INDUSTRY REVIEW

Roadmap Perbankan RI: Berlomba Menuju 'AI-First' Bank

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
24 February 2021 10:20
[DALAM] Nasib Digital Banking di Masa Depan
Foto: Arie Pratama

Urgensi pengembangan bank digital di Indonesia muncul di tengah makin berkembangnya layanan keuangan non-bank berbasis teknologi (financial technology/fintech). Di Indonesia, beberapa fintech berkembang pesat menggarap pasar ritel yang belum tergapai perbankan.

Diakui atau tidak, fintech memang selama ini dinilai sebagai penantang dan pendisrupsi utama layanan perbankan di era digital. Lihat saja pertumbuhannya yang sangat pesat, sebagaimana direkam EY Global dalam laporan Global FinTech Adoption Index.

Mereka mencatat tingkat adopsi fintech pada 2019 telah melesat lebih dari dua-pertiga di seluruh dunia, atau sebesar 64%. Angka tersebut naik dari posisi 2015 yang masih berada di level 16%. Dengan kata lain, tiga dari empat konsumen dunia telah menggunakan layanan mereka.

Nilai bisnis fintech diperkirakan menembus angka US$ 310 miliar pada tahun depan, atau naik dengan rerata pertumbuhan per tahun sebesar 24,8%—jika dibandingkan dengan posisi tahun 2018 yang sebesar US$ 127,7 miliar.

Namun layakkah pelaku usaha perbankan merasa tersaingi atau terancam oleh fintech? JP Morgan memiliki perspektif menarik. Dalam laporan berjudul “Digital Transformation and The Rise of Fintech: Blockchain, Bitcoin and Digital Finance 2021,” mereka menilai fintech hanya melakukan apa yang bank bisa (tapi enggan) melakukannya, seperti penghapusan biaya tak perlu.

“Di satu sisi banyak dari mereka menawarkan pengalaman baru bagi pelanggan, poin diferensiasi mereka lainnya adalah: kebanyakan fintech tak menarik biaya atas produk dan layanan yang jadi tempat bergantung bank biasa,” tulis JP Morgan dalam laporan yang dirilis Kamis (18/2/2020).

Contohnya adalah biaya kelebihan penarikan (overdraft fee) di mana perbankan membebankan biaya bagi nasabah yang bertransaksi (penarikan ataupun penggunaan kartu kredit) melampaui ketentuan. Di Amerika Serikat (AS), nilainya bisa mencapai US$ 30 (Rp 423.000) per transaksi.

Di luar itu, fintech “mengeksploitasi’ teknologi untuk menciptakan efisiensi dan personalisasi layanan bagi konsumen. Ini sebenarnya hal yang juga bisa dilakukan oleh bank biasa, tetapi laju implementasinya cenderung lambat ketimbang fintech yang lebih lincah berinovasi.

Solusinya, bank tradisional harus berubah menjadi bank pembaharu, melakukan apa yang fintech lakukan. Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI)—yang menurut McKinsey memiliki nilai ekonomi US$ 1 triliun/ tahun bagi perbankan global—menjadi kunci dan solusi utama.

qSumber: McKinsey

Menurut konsultan keuangan global ini, penggunaan AI memungkinkan bank meraih manfaat dari empat pos: laba yang naik, biaya operasional yang turun, turunnya risiko kesalahan tataran operasional, dan pembukaan peluang-peluang baru. Jika itu terjadi, maka penghapusan “biaya tak perlu” atas nasabah pun menjadi kian feasible.

(ags/ags)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular