Langkah 2 Jempol Sri Mulyani Pajaki Netflix Bikin Marah Trump

Lidya Julita S, CNBC Indonesia
03 June 2020 13:41
Netflix
Foto: Netflix (AP/Dan Goodman)
Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara yang coba 'menyolek' Facebook, Netflix, dan lainnya sepertinya harus hati-hati. Pasalnya Amerika Serikat (AS) kini tengah menyelidiki aturan pajak digital yang diadopsi dan tengah dipertimbangkan sejumlah negara tersebut.

Ini ditegaskan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), Selasa (2/6/2020). Bahkan, AS bisa saja memberikan hukuman pada negara-negara itu.

"Presiden (Donald) Trump khawatir bahwa banyak mitra dagang kami mengadopsi skema pajak yang dirancang untuk menargetkan perusahaan kami secara tidak adil," kata perwakilan USTR Robert Lighthizer, dikutip dari Reuters, Rabu (3/6/2020).

"Kami siap untuk mengambil semua tindakan untuk membela bisnis dan kepentingan kami dari diskriminasi semacam itu."


Dalam pernyataan lebih lengkap USTR mengatakan penyelidikan sedang dilakukan pada pajak digital yang dipertimbangkan Austria, Brasil, Ceko, Uni Eropa, India, Italia, Spanyol, Turki, Inggris. Indonesia juga termasuk di dalamnya.

Namun, USTR mengaku telah mengirimkan agen untuk berbicara dengan masing-masing pemerintah. Dari situ AS akan memutuskan apakah perlakuan negara tersebut menyakiti AS atau masuk akal.

RI sendiri sejak 2019 memang berupaya menarik pajak dari barang atau jasa digital asing yang bertransaksi di Indonesia. Terbaru, Netflix dan Spotify akan membayar PPN 10% bulan depan.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebelumnya menyatakan segera menarik pajak dari semua perusahaan over the top yang menjual jasanya di Indonesia. Artinya, Netflix, Spotify hingga Zoom harus membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% dari hasil jualannya.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan, penarikan PPN terhadap perusahaan digital tersebut dilakukan agar tercipta keadilan (level playing field) bagi perusahaan yang tercatat sebagai subjek pajak dan selama ini taat membayar pajak ke pemerintah.

Menurutnya, pemungutan PPN dilakukan untuk semua produk yang dikonsumsi baik barang dan jasa yang diperjualbelikan di Indonesia baik yang diproduksi dalam negeri maupun yang berasal dari dalam negeri. Semuanya dipungut pajaknya melalui daerah pabeanan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)

Bahkan, UU PPN ini dikatakan sudah ada sejak 1983. Artinya, semua barang dan jasa yang dijual di Indonesia harus dibayar PPN nya oleh konsumen yang menikmatinya yang ditagih oleh badan usaha tersebut.

"Jadi barang dan jasa yang berasal dari dalam atau luar Indonesia, sejak UU PPN ada tahun 1984 mulai berlaku 1 Januari, sebetulnya sudah dikenakan PPN," ujarnya saat berbincang dengan Staf Ahli Bidang Pengawas Pajak Nufransa Wira Sakti yang dikutip Selasa (2/6/2020).

Namun, pada saat UU tersebut ditetapkan, tidak ada yang menduga akan ada barang yang dijual tanpa bentuk atau digital mengikuti perkembangan zaman. Sehingga saat ini dibuat aturan untuk penarikannya pajak barang yang dijual secara digital melalui Perppu nomor 1 tahun 2020.

"Nah, kalau barangnya yang nggak kelihatan, seperti saya nonton tv, atau nonton film, lalu saya play online film tertentu, saya bisa nonton di rumah, nah barangnya kan tidak lewat gate kepabeanan," kata dia.

Adapun melalui Perppu nomor 1 tahun 2020 tersebut, pemerintah memiliki izin untuk menarik pajak dari barang digital yang berasal dari luar negeri dan di jual di Indonesia. Lalu aturan tersebut juga telah diturunkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 48 tahun 2020 yang mengatur tata cara pemungutan pajak digital.

"Jadi UU hanya mengizinkan, walaupun dia (perusahaan) di luar negeri," jelasnya.

Lanjut Suryo, dengan penarikan ini dilakukan maka semua perusahaan digital luar negeri yang berjualan di Indonesia harus membayar pajaknya. Artinya, semua pelanggan perusahaan digital tersebut harus membayar PPN 10% atas barang dan jasa yang dikonsumsinya.

"Kalau bahas UU PPN pasti (penambahan biaya ke pelanggan), karena PPN dikenakan 10% dari harga jual. Tapi penambahan harga itu tergantung perusahaan (penjual barang dan jasa) tersebut. Apakah ia mau menanggung pajaknya sehingga harga tidak bertambah, tapi disatu sisi penghasilan perusahaan mengalami pengurangan," kata dia.

NEXT > LANGKAH JEMPOLAN SRI MULYANI


Sebelumnya, para pengguna layanan jasa kerap membayar langsung menggunakan kartu kredit atau mekanisme lainnya ke rekening di luar negeri. Netflix misalnya, pelanggan harus membayarnya ke rekening Netflix di Belanda.

Ini adalah bukti konkret kebocoran ekonomi Indonesia. Regulator dahulu tak punya banyak upaya dalam mengejar penerimaan yang nyata sekali.

Regulator pajak hanya bisa mengejar para wajib pajak dalam negeri. Sebenarnya banyak layanan seperti ini. Layanan data dan media yang berbasis di AS yang 'berjualan' di Indonesia juga bukan merupakan BUT.

"Nah selama ini BUT definisi kan kehadiran fisik, physical existency begitu. Nah selama ini mereka tidak ada di sini. Makanya kita tidak bisa mengenakan PPh-nya ke mereka atas penghasilan dari Indonesia," kata Hestu Yoga, Juru Bicara DJP.


Oleh karena itu, adanya Perppu ternyata memberi dampak signifikan untuk mengejar jasa asing yang menjual di Indonesia.

"Jadi pengertiannya nggak hanya harus adanya kehadirian fisik, tapi seperti subtansial economic presence, kalau mereka dapat penghasilan dari Indonesia, konsumennya di Indonesia itu kita anggap sebagai punya economic presence di Indonesia. Nah sehingga kita masukan sebagai BUT. Sehingga bisa kita pajaki di Indonesia."



[Gambas:Video CNBC]



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular