Uang Digital Bikin Galau: Awas, Risiko Likuiditas Bank

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 October 2020 11:47
Yuan Digital (Twitter/@lingzh1220)
Foto: Yuan Digital (Twitter/@lingzh1220)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Covid-19) telah menimbulkan krisis kesehatan hingga krisis ekonomi global. Namun di sisi lain, pandemi Covid-19 menimbulkan tren baru di sisi finansial, yakni transaksi secara digital.

Maklum saja, guna meredam penyebaran Covid-19 masyarakat diminta mengurangi aktivitas di luar rumah. Selain itu transaksi uang tunai juga dikhawatirkan dapat menyebarkan virus corona, alhasil cara bertransaksi pun berubah ke arah digital.

Sebelum pandemi Covid-19 melanda, penggunaan uang tunai sebenarnya sudah terus mengalami penurunan di Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan laporan Moody's pada tahun 2019, penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran hanya 6% dari total nilai transaksi. Persentase tersebut sama dengan tahun 2018, tetapi turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Yang paling dominan adalah pembayaran secara elektronik, dengan porsi 40% dari total nilai transaksi di 2019, naik signifikan dari 30% di tahun 2015.

Pandemi Covid-19 hanya mempercepat proses perubahan perilaku transaksi tersebut. Hal ini terlihat di Inggris, dimana transaksi menggunakan mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) merosot drastis di tahun ini.

idrFoto: Moody's Investors Service

Bank sentral di berbagai negara dilaporkan melihat perubahan perilaku transaksi tersebut sebagai tantangan dalam jangka panjang, baik dari segi supply uang tunai hingga peran mereka secara luas sebagai penyedia likuiditas negara.

Menurut Moody's, bank sentral kini menghadapi dilema. Munculnya stablecoin seperti Libra besutan Facebook, dan kemajuan pesat platform pembayaran digital membuat bank sentral menginisiasi mata uang digital (central bank digital currency/CBDC) yang disebut sebagai strategi defensif.

Dilema muncul jika tidak beradaptasi cepat terhadap perubahan perilaku nasabah, maka peran bank sentral akan semakin memudar. Sementara jika adaptasi dilakukan dengan cepat, maka akan menimbulkan disrupsi di sistem finansial saat ini dan memberikan masalah bagi bank komersial.

Beberapa bank sentral sudah yang sudah memulai program CBDC yakni bank sentral AS, Inggris, beberapa di zona euro sudah memulai program tersebut, bank sentral China bahkan sudah pada tahap pilot project.

Moody's menyebut CBDC akan memberikan masalah yang cukup dalam bagi industri perbankan, terkait dengan bagaimana model mata uang digital ini nantinya.

Pada bulan Maret lalu, Bank for International Settlement (BIS) dalam sebuah laporan menyebutkan dalam pembuatan CBDC harus mengedepankan kebutuhan nasabah.

Dalam laporan tersebut, BIS menyebutkan ada 6 kebutuhan utama nasabah, yakni privasi, mudah digunakan, aman seperti uang tunai, memiliki akses universal, pembayaran luar negeri (cross-border), serta kegunaan peer-to-peer.

Berdasarkan kebutuhan utama tersebut, ada 3 model CBDC yang disajikan yakni:

  1. Indirect CBDC dimana tagihan (claim) dilakukan ke perantara (bank komersial), sementara bank sentral hanya melakukan pembayaran ke bank komersial.
  2. Direct CBDC dimana tagihan dilakukan langsung ke bank sentral
  3. Hybrid CBDC dimana tagihan dilakukan ke bank sentral, tetapi bank komersial yang melakukan pembayaran.

Menurut Moody's dalam model indirect CBDC tidak ada perubahan besar dari peran bank sentral. Model indirect CBCD hampir sama dengan sistem finansial saat ini. Transaksi finansial dilakukan melalui perantara (dalam hal ini bank komersial).

idrSumber: Bank for International Settlements, Moody's Investors Service

Bank sentral di sini hanya merilis CBDC dan disalurkan ke bank komersial yang perannya tidak banyak berubah dari saat ini. Bank komersial tetap melakukan peran Mengetahui Nasabah (Know Your Customer), verifikasi, hingga pembayaran transaksi pengguna CBDC.

