Terungkap! Ini Deretan Alasan Bahwa OJK Harus Dipertahankan

Rahajeng Kusumo Hastuti & Yuni Astutik, CNBC Indonesia
24 July 2020 17:59
Ilustrasi Foto OJK
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah pakar menyatakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah melakukan langkah yang tepat dalam rangka menangani dampak dari pandemi Covid-19 terhadap industri jasa keuangan. Mereka juga mengatakan keberadaan OJK harus terus dipertahankan.

Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan sejak awal, OJK merespon dengan cepat dengan cara pelonggaran restrukturisasi kredit.

"OJK paham risiko ke depan, dengan terbatasnya aktivitasnya ekonomi, tekanan likuiditas, riil, risiko terbesar adalah lonjakan kredit macet," ujarnya dalam Webinar Nasional, "Peran Penting OJK dalam Menjaga Sistem Keuangan di Tengah Gejolak Perekonomian Akibat Pandemi COVID-19" di Jakarta, Jumat (24/7/2020).

Hal ini menurutnya sejalan dengan kondisi saat ini, di mana dunia usaha umumnya mengurangi pengeluaran arus kas perusahan. Dunia usaha ini menurutnya mengambil langkah-langkah seperti mengurangi biaya operasional, utamanya pemotongan gaji atau merumahkan pegawai.

"Banyak dunia usah korporasi yang benar-benar kehilangan pendapatan. Disisi lain mereka harus membayar pengeluaran. Operasional, gas, sewa ruangan, biaya gaji pegawai dan terakhir adalah cicil utang pokok dan bunga," tegasnya.

Dia juga menambahkan, hendaknya pemerintah tidak mendesak OJK untuk peningkatan penyaluran kredit di tengah pandemi Covid-19. Sebab menurutnya, fokus saat ini bukan hanya penyaluran kredit, eksposur kredit Lembaga keuangan.

"Justru mendapatkan bahaya baru dengan adanya eksposur kredit, resiko, apabila meningkatkan kredit di tengah wabah Covid-19," pungkasnya.

"Fokus saat ini bukan hanya penyaluran kredit, eksposur kredit Lembaga keuangan. Justru mendapatkan bahaya baru dengan adanya eksposur kredit, resiko, apabila meningkatkan kredit di tengah wabah Covid-19," ujar Piter.

Menurutnya, pandemi ini membuat industri di sektor riil menjadi rapuh. Sehingga, bukan saat yang tepat untuk menyalurkan kredit. Dia mengatakan, hampir semua negara di dunia mengalami perlambatan ekonomi, sehingga ini bukan hal yang biasa.

"Resesi melanda banyak negara, hampir semua resesi. Kita tak perlu memaksakan tumbuh positif dan lepas dari resesi ketika wabah masih berlangsung," terangnya.

Sebab menurutnya, hal yang lebih penting adalah menjaga agar industri riil tidak berdampak, sehingga akan berpengaruh kepada sektor keuangan. Selama sektor riil bisa selamat, maka kredit perbankan akan tetap terjaga.

"Ketika ini terjadi, saat wabah berlalu kita siap recovery. Bukan mengejar pertumbuhan di tengah wabah Covid-19. Strategi ada di OJK. Saya sependapat, ada banyak moral hazard, risiko apabila mendorong risiko perbankan selama Covid-19," ujarnya menjelaskan.

Sementara itu, Komisaris Independen Bank DKI Lukman Hakim mengatakan wacana pembubaran OJK dan memindahkan fungsinya ke lembaga lain malah kontraproduktif dengan situasi pandemi ini.

Menurut dia, kehadiran OJK akan membuat koordinasi antara Perbankan dan industri keuangan non bank (IKNB) menjadi lebih mudah. Pengawasan perbankan pun menjadi lebih prudent. Meski Lukman mengakui di IKNB pengawasan perbankan belum se-prudent perbankan, karena aturan dan regulasi masih dalam proses pembuatan.

"Harusnya yang ada sekarang dikuatkan menjadi lebih kuat, dan kepercayaan dibangun. Kalau mau dikembalikan ke Bank Indonesia masa transisinya bisa lebih dari 2 tahun. Ini malah menjadi tidak produktif kalau mau membubarkan OJK," kata Lukman dalam kesempatan yang sama.

Lukman mengatakan jika fungsi OJK sampai dikembalikan ke BI, maka bank sentral akan menjadi lembaga yang super body di luar pemerintah. Dalam hal ini justru membuat pemerintah lebih sulit mengatur sektor keuangan.

Menurutnya beberapa hal yang harus mendapatkan perhatian ke depannya adalah perihal IKNB, sehingga aturan dan perbaikannya harus segera dilakukan. Lukman menegaskan jangan sampai masyarakat skeptis dengan asuransi, sehingga yang diingat hanyalah kejadian gagal bayar. Kalaupun ada pengawas OJK yang bermasalah bisa diselesaikan dengan penegakan hukum, sehingga ada perbaikan dalam tubuh lembaga tersebut secara terus menerus.

"Pekerjaan rumah OJK adalah bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap asuransi dalam hal ini bisa terjaga," katanya.

Dalam kesempatan yang sama Rektor Perbanas Institute Hermanto Siregar mengatakan pandemi Covid-19 membuat pertumbuhan ekonomi terganggu dan kemungkinan risiko default yang besar. Risiko menjadi sangat tinggi apabila Covid-19 masih terus ada, dan roda ekonomi tidak bisa bergerak.

Menghadapi situasi ini berbagai lembaga terkait seharusnya menjalankan perannya, seperti OJK, Bank Indonesia, LPS, dan Pemerintah. Yang dibutuhkan adalah kecepatan implementasi dan adjusment terutama mempertimbangkan dampaknya pada sektor riil.

"Kebijakan sudah dibuat dan direncanakan dengan baik perbankannya sendiri cukup bagus, terutama dalam menghadapi kredit potensi bermasalah. Selain itu penanganan div ariabel ekonomi, moneter dan fiskal. Semua kelihatan sudah dipersiapkan tinggal dtunggu impelentasinya," kata Hermanto.

Terkait dengan peran OJK secara khusus, menurutnya sebagai pengawas perbankan ada dua pendekatan khusus. Pertama satu sisi pengawas perbankan, dan terintegrasi pada bank sentral. Kedua sebagai menjalankan sisi yang terpisah. Jika bank sentral dan pengawas perbankan dibuat dalam badan terpisah menurutnya seharusnya lebih fokus menjalankan fungsinya. Meski ada isu bagaimana mensinergikan dan harmonisasi keseimbangan baru antara pengawasan perbankan dan bank sentral.

"Dalam pengalaman great financial crisis 2008 di AS mengajarkan agak repot kalau pengawasan bank kalau menyatu dengan sentral bank. Kemudian juga format pada umumnya untuk bank sentral yang independen apabila disana masuk pengawasan perbankan, tugasnya menjadi sangat kompleks," katanya.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tambah 4 Lagi, OJK Sudah Beri Izin ke 41 Perusahaan Fintech

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular