Gojek-Tokopedia Merger, Nasib OVO 'Si Anak Kandung' Piye?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 February 2021 20:58
Aplikasi
Foto: Aplikasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu mega merger antara duo start up bervaluasi besar di Indonesia yakni Gojek dan Tokopedia semakin santer terdengar. Topik ini menjadi perbincangan di berbagai kalangan.

Jika keduanya bersatu maka bisa melahirkan startup dengan valuasi hampir US$ 40 miliar atau setara dengan Rp 560 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$. Tidak hanya valuasinya saja yang besar tapi wajah ekosistem digital di Tanah Air juga akan semakin terbentuk. 

Integrasi bisnis model keduanya akan melahirkan model bisnis yang saling melengkapi. Gojek bisa menawarkan layanan yang dibutuhkan oleh Tokopedia sebagai platform e-commerce yaitu pengiriman serta logistik. 

Tokopedia akan menyediakan akses merchant miliknya yang beragam dengan jumlah hampir 10 juta UMKM. Gojek sendiri tercatat hanya memiliki 2,9 juta merchant. Ingat merchant ini adalah ladang basah bagi bisnis keuangan Gojek yang punya dompet digital GoPay dan bank digital yaitu Bank Jago (ARTO).

Akses merchant yang besar memungkinkan Gojek lewat Bank Jago untuk menyalurkan kredit dan menghimpun dana. Transaksinya menggunakan GoPay! Wait! Bukannya Tokopedia sudah punya OVO?

Yap benar, Tokopedia sendiri merupakan salah satu pemegang saham OVO. Berdasarkan laporan m2insights pada 2019, Tokopedia memegang lebih dari 35% saham OVO.  Tokopedia sendiri disebut memegang 36,1% saham induk OVO, yakni Bumi Cakrawala Perkasa.

Sementara itu sang pendiri William Tanuwijaya dikabarkan memegang 5% saham induk OVO melalui PT Wahana Inovasi Lestari yang kemudian diakuisisi oleh Grab pada Februari tahun lalu. 

Sebagai salah satu dompet digital pesaing GoPay, OVO merupakan anak kandung bagi Tokopedia. Desas-desus yang beredar jika mega-merger ini terjadi maka Tokopedia akan menjual sahamnya di OVO. 

Tokopedia akan melepaskan anaknya sendiri yang sudah menempel dan kini meminang yang lain. Lantas bagaimanakah nasib sanga anak tersebut? Kalaupun dijual mau dijual ke siapa? Mungkinkah Grab? Inilah yang menjadi pertanyaan banyak pihak.

Sebelum diisukan merger dengan Tokopedia, Gojek sempat disebut menjajaki merger dengan Grab. Keduanya sama-sama merupakan start up yang dibekingi oleh Soft Bank perusahaan investasi besutan Masayoshi Son. 

Masih belum jelas juga kelanjutan isu ini. Namun apabila melihat peluang merger yang lebih memungkinkan untuk saat ini memang Tokopedia dan Gojek mengingat model bisnisnya komplementer dan lebih cocok untuk membangun ekosistem digital yang terintegrasi. 

"Terdapat kemungkinan OVO-GoPay akan beroperasi terpisah, tetapi dana akan disimpan di Bank Jago (22,2% saham dimiiki Gojek)," tulis analis CLSA Merlissa Trisno dan Jonathan Mardjuki dalam riset berjudul CLSA Indonesia Tech Sector Outlook.

"Terdapat kemungkinan pula SoftBank atau Tokopedia akan memiliki sebagian kepemilikan Bank Jago."

Informasi saja, SoftBank merupakan salah satu pemegang saham besar Tokopedia. CEO SoftBank Mayasoshi Son disebut sebagai pihak yang mendorong merger ini setelah diskusi merger Grab dan Gojek batal.

Bagaimanapun juga dompet digital dan mata uang digital sangat dibutuhkan untuk membangun ekosistem. Sebagai negara dengan penduduk yang besar dan ekonominya ditopang oleh konsumsi domestik, maka jalan masuk untuk meraup pangsa pasar dompet digital adalah melalui e-commerce

Salah satu pesaing Tokopedia yang menempel dengan ketat adalah Shopee. Anak usaha dari Sea Group yang berkedudukan di Singapura itu juga sudah memiliki Shopee Pay. Selain itu Shopee juga dikabarkan telah mengakuisisi Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE) untuk dijadikan sebagai bank digital.

Tak hanya satu, induk usaha Shopee dikabarkan juga mengincar bank lain. Rumor di pasar menyebutkan bank tersebut adalah Bank Umum Kegiatan Usaha II (BUKU II) yakni PT Bank Bumi Artha Tbk yang berkode BNBA. Kedua bank tersebut nantinya akan dijadikan sebagai bank digital untuk melayani Shopee.

Kontestasi atau persaingan bisnis untuk membangun ekosistem digital di Indonesia semakin menyerupai China. Dompet dan mata uang digital menjadi jantungnya. Ekonomi China telah bertransformasi menjadi cash less.

Laporan MDI Ventures dan Mandiri Sekuritas tahun 2017 menyebut bahwa 40% masyarakat China membawa uang di dompetnya kurang dari RMB 100. Transaksi sudah beralih ke arah digital.

Menurut catatan Wall Street Journal, transaksi digital di China tumbuh dengan pesat. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 4 tahun volume transaksi digital di China sudah mencapai RMB 20 triliun. 

Melihat potensi yang besar, Alibaba yang tadinya hanya menjadi raksasa e-commerce langsung berekspansi menjadi raksasa keuangan China. Salah satu produknya adalah dompet digital yang dinamai AliPay.

Melansir The Economist, pangsa pasar Alipay di China mencapai 54% di tahun 2020. Sementara di posisi kedua ada Tenpay yang menguasai 39% pangsa pasar. Di China terjadi duopoli memang. 

Kasus yang sama juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia, total nilai transaksi e-wallet meningkat dari US$ 3,2 miliar pada 2018 menjadi US$ 10,45 miliar pada 2019. Naik hampir tiga kali lipat hanya dalam waktu satu tahun.

Maraknya transaksi digital di kalangan masyarakat membuat banyak pihak berlomba-lomba untuk membuat dompet digital baik korporasi, perusahaan rintisan hingga bank-bank pelat merah. 

Namun di Indonesia dompet digital masih dikuasai oleh GoPay dan OVO. Upaya merger Gojek dan Tokopedia condong memberikan peluang GoPay semakin mengukuhkan diri sebagai penguasa pasar dompet digital di Indonesia. 

Untuk saat ini nasib OVO memang masih menjadi pertanyaan. Bagaimanapun juga peta persaingan untuk membangun ekosistem digital di Indonesia semakin dinamis dan menarik. Untuk saat ini bisa dibilang saatnya masuk fase konsolidasi para startup seperti Gojek dan Tokopedia yang sudah menabur benih sejak 10 tahun silam. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular