Ilmuwan Debat Soal Uji Klinis Vaksin Corona, Ada Masalah Apa?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
30 October 2020 13:39
Vaksin China SinoVac
Foto: Infografis/Sederet Fakta Tentang Vaksin

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus infeksi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) secara global hampir tembus angka 45 juta. Kasus kematian akibat Covid-19 pun semakin dekati angka 1,2 juta. Kasus yang terus melonjak membuat umat manusia semakin berharap pada kehadiran vaksin yang efektif dan aman.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat per 19 Oktober ada 44 kandidat vaksin Covid-19 yang dievaluasi secara klinis. Sebanyak 10 kandidat di antaranya sudah mencapai fase akhir uji klinis.

Berbagai negara di dunia selain berlomba untuk mengembangkan vaksin Covid-19 tetapi juga berlomba untuk mengamankan pasokannya karena saat ini vaksin Covid-19 adalah kebutuhan pokok yang menjadi barang langka.

Pengembangan vaksin dalam kondisi normal membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun mulai dari riset hingga sampai ke publik. Namun kecepatan pengembangan vaksin Covid-19 dan tingginya harapan terhadap vaksin membuat banyak ilmuwan skeptis, terutama di AS.

Perdebatan pun muncul di berbagai forum diskusi vaksin. Perbedaan argumen soal vaksin juga banyak dikemukakan oleh para ilmuwan dan ahli vaksin Amerika Serikat (AS) yang kini memimpin klasemen kasus dan kematian Covid-19 global.

Masalah yang diperdebatkan terkait dengan vaksin adalah masalah yang sangat fundamental, yaitu terkait desain studi uji klinis vaksin. Uji klinis yang sedang berlangsung terutama dirancang untuk menunjukkan apakah kandidat vaksin Covid-19 dapat mencegah gejala penyakit sekecil sakit tenggorokan atau batuk.

"Namun uji coba, yang melibatkan 30.000 hingga 60.000 sukarelawan, akan terlalu singkat dan terlalu kecil untuk membuktikan bahwa vaksin akan mencegah apa yang paling ditakuti orang yaitu dirawat di rumah sakit atau sekarat pada saat pembuat vaksin pertama mengajukan otorisasi penggunaan darurat, yang mana diharapkan terjadi akhir tahun ini," kata William Haseltine ketua dan presiden di Access Health International, melansir NBC News.

Pandangan tersebut menuai pro dan kontra. Para peneliti memperdebatkan seberapa ketat pengujian kandidat vaksin Covid-19 pada pertemuan publik komite penasihat FDA untuk vaksin pada Kamis kemarin (29/10/2020).

"Hanya mencegah kasus ringan tidak cukup dan mungkin tidak membenarkan risiko yang terkait dengan vaksinasi," kata Peter Doshi, seorang profesor di Sekolah Farmasi Universitas Maryland, yang merinci keprihatinannya dalam editorial di The BMJ.

Tetapi para ahli vaksin mengatakan ada alasan bagus untuk fokus pada kasus Covid-19 yang lebih ringan.

"Vaksin yang mencegah penyakit ringan biasanya juga mencegah penyakit parah," kata Dr. Arnold Monto, seorang ahli epidemiologi di Sekolah Kesehatan Masyarakat Universitas Michigan dan ketua sementara dari komite vaksin.

"Misalnya, studi awal dari vaksin campak menunjukkan bahwa vaksin itu hanya mencegah campak, bukan rawat inap atau kematian," kata Dr. Kathleen Neuzil, direktur Pusat Pengembangan Vaksin dan Kesehatan Global Universitas Maryland.

Penelitian selanjutnya menemukan bahwa vaksin campak secara dramatis mengurangi kematian. Menurut WHO, kematian akibat campak di seluruh dunia turun 73% dari tahun 2000 hingga 2018 karena vaksin.

Ilmuwan lain juga memberikan contoh kasus pada vaksin flu yang juga tidaklah super efektif. Efektivitas vaksin flu per tahunnya hanya di kisaran 19% - 70%.

Namun dengan efektivitas tersebut vaksin flu masih berguna menurut Dr. Corey Casper, ahli vaksinasi di Fred Hutchinson Cancer Research Center dan CEO di Infectious Disease Research Institute di Seattle, melansir NBC News.

Mengacu pada data Center for Disease Control & Prevention (CDC), selama musim flu AS 2018-19, vaksinasi mencegah sekitar 4,4 juta penyakit influenza, 2,3 juta kunjungan medis, 58.000 rawat inap dan 3.500 kematian terkait influenza.

"Uji coba terhadap 30.000 hingga 60.000 orang sudah cukup besar menurut standar sejarah. Berkembang secara dramatis di luar itu tidak praktis dalam kerangka waktu yang sangat singkat," Dr. Philip Krause, wakil direktur kantor vaksin di Pusat Evaluasi dan Penelitian Biologi FDA

"Jika titik akhir dari uji klinis adalah untuk menurunkan tingkat keparahan, maka uji coba mungkin perlu hampir 10 kali lebih besar," katanya pada pertemuan FDA itu. "Dan uji coba itu tidak mungkin dilakukan, dan kita tidak akan pernah mendapatkan vaksin."

Kebutuhan akan vaksin memang bisa dibilang mendesak apalagi di tengah adanya gelombang kedua yang membuat prospek pemulihan ekonomi menjadi suram.

Gelombang kedua wabah Covid-19 kini menghampiri Benua Biru. Lockdown yang diterapkan pada Maret-Mei lalu berhasil menekan angka pertambahan kasus. Namun seiring dengan dilonggarkannya lockdown dan memasuki periode musim dingin akhir tahun, kasus kembali melonjak signifikan.

Kenaikan kasus infeksi Covid-19 yang tak terkendali membuat beberapa negara Eropa menutup kembali perekonomiannya. Belum lama ini Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan penerapan lockdown nasional.

Di Jerman, kenaikan kasus infeksi Covid-19 membuat restoran, bar, bioskop dan tempat hiburan kembali ditutup.

Kendati lonjakan kasus banyak terjadi di Eropa, Amerika Serikat (AS) masih menjadi pemimpin klasemen dengan jumlah total kasus Covid-19 dan kematian terbanyak di dunia.

Total kumulatif kasus Covid-19 di AS sudah hampir mencapai 9 juta kasus dengan lebih dari 228 ribu warga AS dilaporkan meninggal.

Well, pada akhirnya memang tidak akan ada vaksin yang sempurna dengan efektivitas dan keamanan tinggi dalam waktu singkat. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular