Pak Jokowi, Ini Syarat Vaksin Covid-19 Temuan RI Jos Gandos

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
05 September 2020 15:40
Presiden Joko Widodo tiba di PT Bio Farma (Persero) Bandung untuk meninjau fasilitas produksi dan pengemasan Vaksin COVID-19, Selasa 11 Agustus 2020 pukul 09.45 WIB. (Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden)
Foto: Presiden Jokowi tiba di PT Bio Farma (Persero) Bandung untuk meninjau fasilitas produksi dan pengemasan Vaksin COVID-19, Selasa 11 Agustus 2020 pukul 09.45 WIB. (Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kembali hidup normal tanpa masker dan tak harus jaga jarak adalah impian semua orang di dunia tak terkecuali masyarakat Indonesia. Harapan terbesar semua orang saat ini bertumpu pada perlombaan penemuan vaksin penangkal Covid-19 yang dikembangkan banyak negara pihak termasuk RI.

Kasus Covid-19 di dalam negeri sudah hampir mendekati 190 ribu sampai saat ini. Hampir 8.000 orang terenggut nyawanya akibat patogen ganas yang menjangkiti RI sejak awal Maret itu.

Tak mau ketinggalan dengan negara-negara lain, korporat pelat merah, institusi riset kenamaan lokal hingga raksasa farmasi swasta Tanah Air ikut mengembangkan vaksin untuk Covid-19 dengan menggandeng pengembang lokal maupun internasional.

Sebut saja Bio Farma dengan perusahaan farmasi China Sinovac dengan CoronaVac-nya. Kemudian ada konsorsium vaksin Covid-19 nasional yang dipimpin oleh LBM Eijkman dengan vaksin Merah Putihnya. Ada juga Kalbe Farma yang tergabung dengan konsorsium Genexine dengan kandidat vaksin miliknya yang diberi nama GX-19. 

CoronaVac sedang menjalani fase uji klinis tahap III di Indonesia dengan melibatkan 1.600 sukarelawan. Sementara vaksin Merah Putih masih dalam tahap pengembangan dan akan diuji ke hewan model akhir tahun ini. 

Bio Farma menargetkan bisa memproduksi vaksin skala masal di tahun 2021 dan vaksin Merah Putih diharapkan rampung pada tahun 2022. Pengembangan vaksin mulai dari design, uji klinis, perizinan, manufaktur hingga distribusi sejatinya memakan waktu lama.

Dalam kondisi normal durasi agar vaksin bisa sampai ke tangan yang membutuhkan bisa 5-8 tahun. Dalam kondisi darurat seperti sekarang ini, pengerjaan vaksin dikebut dalam 1-2 tahun saja.

Namun mengembangkan vaksin bukan melulu soal siapa yang tercepat. Melainkan vaksin tersebut harus terbukti aman, efektif dan memberikan durasi proteksi yang lama. Poin yang tak kalah penting adalah aksesibilitas vaksin terutama untuk yang berisiko tinggi terjangkit Covid-19.

Terkait efektivitas vaksin, studi yang dilakukan oleh Sarah M. Bartsch, dkk dari City University of New York (CUNY) memiliki jawaban soal harus seberapa efektif vaksin bisa menekan pandemi Covid-19.

Menggunakan pemodelan komputasional dengan kasus di AS, studi tersebut menyimpulkan bahwa jika total populasi AS yang terjangkit Covid-19 mendekati nol persen, maka vaksin harus memiliki tingkat keampuhan 80% dan 3/4 dari total populasi harus mendapatkan vaksinasi jika pandemi Covid-19 ingin dieradikasi.

Namun jika 5% populasi AS sudah terinfeksi Covid-19, maka vaksin dengan berbagai efektivitas tak akan memiliki peluang 100% untuk menghentikan pandemi meski 100% populasi divaksinasi.

Dalam kasus ini, vaksin dengan efektivitas 80% akan mampu menurunkan puncak kasus pandemi sekitar 80% bahkan jika hanya setengah dari populasi divaksinasi.

Apabila total populasi AS yang terinfeksi Covid-19 mencapai 15%, maka kemungkinan pandemi bisa ditekan hanya 65%. Itupun jika semua orang divaksinasi dan efektivitasnya 100%.

Sampai di sini bisa dilihat bahwa ada tiga faktor utama yang sangat mempengaruhi seberapa mungkin hidup normal akan kembali lagi yaitu efektivitas vaksin, total populasi yang terinfeksi dan total populasi yang harus divaksinasi.

Jika menggunakan basis studi tersebut untuk kasus di Tanah Air, maka patokannya sangat bergantung pada dua hal yaitu efektivitas vaksin dan juga total populasi yang terinfeksi mengingat pemerintah mencanangkan 170 juta orang di dalam negeri diharapkan bisa diimunisasi dengan vaksin.

Jika penduduk Indonesia berjumlah 269 juta jiwa, maka 63,2% populasi RI ditargetkan untuk divaksinasi. Artinya efektivitas vaksin harus di atas 80% dan juga total populasi RI yang terinfeksi mendekati nol persen.

Sampai dengan kemarin total populasi RI yang telah terjangkit Covid-19 mencapai 0,07% dari total populasi. Sekilas angka ini mendekati nol persen. Eitss.. tunggu dulu! jangan senang dulu.

Melihat tren kenaikan kasus, angka reproduksi virus (Rt) yang masih di atas 1 di lebih dari setengah provinsi Tanah Air serta fenomena orang tanpa gejala (OTG), maka angka tersebut masih berpotensi besar untuk bertambah.

Kunci untuk menentukan seberapa banyak masyarakat RI yang terjangkit Covid-19 sangat ditentukan oleh kapasitas pengujian laboratorium yang sangat sensitif. Dalam kasus ini adalah Swab dari sampel hidung (nasofaring) dan mulut (orofaring).

Seiring berjalannya waktu, kapasitas tes di dalam negeri meningkat. Rata-rata per hari jumlah orang yang dites bisa mencapai 20 ribu orang. Namun angka ini tetap masih jauh dari target Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di angka 30.000 per hari. 

Jumlah tersebut juga masih jauh dari rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menyarankan 50.000 orang dites per 1.000.000 penduduk. Jadi, untuk mewujudkan kembali kehidupan dan tatanan masyarakat yang normal seperti sebelum pandemi kuncinya ada dua.

Pertama adalah melakukan tes sebanyak-banyaknya dan yang kedua adalah mengembangkan vaksin yang efektif. Tentunya jangan sampai ketinggalan juga untuk melakukan vaksinasi masal ya!

Kalaupun efektivitas vaksin masih rendah misal seperti vaksin influenza yang berada di 20% - 60%, bukan berarti vaksin tak berguna untuk menekan kasus. Hanya saja dengan efektivitas vaksin yang rendah social distancing measures kemungkinan besar masih akan diterapkan, jadi bagaimana Pak Jokowi?

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perbedaan Gejala Omicron di Orang yang Sudah Vaksin & Belum

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular