Pak Jokowi, RI Punya Banyak "PR" Untuk Genjot Ekonomi Digital

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
09 October 2019 11:04
Pak Jokowi, RI Punya Banyak
Foto: Infografis/Kementerian Digital/Edward Ricardo
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia telah memasuki era baru bernama ekonomi digital sejak kurang lebih 9 tahun terakhir. Ekonomi digital digadang-gadang sebagai the next engine of growth bagi Indonesia.

Pertanyaannya adalah mampukah ekonomi digital menjadi mesin pertumbuhan berikutnya untuk Indonesia?


Menyandang nama yang seksi dan keren, ekonomi digital Indonesia tumbuh dengan pesat meninggalkan kawan-kawannya di kawasan Asia Tenggara. Mengutip laporan e-Conomy SEA 2019 hasil studi Google, Temasek dan Bain & Company, ekonomi digital Indonesia tumbuh 49% per tahun sejak 2015-2019.

Indonesia jadi jawara di kawasan Asia Tenggara mengalahkan Malaysia, Filiphina, Singapura, Thailand dan Vietnam yang tumbuh kurang dari 40% dalam lima tahun terakhir. Hingga tahun 2019, nilai ekonomi digital Indonesia berdasarkan Gross Merchandise Value (GMV) mencapai US$ 40 miliar atau hampir 4% dari PDB nominal Indonesia tahun 2018 lalu. Ekonomi digital di Indonesia diprediksi akan terus tumbuh dan mencapai nilai US$ 133 miliar pada 2025.

Sumber :Ekonomi digital di Asia Tenggara (Google, Temasek, Bain & Company)


Jumlah pengguna internet di kawasan Asia Tenggara pada 2019 mencapai 360 juta orang atau naik 100 juta orang dari tahun 2015. Hal ini menyebabkan merebaknya industri e-commerce, ride hailing services (ojek online), agen perjalanan online dan juga media daring di kawasan Asia Tenggara tak terkecuali di Indonesia.

Indonesia dengan populasi terbesar di kawasan Asia Tenggara telah menyumbang lebih dari setengah pengguna internet di regional ASEAN. Menurut riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2019 mencapai 171,17 juta orang.


Pasar yang sangat menarik ini membuat perusahaan rintisan/startup di Indonesia dilirik oleh investor dan mendapatkan pendanaan yang fantastis hingga membuat sebagian dari mereka menyabet gelar unicorn bahkan decacorn. Sebagai catatan unicorn digunakan untuk menyebut startup dengan valuasi sama dengan US$ 1 miliar atau lebih sedangkan decacorn digunakan untuk menyebut startup dengan valuasi lebih dari sama dengan US$ 10 miliar.

Arus pendanaan dari investor untuk perusahaan rintisan di Indonesia dari tahun ke tahun trennya mengalami peningkatan nilai transaksi per deals. Nilai transaksi rata-rata per deals di Indonesia masih jauh lebih besar dibandingkan dengan negara ASEAN lain, hanya kalah dari Singapura sebagai pusat keuangan di Asia Tenggara.


Sejak 2016-H12019, jumlah deals yang tercatat di Indonesia mencapai 820 dengan rata-rata nilai per deals mencapai US$ 12,31 juta. Itu artinya dalam satu kali kesepakatan rata-rata perusahaan rintisan Indonesia mendapat suntikan dana dari investor sebesar 172,3 miliar dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Sementara itu, Singapura dalam periode yang sama mencatatkan lebih dari 1.600 deals dengan rata-rata nilai transaksi per deals mencapai US$ 14,34 juta.



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Kalau dilihat dari sisi market attractiveness, memang Indonesia merupakan pasar yang menarik didukung oleh ukuran populasi yang besar serta adopsi teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari.

Namun untuk jadi “mesin pertumbuhan” ekonomi, cukupkah hanya dengan pasar yang menarik? Tentu saja tidak!

Bolehlah kita senang dengan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang pesat. Namun di balik itu ada segudang pekerjaan rumah yang menanti RI jika memang ingin serius menggarap ekonomi digital jadi next growth engine. Mari kita tinjau pekerjaan rumah RI dari 4 aspek yaitu berupa konektivitas, logistik, sumber daya manusia (SDM) dan skill serta regulasi yang efektif.

Kalau dilihat dari aspek konektivitas berupa kecepatan internet, Indonesia masih kalah saing dengan negara Asia Tenggara lain. Menurut studi yang dilakukan oleh Atlas and Boots, rata-rata kecepatan download di Indonesia pada 2019 adalah 6,65 Mbps. Indonesia masih kalah dengan Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. Indonesia unggul dari Filiphina.

Kecepatan internet menjadi hal yang penting dalam ekonomi digital. Pasalnya kecepatan internet mempengaruhi lama waktu interaksi seseorang dengan aplikasi e-commerce maupun ride hailing (ojek online) dan lama waktu interaksi ini punya korelasi signifikan dengan monetisasi.

Perusahaan e-commerce dan digital lain kini berlomba-lomba untuk meningkatkan waktu interaksi pelanggan dengan aplikasi melalui inovasi seperti instalasi game dalam aplikasi, streaming video, konten interaktif hingga in-app messaging.

Tujuannya jelas meningkatkan lama interaksi pelanggan dengan aplikasi yang berpotensi meningkatkan transaksi pesanan. Coba bayangkan kalau internetnya lemot, apa gak kesel tuh? Ujung-ujungnya tutup aplikasinya kan kalau lemot. Kalau itu terjadi berapa banyak potensi transaksi dan monetisasi yang hilang begitu saja. Ini yang buat jadi tidak kompetitif.

Pak Jokowi, Ini Seabrek Sumber : Google, Temasek, Bain & Company

Selain kecepatan internet, biaya dan distribusi juga merupakan aspek penting dari konektivitas dalam ekonomi digital. Portal CupoNation Indonesia menganalisis kecepatan internet serat optik di antara sejumlah negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hasilnya beberapa negara  berkinerja buruk dengan tarif yang relatif tinggi untuk koneksi internet yang lambat.

CupoNation juga mempelajari 13 penyedia internet utama di enam negara utama Asia Tenggara, seperti Singtel Singapura, UniFi Malaysia, dan IndiHome Indonesia.

Kesimpulannya adalah bahwa semakin tinggi kecepatan koneksi, semakin rendah biaya untuk setiap Megabyte per detik (Mbps). Singapura hanya menghargai 1Mbps Rp325-Rp628; Malaysia menawarkannya Rp677-Rp8.959 Mbps; Thailand dengan Rp1.080-Rp7.487 Mbps; Indonesia satu Mbps dihargai antara Rp14.895 - Rp43.500; sedangkan Kamboja yang terakhir dengan Rp18.769 - Rp70.385 untuk setiap Mbps.

Untuk memenuhi kebutuhan internet dan sektor telekomunikasi Indonesia yang semakin tinggi, pemerintah menetapkan Program Palapa Ring.
Palapa Ring merupakan proyek infrastruktur telekomunikasi berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer. Proyek itu terdiri atas tujuh lingkar kecil serat optik (untuk wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi, dan Maluku) dan satu backhaul untuk menghubungkan semuanya.

Proyek Palapa Ring ini akan mengintegrasikan jaringan yang sudah ada (existing network) dengan jaringan baru (new network) pada wilayah timur Indonesia (Palapa Ring-Timur). Jaringan tersebut berkapasitas 100 GB (Upgradeable 160 GB) dengan mengusung konsep ring, dua pair (empat core). Harapannya dengan proyek ini distribusi internet yang lebih merata ke pelosok negeri semakin terwujud.

Namun disamping masalah kecepatan internet yang masih lambat, harga yang masih mahal serta distribusi internet yang belum sepenuhnya merata, Indonesia menghadapi satu tantangan lain.

Baru saja kita menikmati teknologi bernama 4G, kini sudah muncul teknologi baru bernama 5G. Berbagai negara sedang berlomba-lomba untuk mengembangkan teknologi ini. Begitu cepatnya perkembangan teknologi saat ini membuat siapa saja yang tidak adaptif akan tertinggal. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)



Ekonomi digital di Indonesia ditopang e-commerce dengan pertumbuhan yang paling pesat. Menurut studi e-Conomy SEA 2019, nilai GMV e-commerce di Indonesia pada 2015 mencapai US$ 1,7 miliar dan naik signifikan menjadi US$ 21 miliar pada 2019.

Itu artinya industri e-commerce tumbuh dengan laju 88% per tahun. Pertumbuhan yang fantastis tentunya. Industri e-commerce ini diprediksi akan mencapai nilai GMV sebesar US$ 82 miliar pada 2025. Oleh karena itu aspek logistik jadi penting dalam ekonomi digital.

Setiap tahunnya Bank Dunia merilis data performa logistik tiap negara dalam bentuk Indeks Performa Logistik (IPL). Aspek yang diukur antara lain adalah bea cukai, infrastruktur, pengiriman internasional, kompetensi logistik, pelacakan dan penelusuran, serta ketepatan waktu.

Berdasarkan laporan tersebut Indonesia masih berada di peringkat bontot jika dibandingkan Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. Indonesia hanya unggul dari Filiphina.

Apabila dilihat lebih lanjut per kategori yang dinilai maka Indonesia hanya unggul di ketepatan waktu. Skor indeks ketepatan waktu Indonesia berada di atas rata-rata negara Asia Tenggara lain. Artinya Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah pada aspek logistiknya.

Selanjutnya dari sisi talent/SDM & skill, Indonesia ternyata juga masih punya PR. Ketersediaan dan kapabilitas sumber daya manusia merupakan faktor krusial dalam ekonomi maupun bisnis. Pasalnya dengan tersedianya SDM yang mencukupi dan kemampuan yang efektif, produktivitas akan terdongkrak. Seperti kita ketahui bersama produktivitas merupakan salah satu metrik penting dalam ekonomi maupun bisnis.

Mengutip laporan Bank Dunia, ketersediaan dan kemampuan tenaga kerja merupakan faktor yang sangat penting dalam hal menarik investor asing untuk menggelontorkan dananya ke suatu negara. 

Pada 2019, setidaknya tercatat ada 136,2 juta angkatan kerja. Sebanyak 49% bekerja di sektor jasa. Namun lebih dari 50% bekerja sebagai buruh dan bekerja di sektor informal. Setiap tahunnya rata-rata jumlah angkatan kerja bertambah 1,81 juta.

Namun, permintaan tenaga kerja digital mencapai 600 ribu/tahun menurut Giri Kuncoro, Software Engineer Gojek. Artinya dari pertambahan jumlah tenaga kerja setiap tahunnya kalau dilihat dari segi demand, 30% membutuhkan kemampuan digital. Jumlah tersebut masih belum dapat terpenuhi.

Kalau ini terus terjadi hingga 10 tahun ke depan, maka akan ada gap hingga 6-7 juta. Menurut estimasi Bekraf di tahun 2030 jumlah kebutuhan tenaga kerja untuk ekonomi digital mencapai 17 juta.

Well, berarti secara kuantitas tenaga kerja Indonesia untuk ekonomi digital masih kurang. Secara kemampuan digital Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan negara Asia Tenggara lain.

Menurut World Digital Competitiveness Report yang dirilis oleh lembaga riset global IMD, untuk skill digital Indonesia berada di peringkat 41, masih kalah dengan Malaysia dan Singapura. Sebagai pembanding juga ditampilkan evaluasi skills menurut laporan World Economic Forum (WEF) yang berjudul The Network Readiness Indeks yang mengukur kemampuan masyarakat dalam menggunakan ICT secara efektif.

Untuk menambal kesenjangan itu, pemerintah perlu kerja sama yang solid dengan berbagai institusi seperti pendidikan tinggi dan vokasi untuk mengkaji kurikulum.

Kebutuhan skill di bidang data science, artificial intelligence dan big data analytics ke depan akan semakin tinggi sehingga selain masalah kurikulum, masalah upskilling dan reskilling juga jadi hal yang penting mengingat bahwa sebenarnya populasi uisia produktif di Indonesia tergolong tinggi dengan adanya bonus demografi. Sebagai catatan, lebih dari 50% populasi Indonesia berada di bawah 30 tahun. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 4)



Faktor terakhir yang juga sangat penting adalah kebijakan yang efektif. Ekonomi digital baru menggeliat di Asia Tenggara maka masih membutuhkan kehadiran investor terutama investor asing tidak hanya untuk menginjeksi modal/capital tapi juga untuk transfer knowledge dan sharing best practice. Untuk itu, perlu dirumuskan racikan kebijakan yang tepat sasaran.

Sejauh ini, Indonesia dikenal sebagai negara dengan banyak kebijakan yang tumpang tindih, inkonsisten alias tarik ulur dan juga birokrasi yang berbelit-belit. Hal tersebut tentunya menjadi faktor yang menghambat investasi dan berkembangnya ekonomi digital. Masalah ini memang harus segera diatasi, karena jika tidak bisa rugi sendiri nantinya.

Memang Indonesia masih jadi primadona investor untuk sektor industri digital, terlihat dari aliran dana yang masuk relatif lebih besar dibandingkan dengan aliran masuk ke negara tetangga.

Namun, jika masalah kebijakan ini masih ada, bisa-bisa mengurangi selera investor terutama investor asing untuk mengucurkan dananya ke sektor industri digital Indonesia. Oleh karena itu, reformasi kebijakan dan birokrasi harus jadi prioritas dan agenda utama pemerintah.

Untuk mendukung perkembangan ekonomi digital di Indonesia beberapa langkah yang mungkin dapat diambil seperti fokus pada regulasi yang mendukung adanya inovasi dan kompetisi di sektor digital, penguatan di sektor ICT melalui fokus investasi pada infrastruktur digital dan digital skill, serta melakukan kajian efektivitas kebijakan dengan benchmark dari negara-negara dengan performa digital yang bagus.

Tantangan dari segi regulasi tidak hanya berhenti di situ saja. Dengan berkembang pesatnya teknologi digital seperti saat ini, secara langsung maupun tidak langsung menciptakan tuntutan adanya integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.

Hal tersebut tentu menuntut adanya reformasi kebijakan terkait dengan pembatasan aliran dan mobilitas barang serta orang, privasi serta cybersecurity. Tentu juga harus diimbangi dengan peningkatan daya saing biar tidak “keok”.

So, kesimpulannya ekonomi digital Indonesia memang tumbuh paling cepat tetapi jangan lupa juga bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan masih punya seabrek "PR". Supaya mendongkrak ekonomi digital biar lebih ciamik kedepannya, perbaikan konektivitas dan logistik, fokus pembangunan SDM yang berdaya saing digital serta regulatory framework yang jelas dan tepat sasaran mutlak diperlukan. 


(TIM RISET CNBC INDONESIA)




(twg/roy) Next Article Ditopang e-Commerce, Ekonomi Digital RI US$124 M di 2025

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular