
Jokowi Minta Warga Berobat Online, Siapkah Infrastruktur RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah wabah COVID-19, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyarankan masyarakat berobat online dengan memanfaatkan aplikasi kesehatan (telemedicine). Memangnya infrastruktur kita siap?
Saran itu dikeluarkan awal pekan ini untuk mengurangi risiko penularan virus corona strain baru, terutama untuk melindungi tenaga medis yang saat ini sedang terfokus untuk menangani pasien-pasien terkait wabah COVID-19.
"Tidak semua orang harus ke dokter atau ke rumah sakit atau ke puskesmas, tetapi bisa lewat telemedicine sehingga mengurangi risiko ada tenaga medis tertular," ujar Jokowi dalam konferensi pers, Senin (13/4/2020).
Jokowi mengatakan terjadi peningkatan pengguna "rumah sakit tanpa dinding" tersebut di Indonesia, dari 4 juta menjadi 15 juta. Pasien tidak perlu datang ke rumah sakit, tapi cukup berkonsultasi melalui aplikasi.
Menurut temuan e-marketeer, telemedicine mendapat berkah di balik musibah (blessing in disguisei) di tengah pandemi virus corona strain baru. Menjamurnya fenomena karantina wilayah (lockdown)dan social distancing memicu bertumbuhnya minat berobat secara online.
Tren tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia sebagaimana dipaparkan Jokowi, melainkan juga di pasar negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Mengutip data CivicScience, jumlah warga AS yang menggunakan layanan telemedicine melonjak dari 18% menjadi 30%.
![]() |
Pada Februari, satu dari 10 orang yang disurvei menyatakan telah mencoba layanan itu. Angka ini naik lagi sebesar 17% pada Maret. Dengan kata lain, ketika virus COVID-19 yang mudah menyebar itu merajalela, masyarakat pun memilih solusi digital untuk layanan kesehatan.
Satu dari tiga responden dalam survei tersebut juga mengatakan bahwa mereka tertarik dengan penyedia layanan berobat via online atau video dengan para tenaga medis. Opsi tersebut dinilai semakin masuk akal dan berubah menjadi tak hanya sekadar pilihan, melainkan kebutuhan.
Tidak heran, American Telemedicine Association (ATA) memproyeksikan separuh layanan kesehatan AS akan berlangsung virtual pada 2030. Global Market Insights juga memprediksi pasar telemedicine global bernilai US$ 175,5 miliar pada 2026, naik dari US$ 45,5 miliar (2019).Di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau lockdown parsial yang dijalankan di Indonesia, kebutuhan masyarakat akan layanan internet pun meningkat sebagai konsekuensi dari kebijakan social distancing dan working from home (WFH).
Telkomsel, penguasa 50% pasar layanan seluler nasional, melaporkan kenaikan lalu-lintas data layanan broadband hingga 16% selama lockdown berlangsung. Jika dilihat berdasarkan kontributor, telemedicine memang belum terlihat.
Anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) ini mencatat lonjakan trafik broadband didominasi aplikasi belajar online (teleducation) yang melesat 5.404%, disusul layanan meeting conference yang naik 443%, komunikasi media sosial (meroket 40%), dan game (melonjak 34%).
Mengacu pada buku putih Advantech berjudul “Six Essential Components for Building a Sucessful Telehealth Infrastructure”, infrastruktur penunjang aplikasi telemedicine tidak berbeda jauh dari infrastruktur penunjang aplikasi lain seperti teleducaton dan teleconference.
Infrastruktur yang dimaksud adalah perangkat keras (hardware) dan piranti lunak (software) yang mendukung kinerja tim medis daring, dan layanan broadband yang cukup untuk menghubungkan mereka dengan para pasien secara online.
“Atribusi pertama adalah teknologi yang harus tersedia di mana layanan kesehatan diperlukan, dan kedua dia harus bisa diandalkan (reliable),” demikian tulis perusahaan pengembang teknologi 4.0 berbasis di Taiwan tersebut.
Layanan broadband yang kencang mutlak diperlukan untuk menopang layanan berobat daring ini. Jika kecepatan internet masih naik-turun hingga berujung pada buffering yang lemot, maka berobat online bakal menjadi penderitaan kedua bagi pasien, di samping derita akibat penyakit.
Di titik ini, internet Indonesia secara umum bisa lah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Namun jika bicara skala nasional di mana mayoritas dari 260 juta warga Nusantara memakai layanan tersebut, lalu lintas internet berpeluang besar down karena kecepatan internet Indonesia yang masih buruk.
Mengacu pada data Ookla Speedtest Global Index, peringkat kecepatan internet Indonesia baik yang berbasis data seluler maupun pita lebar (broadband) untuk rumah masih terbelakang jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya.
Kecepatan internet broadband Singapura (posisi 1 dunia) adalah 197,26 megabit per detik (Mbs) dan Indonesia (peringkat 113) hanya 20,13 Mbs. Untuk data seluler, Singapura (posisi 11 dunia) kecepatan internetnya 54,37 Mbs, sedangkan Indonesia (peringkat 118 dunia) hanya 14,05 Mbs.
Menyakitkan, bukan? Jadi jangankan telemedicine, mereka yang WFH pun terkadang mengeluhkan kecepatan akses internet berbasis data seluler yang melambat. Karenanya, anjuran presiden mutlak harus diikuti dengan perbaikan layanan internet nasional. Masa sih kecepatan internet kita kalah sama Myanmar?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Jokowi Minta Warga Berobat Online, ini Alasannya!
