
Haji dan Umrah Bisa Online, Ribuan Usaha Kecil Terancam?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
18 July 2019 11:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir pekan lalu, beredar kabar perihal rencana Tokopedia dan Traveloka untuk menjadi mitra layanan haji dan umroh.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara mengungkapkan pemerintah tengah berwacana melibatkan perusahaan e-commerce dalam pengurusan haji dan umrah.
Traveloka dan Tokopedia akan disiapkan untuk melayani berbagai kebutuhan mulai dari pemesanan tiket, akomodasi, hingga pengurusan visa.
Bahkan untuk urusan oleh-oleh, nantinya bisa dilakukan melalui platform digital.
"[Aplikasi ini] akan terintegrasi dari fintech syariah sampai beli kurma. Pakai aplikasi barang sudah ada di rumah," ujar Rudiantara kepada CNBC Indonesia.
Rudiantara mengaku inisiatif ini muncul karena Pemerintah Arab Saudi memiliki visi untuk mengembangkan ekonomi digital. Indonesia dan Arab Saudi akhirnya sepakat untuk membuat aplikasi umrah, yang akan digarap dua unicorn asal Indonesia.
Memang, ide ini secara umum bagus. Konsumen akan semakin dimudahkan. Mulai dari persiapan keberangkatan, hingga aktivitas di Tanah Suci dapat lebih mudah dengan adanya aplikasi digital.
Namun lagi-lagi, penerapan teknologi pada suatu ekosistem yang telah berjalan pasti akan menimbulkan gangguan.
Bagaimana Nasib Agen Travel Umrah?
Salah satu entitas yang mungkin paling terganggu adalah agen travel haji dan umrah yang sudah berdiri sebelumnya.
Pasalnya, pekerjaan pemesanan tiket, perizinan haji dan umroh, perencanaan hotel dan akomodasi di Tanah Suci merupakan pekerjaan mereka sebelumnya.
Memang, hingga saat ini masih belum diketahui dengan jelas seperti apa format kerja dari aplikasi umrah Tokopedia dan Traveloka.
Namun kehadiran aplikasi bisa membuat layanan agen travel terpangkas. Boleh jadi nantinya calon jemaah hanya membutuhkan jasa pemandu umrah dan perizinan dari para agen travel. Kewajiban agen travel dalam keikutsertaan dalam skema aplikasi online juga belum dapat dipastikan.
Simak video rencana pembuatan aplikasi umrah digital di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Bila nanti pemerintah tidak mengatur skema haji-umrah online ini dengan baik, maka potensi monopoli pasar oleh kedua unicorn akan terbuka lebar.
Dengan kehadiran teknologi teknologi informasi, seperti pengelolaan big data yang mumpuni, prilaku pasar dapat dengan mudah terbaca oleh perusahaan.
Apalagi data-data personal yang dibutuhkan untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh terbilang cukup padat. Mulai dari data kependudukan seperti data keluarga, cap jempol, biometrik, hingga kesehatan dibutuhkan sebagai syarat pergi ke Mekah.
Belum lagi data-data prilaku pasar seperti cara berbelanja, bepergian, hingga berekreasi yang akan sangat mudah diidentifikasi dengan analisis big data.
Pergi ke mana, beli apa, dengan siapa, berapa lama, menggunakan apa, bisa direkam dengan baik oleh penguasa data.
Jumlahnya pun tak main-main. Kuota umrah Indonesia saat ini mencapai 1 juta orang/tahun. Sementara haji 220.000 di tahun 2018. Kuota umrah rencananya akan meningkat hingga empat kali lipat di tahun 2020.
Dengan data sebanyak dan selengkap itu, para unicorn akan dengan mudah menyusun strategi bisnis yang dapat memikat calon jemaah.
Strategi seperti bundling product dan promo bisa menjadi langkah yang diambil oleh aplikator. Seperti yang sudah-sudah.
Akibatnya, aplikator berpotensi menjadi pemain kunci dalam industri perjalanan ibadah haji dan umrah. Terlebih jika data-data yang dikuasai oleh aplikator bersifat eksklusif alias tidak dapat diakses pihak lain.
Saat aplikator sudah menjadi pemain kunci dalam industri, maka pelaku usaha lain akan semakin tersingkir.
Untuk pelaku usaha eksisting seperti agen travel, penjual barang-barang haji di Tanah Abang, hingga penjual oleh-oleh di Arab Saudi akan terpaksa masuk dalam ekosistem tersebut.
Bila tidak mau masuk, ya harus siap konsekuensi kehilangan pangsa pasar.
Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantoro pun menyoroti hal serupa. Menurutnya saat ini persaingan di industri agen travel umrah masih baik lantaran terdiri dari ribuan perusahaan skala kecil.
Memang ada yang skalanya cukup besar, namun belum ada yang sangat besar dan bersifat konglomerasi seperti unicorn-unicorn. Bila nanti raksasa teknologi masuk ke ranah bisnis haji dan umrah, maka posisi perusahaan-perusahaan kecil pasti akan terganggu.
Belajar Dari Taxi Online
Kasus serupa sebenarnya sudah terjadi pada ekosistem transportasi yang berubah akibat adanya aplikasi online.
Kehadiran aplikasi online dan segudang taktik promo telah memaksa beberapa perusahaan taxi konvensional untuk melakukan efisiensi besar-besaran.
Pada kasus ini, perusahaan taxi yang kodratnya mengharap untung dari pengantaran orang harus bersaing dengan aplikator yang hanya memanfaatkan pengantaran orang sebagai penggaet pengguna (user). Pada satu titik bisa saja aplikator hanya mengharap 'impas' dari operasi pengantaran orang.
Aplikator mendapat keuntungan dari hal lain seperti transaksi digital, pemesanan makanan, serta pengantaran barang. Alhasil sulit bagi Taxi konvensional untuk bertarung seimbang pada industri transportasi, terutama perihal harga.
Pemerintah Punya Peran
Maka dari itu, peran pemerintah sebagai regulator kegiatan usaha menjadi sangat penting. Bukan berarti penerapan teknologi menjadi haram hukumnya. Hanya saja batasan-batasan bagi aplikator harus diatur dengan jelas dan tegas.
Contohnya wewenang pengumpulan data jamaah yang selayaknya jangan diberikan kepada aplikator.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Menimbang Untung-Rugi Tokped dan Traveloka Ikut Urus Haji
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara mengungkapkan pemerintah tengah berwacana melibatkan perusahaan e-commerce dalam pengurusan haji dan umrah.
Traveloka dan Tokopedia akan disiapkan untuk melayani berbagai kebutuhan mulai dari pemesanan tiket, akomodasi, hingga pengurusan visa.
"[Aplikasi ini] akan terintegrasi dari fintech syariah sampai beli kurma. Pakai aplikasi barang sudah ada di rumah," ujar Rudiantara kepada CNBC Indonesia.
Rudiantara mengaku inisiatif ini muncul karena Pemerintah Arab Saudi memiliki visi untuk mengembangkan ekonomi digital. Indonesia dan Arab Saudi akhirnya sepakat untuk membuat aplikasi umrah, yang akan digarap dua unicorn asal Indonesia.
Memang, ide ini secara umum bagus. Konsumen akan semakin dimudahkan. Mulai dari persiapan keberangkatan, hingga aktivitas di Tanah Suci dapat lebih mudah dengan adanya aplikasi digital.
Namun lagi-lagi, penerapan teknologi pada suatu ekosistem yang telah berjalan pasti akan menimbulkan gangguan.
Bagaimana Nasib Agen Travel Umrah?
Salah satu entitas yang mungkin paling terganggu adalah agen travel haji dan umrah yang sudah berdiri sebelumnya.
Pasalnya, pekerjaan pemesanan tiket, perizinan haji dan umroh, perencanaan hotel dan akomodasi di Tanah Suci merupakan pekerjaan mereka sebelumnya.
Memang, hingga saat ini masih belum diketahui dengan jelas seperti apa format kerja dari aplikasi umrah Tokopedia dan Traveloka.
Namun kehadiran aplikasi bisa membuat layanan agen travel terpangkas. Boleh jadi nantinya calon jemaah hanya membutuhkan jasa pemandu umrah dan perizinan dari para agen travel. Kewajiban agen travel dalam keikutsertaan dalam skema aplikasi online juga belum dapat dipastikan.
Simak video rencana pembuatan aplikasi umrah digital di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Bila nanti pemerintah tidak mengatur skema haji-umrah online ini dengan baik, maka potensi monopoli pasar oleh kedua unicorn akan terbuka lebar.
Dengan kehadiran teknologi teknologi informasi, seperti pengelolaan big data yang mumpuni, prilaku pasar dapat dengan mudah terbaca oleh perusahaan.
Apalagi data-data personal yang dibutuhkan untuk melaksanakan ibadah haji dan umroh terbilang cukup padat. Mulai dari data kependudukan seperti data keluarga, cap jempol, biometrik, hingga kesehatan dibutuhkan sebagai syarat pergi ke Mekah.
Belum lagi data-data prilaku pasar seperti cara berbelanja, bepergian, hingga berekreasi yang akan sangat mudah diidentifikasi dengan analisis big data.
Pergi ke mana, beli apa, dengan siapa, berapa lama, menggunakan apa, bisa direkam dengan baik oleh penguasa data.
Jumlahnya pun tak main-main. Kuota umrah Indonesia saat ini mencapai 1 juta orang/tahun. Sementara haji 220.000 di tahun 2018. Kuota umrah rencananya akan meningkat hingga empat kali lipat di tahun 2020.
Dengan data sebanyak dan selengkap itu, para unicorn akan dengan mudah menyusun strategi bisnis yang dapat memikat calon jemaah.
Strategi seperti bundling product dan promo bisa menjadi langkah yang diambil oleh aplikator. Seperti yang sudah-sudah.
Akibatnya, aplikator berpotensi menjadi pemain kunci dalam industri perjalanan ibadah haji dan umrah. Terlebih jika data-data yang dikuasai oleh aplikator bersifat eksklusif alias tidak dapat diakses pihak lain.
Saat aplikator sudah menjadi pemain kunci dalam industri, maka pelaku usaha lain akan semakin tersingkir.
Untuk pelaku usaha eksisting seperti agen travel, penjual barang-barang haji di Tanah Abang, hingga penjual oleh-oleh di Arab Saudi akan terpaksa masuk dalam ekosistem tersebut.
Bila tidak mau masuk, ya harus siap konsekuensi kehilangan pangsa pasar.
Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sutrisno Iwantoro pun menyoroti hal serupa. Menurutnya saat ini persaingan di industri agen travel umrah masih baik lantaran terdiri dari ribuan perusahaan skala kecil.
Memang ada yang skalanya cukup besar, namun belum ada yang sangat besar dan bersifat konglomerasi seperti unicorn-unicorn. Bila nanti raksasa teknologi masuk ke ranah bisnis haji dan umrah, maka posisi perusahaan-perusahaan kecil pasti akan terganggu.
Belajar Dari Taxi Online
Kasus serupa sebenarnya sudah terjadi pada ekosistem transportasi yang berubah akibat adanya aplikasi online.
Kehadiran aplikasi online dan segudang taktik promo telah memaksa beberapa perusahaan taxi konvensional untuk melakukan efisiensi besar-besaran.
Pada kasus ini, perusahaan taxi yang kodratnya mengharap untung dari pengantaran orang harus bersaing dengan aplikator yang hanya memanfaatkan pengantaran orang sebagai penggaet pengguna (user). Pada satu titik bisa saja aplikator hanya mengharap 'impas' dari operasi pengantaran orang.
Aplikator mendapat keuntungan dari hal lain seperti transaksi digital, pemesanan makanan, serta pengantaran barang. Alhasil sulit bagi Taxi konvensional untuk bertarung seimbang pada industri transportasi, terutama perihal harga.
Pemerintah Punya Peran
Maka dari itu, peran pemerintah sebagai regulator kegiatan usaha menjadi sangat penting. Bukan berarti penerapan teknologi menjadi haram hukumnya. Hanya saja batasan-batasan bagi aplikator harus diatur dengan jelas dan tegas.
Contohnya wewenang pengumpulan data jamaah yang selayaknya jangan diberikan kepada aplikator.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Menimbang Untung-Rugi Tokped dan Traveloka Ikut Urus Haji
Most Popular