatkannya sebagai prioritas terpenting kedua yang harus dijalankan dalam peta pengembangan industri.
"Kondisi ini menuntut adanya transformasi struktural, antara lain melalui akselerasi layanan digital. Dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperkuat oleh bank, baik jangka pendek, melakukan konsolidasi atau jangka panjang transformasi struktural," tutur Teguh dalam rilis roadmap tersebut pada Kamis (18/2/2021).
 Sumber: OJK |
Roadmap tersebut, lanjut dia, akan menjadi pijakan pengembangan ekosistem perbankan, serta memberikan arah mengatasi tantangan perbankan ke depan sehingga bisa berkontribusi optimal terhadap perekonomian nasional.
Digitalisasi memang tren yang tak terelakkan, yang mendapat momentum akselerasinya saat pandemi. Hal ini terkuak dalam riset firma konsultan keuangan EY (Ernst & Young) Global berjudul "How Covid-19 Has Sped-up Digitization for The Banking Sector" di Eropa.
"Poin kuncinya adalah 16% konsumen Eropa berharap bank akan berubah dalam jangka panjang akibat Covid-19. Ada kesenjangan generasi juga. Mereka yang di atas 55 tahun paling sulit berubah, dengan hanya 17% siap ber-online banking 1-2 tahun ke depan, sementara 28% dari mereka yang di bawah 35 tahun siap," tuturnya dalam laporan yang dirilis 3 November 2020.
Hal serupa juga terjadi di Indonesia. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menyebutkan pihaknya selaku regulator mencatat bahwa pandemi Covid telah merevolusi ekspektasi publik akan layanan digital menuju ekosistem virtual. Perubahan ini memaksa bankir untuk segera berubah, jika tidak ingin terlindas oleh perubahan.
"RP2I berisi kebijakan jangka pendek dan struktural. Ada empat pilar, pertama yang jadi sangat penting penguatan struktur dan keunggulan kompetitif. Kedua, akselerasi digital perbankan. Ini jadi sangat penting, sehingga perlu didukung perbankan kita, bukan keharusan lagi tapi keniscayaan kalau perbankan tidak mau ditinggal nasabah," tuturnya.
Untuk itu, OJK berencana merilis Peraturan OJK khusus yang mengatur detil kebijakan bank digital, termasuk mengenai pendirian bank murni digital serta transformasi bank yang ada menjadi bank digital murni. Aturan tersebut direncanakan terbit pada pertengahan tahun ini.
Urgensi pengembangan bank digital di Indonesia muncul di tengah makin berkembangnya layanan keuangan non-bank berbasis teknologi (financial technology/fintech). Di Indonesia, beberapa fintech berkembang pesat menggarap pasar ritel yang belum tergapai perbankan.
Diakui atau tidak, fintech memang selama ini dinilai sebagai penantang dan pendisrupsi utama layanan perbankan di era digital. Lihat saja pertumbuhannya yang sangat pesat, sebagaimana direkam EY Global dalam laporan Global FinTech Adoption Index.
Mereka mencatat tingkat adopsi fintech pada 2019 telah melesat lebih dari dua-pertiga di seluruh dunia, atau sebesar 64%. Angka tersebut naik dari posisi 2015 yang masih berada di level 16%. Dengan kata lain, tiga dari empat konsumen dunia telah menggunakan layanan mereka.
Nilai bisnis fintech diperkirakan menembus angka US$ 310 miliar pada tahun depan, atau naik dengan rerata pertumbuhan per tahun sebesar 24,8%—jika dibandingkan dengan posisi tahun 2018 yang sebesar US$ 127,7 miliar.
Namun layakkah pelaku usaha perbankan merasa tersaingi atau terancam oleh fintech? JP Morgan memiliki perspektif menarik. Dalam laporan berjudul “Digital Transformation and The Rise of Fintech: Blockchain, Bitcoin and Digital Finance 2021,” mereka menilai fintech hanya melakukan apa yang bank bisa (tapi enggan) melakukannya, seperti penghapusan biaya tak perlu.
“Di satu sisi banyak dari mereka menawarkan pengalaman baru bagi pelanggan, poin diferensiasi mereka lainnya adalah: kebanyakan fintech tak menarik biaya atas produk dan layanan yang jadi tempat bergantung bank biasa,” tulis JP Morgan dalam laporan yang dirilis Kamis (18/2/2020).
Contohnya adalah biaya kelebihan penarikan (overdraft fee) di mana perbankan membebankan biaya bagi nasabah yang bertransaksi (penarikan ataupun penggunaan kartu kredit) melampaui ketentuan. Di Amerika Serikat (AS), nilainya bisa mencapai US$ 30 (Rp 423.000) per transaksi.
Di luar itu, fintech “mengeksploitasi’ teknologi untuk menciptakan efisiensi dan personalisasi layanan bagi konsumen. Ini sebenarnya hal yang juga bisa dilakukan oleh bank biasa, tetapi laju implementasinya cenderung lambat ketimbang fintech yang lebih lincah berinovasi.
Solusinya, bank tradisional harus berubah menjadi bank pembaharu, melakukan apa yang fintech lakukan. Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI)—yang menurut McKinsey memiliki nilai ekonomi US$ 1 triliun/ tahun bagi perbankan global—menjadi kunci dan solusi utama.
 Sumber: McKinsey |
Menurut konsultan keuangan global ini, penggunaan AI memungkinkan bank meraih manfaat dari empat pos: laba yang naik, biaya operasional yang turun, turunnya risiko kesalahan tataran operasional, dan pembukaan peluang-peluang baru. Jika itu terjadi, maka penghapusan “biaya tak perlu” atas nasabah pun menjadi kian feasible.
Dalam laporan berjudul "AI-Bank of The Future: Can Banks Meet The AI Challenge?" (September 2020) McKinsey menekankan bahwa untuk memenangi persaingan digital, bank harus menjadi institusi yang menjadikan AI sebagai pusat strategi dan operasi mereka (AI-first).
Artinya, AI harus menjadi dasar penciptaan nilai baru dalam jasa dan produknya, serta pengalaman unik bagi nasabahnya agar tak berpindah ke kompetitor, dalam hal ini fintech. Misalnya, penggunaan scanning wajah untuk mengenali nasabah, analisis ekspresi mikro dengan petugas virtual, dan penggunaan biometrik virtual untuk otorisasi transaksi digital.
Selain itu, AI juga bisa dipakai untuk mendeteksi fraud dan serangan siber, robot untuk melayani nasabah di kantor cabang, pemrosesan berbasis mesin untuk memproses dokumen, analisis risiko dan transaksi berbasis AI secara real-time, serta chatbot yang mengerti nasabah.
"Teknologi AI yang disruptif bisa memperkuat kemampuan bank secara dramatis untuk mencapai empat hasil penting: kenaikan laba, personalisasi layanan, menjaga loyalitas nasabah dengan pengalaman unik, dan percepatan siklus inovasi," tulis McKinsey.
Salah satu contoh penggunaan AI di perbankan nasional bisa kita temukan pada PT Bank Mega Tbk. Salah satu ecosystem-based bank terbesar nasional ini telah menerapkan AI di tingkat front end dan berlanjut ke back end operasinya.
Di tingkat front-end, perseroan menggunakan AI di layanan Chatbot MILA (Mega Intelligent Assistant). Memanfaatkan robot dan platform obrolan (chat), MILA memungkinkan publik mendapat akses informasi layanan dan produk Bank Mega secara lebih efisien dan efektif.
 Sumber: PT Bank Mega Tbk |
Chatbot ini penting untuk menjaring milenial. Mengutip MobileMarketer, sekitar 40% warga milenial di AS berkomunikasi dengan bot setiap harinya. Bahkan, Juniper Research mencatat kebanyakan orang kini browsing internet dengan berbasis suara (voice search) sehingga pada 2023 diperkirakan akan ada 8 miliar fitur voice assistant di seluruh dunia.
Di tingkat back-end, Bank Mega akan memanfaatkan AI untuk mengolah data besar (big data) yang masih mentah miliknya, guna menciptakan paket layanan dan penawaran produk yang bersifat personal dan efektif sesuai kebutuhan serta profil nasabahnya.
"Raw data perlu diproses agar bisa bernilai, menjadi informasi berguna untuk meningkatkan revenue. Maka dari itu, kita perlu teknologi AI, misalnya untuk mengakuisisi nasabah baik funding maupun kredit, untuk digital marketing, menganalisis nasabah (underwriting)," ujar Direktur Utama Bank Mega Kostaman Thayib dalam paparan publik, Selasa (17/2/2021).
Dengan memakai AI untuk menyuling big data-yang sering disebut sebagai emas baru di era digital, pelaku industri keuangan seperti Bank Mega kini memakai senjata yang sama dengan yang dipakai fintech untuk mendisrupsi mereka. Pertanyaannya: siapa yang bisa lebih cepat mengaplikasikan?
TIM RISET CNBC INDONESIA