Gojek GoPay Vs OVO, Siapa Raja Sejati Dompet Digital RI?

Roy Franedya, CNBC Indonesia
13 March 2020 14:33
Sudah jadi rahasia umum OVO dan GoPay kini saling bersaing sengit untuk menjadi dompet digital yang paling populer. Lalu siapakah yang sukses merajai Indonesia?
Foto: Ilustrasi/Gopay VS OVO/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah jadi rahasia umum OVO dan GoPay kini saling bersaing sengit untuk menjadi dompet digital yang paling populer di Indonesia. Lalu siapakah yang akan sukses merajai Indonesia?

Riset Goldman Sachs berjudul Indonesia Internet: The Fight to Unite The Verticals yang dipublikasikan pada 10 Maret 2020 bisa memberikan sedikit jawaban.


Menurut riset ini, Goldman Sachs mengatakan OVO lebih berpeluang sukses lebih besar ketimbang dompet digital lainnya. Alasannya, OVO memiliki ekosistem yang lebih lengkap dibandingkan kompetitornya.

Selain user internal yang banyak, OVO bermitra strategis dengan Grab untuk pembayaran ride-hailing dan pengantaran makanan, GrabFood, Tokopedia untuk alat pembayaran belanja online dan Grup Lippo untuk pembayaran di pusat perbelanjaan dan parkir.

"Gojek merupakan pemain kunci, tetapi mereka butuh meningkatkan pengalaman pengguna (use case) secara lebih luas salah satunya di e-commerce agar lebih besar lagi," ujar Goldman Sachs dalam risetnya seperti dikutip CNBC Indonesia, Jumat (13/3/2020).

"Mobile Payment yang menggandeng raksasa e-commerce memiliki peluang sukses yang lebih besar karena di sana peluang Gross Transaction Value (GTV) terbesar."

Meski 'menjagokan' OVO sebagai yang paling sukses di bisnis dompet digital, Goldman Sachs mengungkapkan persaingan dalam bisnis ini masih akan ketat di masa mendatang.

Apalagi Bank Indonesia (BI) sudah meluncurkan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) untuk pembayaran QR Code yang membuat level pemain dalam bisnis ini menjadi setara dan membuat pengalaman pengguna untuk transaksi offline lebih mudah dari sebelumnya.

Selain itu OVO punya risiko dari kebijakan diversifikasi bisnis ke pinjaman digital. Risiko kredit bermasalah (NPL) di Indonesia mungkin lebih besar dari China mengingat platform memiliki lebih sedikit data dibandingkan dengan pasar fintech China yang lebih maju.

"Jangka panjang, strategi OVO mungkin terganjal ambisi yang berbeda-beda dari pemegang saham atau mitra bisnisnya," jelas Goldman Sachs.

[Gambas:Video CNBC]


(roy/dru) Next Article Invasi Dompet Digital China

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular