
Saat Dua Vaksin Bersatu! AstraZeneca Feat Sputnik V Rusia

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan farmasi raksasa hasil merger Swedia & Inggris, AstraZeneca akan bekerja sama dengan Institut Gamaleya Rusia untuk mengembangkan kombinasi vaksin masing-masing pihak.
Pengumuman tersebut muncul tidak lama setelah pengembang vaksin Sputnik V mendekati AstraZeneca melalui Twitter untuk menanyakan apakah mereka harus mencoba menggabungkan dua vaksin berbasis virus flu biasa untuk meningkatkan kemanjuran.
Dana Investasi Langsung Rusia, yakni dana kekayaan kedaulatan Rusia yang mendanai pengembangan Sputnik V, mengatakan uji klinis vaksin AstraZeneca yang dikombinasikan dengan vaksinnya sendiri akan dimulai pada akhir bulan Desember ini.
"Mampu menggabungkan berbagai vaksin Covid-19 dapat membantu meningkatkan perlindungan dan atau meningkatkan aksesibilitas vaksin," kata AstraZeneca dalam sebuah pernyataan pada Jumat (11/12/2020), dikutip dari CNBC International.
"Inilah mengapa penting untuk mengeksplorasi kombinasi vaksin yang berbeda untuk membantu membuat program imunisasi lebih fleksibel, dengan memungkinkan dokter lebih banyak pilihan pada saat memberikan vaksin. Mungkin juga menggabungkan vaksin dapat meningkatkan kekebalan dalam jangka waktu yang lebih lama."
Vaksin Covid-19 milik AstraZeneca, yang diproduksi bekerja sama dengan Universitas Oxford, adalah salah satu dari beberapa pihak yang berusaha mendapatkan persetujuan dari regulator obat.
Data yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet minggu ini menunjukkan vaksin AstraZeneca memiliki kemanjuran rata-rata 70,4%, berdasarkan pengumpulan data sementara dari uji klinis tahap akhir. Vaksin tersebut juga terbukti aman dan efektif.
Sementara Rusia telah mengklaim Sputnik V lebih dari 90% efektif dalam mencegah orang tertular virus, mengutip hasil awal dari uji coba yang sedang berlangsung.
Namun kerja sama antara AstraZeneca dan lembaga penelitian sains yang didukung negara Rusia kemungkinan akan dilihat sebagai mosi percaya pada vaksin Sputnik V. Pada Agustus 2020 lalu, Rusia menjadi negara pertama yang mendaftarkan vaksin untuk penggunaan darurat, meskipun ada peringatan dari otoritas dunia tentang hal tersebut.
"Keputusan AstraZeneca untuk melakukan uji klinis menggunakan salah satu dari dua vektor Sputnik V untuk meningkatkan kemanjuran vaksinnya sendiri merupakan langkah penting untuk menyatukan upaya dalam memerangi pandemi," Kirill Dmitriev, CEO dari Investasi Langsung Rusia Dana, kata dalam sebuah pernyataan.
"Kami menyambut baik dimulainya tahap baru kerjasama antar produsen vaksin ini. Kami bertekad untuk mengembangkan kemitraan ini di masa depan dan memulai produksi bersama setelah vaksin baru menunjukkan kemanjurannya dalam uji klinis."
Hingga saat ini, lebih dari 69 juta orang telah tertular virus corona di seluruh dunia, dengan 1,58 juta kematian, menurut data yang dikumpulkan oleh Universitas Johns Hopkins.
HALAMAN SELANJUTNYA >> Kabar Tak Sedap Serang Pfizer atas Vaksinnya
Sebuah laporan dari media Egypt Independent menyebutkan ada 6 orang yang tewas dalam uji coba vaksin Covid-19 buatan Pfizer/BioNTech. Laporan ini mengklaim mengutip data dari Food and Drug Administation (FDA) Amerika Serikat. Seperti faktanya?
Dalam laporan Egypt disebutkan FDA beberapa orang mengalami obesitas serta menderita arteriosklerosis. Mereka meninggal tiga hari setelah diberikan dosis pertama vaksin.
Dua relawan dilaporkan meninggal akibat serangan jantung atau stroke. Sementara dua sisanya masih diselidiki penyebab kematiannya. "Dari enam orang, tiga diantaranya di atas 55 tahun," kata FDA, diikuti Egypt Independen, Jumat (11/12/2020).
Lantas seperti apa faktanya? Kabar ini akhirnya diklarifikasi. Sebagian dari laporan tersebut adalah salah. Dalam laporan Reuters mengatakan dari 6 relawan yang meninggal hanya 2 yang diberikan vaksin. Sisanya mendapatkan plasebo atau vaksin palsu berupa garam dan air.
Dalam dokumen Pfizer dijelaskan jika placebo berbahan garam normal dengan larutan natrium klorida 0,9% untuk injeksi. Dengan kata lain hanya campuran garam serta air.
Laporan Reuters menyatakan jika tidak ada hubungan antara vaksin dengan kedua kematian yang mendapatkan vaksin, yang terjadi sebenarnya adalah kematian normal.
Orang Inggris pertama yang saat disuntik vaksin, saat ini tidak dalam kondisi kritis. Sementara empat orang yang mengalami kelumpuhan wajah sebagian (Bell's Palsy) dianggap bukan disebabkan oleh vaksin tetapi gejalanya akan diawasi saat vaksin didistribusikan.
Sebelumnya pejabat kesehatan Inggris mengeluarkan peringatan untuk seluruh orang yang akan divaksin Pfizer. Orang dengan riwayat reaksi alergi berlebihan tidak akan mendapatkan vaksin tersebut.
Peringatan ini dilakukan setelah adanya laporan mengenai dua orang anggota Layanan Kesehatan Nasional (National Health Service /NHS) negara tersebut menderita reaksi alergi hingga membutuhkan perawatan. Dua orang ini termasuk dalam kelompok pertama yang mendapatkan vaksin di Inggris.
Direktur medis NHS Inggris Stephen Powis mengatakan kedua orang tersebut, yang memiliki riwayat alergi. Namun saat ini keduanya sudah mulai membaik kondisinya.
(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kemanjuran Vaksin Covid Diragukan, AstraZeneca Lakukan Ini