Mengingat model ini hampir sama dengan sistem finansial saat ini, maka ancaman yang diberikan ke bank komersial menjadi paling kecil. Pada prakteknya indirect CBDC tidak memberikan banyak perubahan bagi pengguna, sehingga dianggap tidak akan menarik.

Sementara itu model direct CBDC akan membuat perubahan besar di sistem finansial, sebab individu, merchant, hingga korporasi dapat memiliki rekening langsung di bank sentral, sehingga semua transaksi akan melalui bank sentral. Hal tersebut tentunya mengubah peran bank sentral saat ini yang hanya menangani transaksi antar bank komersial.

Bank sentral akan bertanggung jawab memproses hingga memvalidasi transaksi dengan volume jauh lebih besar. Untuk dapat menerapkan direct CBDC bank sentral perlu menggunakan teknologi seperti centralised ledger atau distributed ledger technology (DLT).

idrSumber: Bank for International Settlements, Moody's Investors Service

Bank sentral juga akan mengambil alih peran "Know Your Customer" untuk mencegah dan memberantas pencucian uang serta pendanaan terorisme, dimana hal tersebut yang sebelumnya dilakukan oleh bank komersial.

Menurut Moody's, model direct CBDC akan menguntungkan bagi individu maupun pelaku usaha, sebab akan mengurangi risiko maupun biaya transaksi. Tetapi di sisi lain, jika jumlah saldo bisa ditempatkan di bank sentral tidak terbatas, maka bank komersial akan menghadapi risiko kekurangan likuiditas akibat menurunnya dana pihak ketiga (DPK).

Bahkan jika jumlah saldo yang bisa ditempatkan di bank sentral terbatas, bank komersial masih menghadapi penurunan DPK yang signifikan.

Guna menanggulangi hal tersebut, bank komersial menurut Moody's akan memberikan suku bunga simpanan lebih tinggi dari bank sentral agar bisa menarik DPK. Kemudian menawarkan teknologi yang lebih baik atau jasa lainnya, atau bisa juga dengan beralih ke pasar modal.

Langkah-langkah yang diambil bank komersial tersebut akan memicu kenaikan bunga pinjaman, penambahan giro wajib minimum, hingga menaikkan biaya operasi. Secara prinsip, nasabah yang akan menanggung semua biaya tersebut.

Oleh karena perubahan di sistem keuangan akan begitu besar, Moody's memperkirakan bank sentral tidak akan menerapkan model direct CBDC ini.

Terakhir, model Hybrid CBDC, yang ini menggabungkan antara direct dan indirect CBDC. Tagihan pemilik CBDC langsung ditujukan ke bank sentral artinya nasabah memiliki rekening langsung di bank sentral sama seperti direct CBDC. Sementara "Know Your Customer" dan semua proses pembayaran dilakukan oleh bank komersial, seperti indirect CBDC.

Menurut Moody's model Hybird menimbulkan disrupsi lebih rendah terhadap sistem finansial saat ini ketimbang direct CBDC. Bank komersial berperan sebagai perantara, menjalankan sistem pembayaran atas nama bank sentral.

idrSumber: Bank for International Settlements, Moody's Investors Service

Bank sentral akan selalu memperoleh data transaksi atau pun secara real time, sehingga saat terjadi kegagalan akan diteruskan ke pihak ketiga sehingga integritas pembayaran dapat dipertahankan.

Menurut Moody's, model Hybrid CBDC ini yang paling mungkin diterapkan saat ini. Meski demikian, model Hybrid tetap menimbulkan disrupsi bagi industri perbankan, sebab akan terjadi penurunan DPK sama seperti direct CBDC.

Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) menjadi yang terdepan dalam pengembangan mata uang digital. Pada April 2020, mata uang digital China atau yang lebih dikenal dengan Digital Currency/Electronic Payment (DCEP) atau e-CNY diluncurkan untuk pilot project.

e-CNY diluncurkan di beberapa kota besar dengan menggunakan model hybrid. e-CNY ini tanpa suku bunga, dan biaya hanya dibebankan pada transaksi dengan nilai yang besar. Tetapi nilai saldo yang bisa dimiliki nasabah masih kecil agar tidak mengganggu DPK perbankan

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular