Patutkah Tukar Kemudahan Akses dengan Bunga Fintech Selangit?
Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
17 July 2019 11:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Layanan peminjaman uang melalui perusahaan financial technology (fintech) peer-to-peer (P2P) lending memberi kemudahan kepada peminjam (borrower) dalam meraih uang yang dibutuhkan. Kecepatan menjadi alasan utama masyarakat meminjam uang melalui fintech.
Ada harga, ada barang. Ada kecepatan, ada harga yang harus dibayar yaitu bunga pinjaman yang berada di atas rerata bunga kredit perbankan. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menentukan bunga pinjaman sebesar 0,8% per harinya. Besarannya berlipat menjadi 24% dalam sebulan dan 292% dalam setahun.
Ekonom Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan bunga pinjaman yang tinggi akan menghambat cita-cita kehadiran fintech itu sendiri yaitu mendorong inklusi keuangan. Sebab, bunga yang tinggi membuat risiko kredit (non performing loan/NPL) meningkat.
"Maka dari itu yang bunganya mahal biasanya fintech untuk kredit konsumsi, sementara yang produktif ke UMKM bunganya relatif lebih kompetitif. Jadi, fintech perlu dibuatkan regulasi porsi saluran [kredit] ke produktif. Perlu dibentuk Peraturan OJK (POJK) sendiri," ungkap Bhima, Rabu (17/7/2019).
Bunga pinjaman tinggi itu hingga saat ini dampaknya dinilai masih terbatas lantaran porsi penyaluran kredit melalui fintech masih di bawah 5% dibanding penyaluran kredit perbankan. Namun, ketika porsi penyaluran kredit fintech semakin besar akan tetap membawa dampak sistemik.
"Sekarang dampaknya terbatas karena porsi penyaluran kredit fintech masih dibawah 5% dibanding kredit bank. Tapi kalau dibiarkan ya berdampak sistemik ketika share fintech makin besar," tambah Bhima.
Bhima melanjutkan, kehadiran fintech memang membawa alternatif pendanaan lain di masyarakat. Di sisi lain, masyarakat dibebankan bunga yang tinggi. Pengawasan yang tidak ketat akan merugikan konsumen.
"Ya tidak setinggi itu juga bunganya. Intinya kita perlu perbesar porsi yang produktif dengan bunga terjangkau. Dan lakukan pengetatan pengawasan ke fintech payday lending yang bunganya tinggi. Kalau dibiarkan yang rugi adalah konsumen," tuturnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah bahkan menyebut fintech sebagai 'musang berbulu domba' yang menjalankan bisnis mencari rente dengan 'baju' teknologi informasi.
"Saya bikin fintech dengan bunga tinggi berarti dari awal yang kita kejar itu margin, spread dari suku bunga. Saya pinjamkan berapa saya dapat berapa," imbuhnya.
Ke depannya, lanjut Pieter, seiring dengan literasi keuangan masyarakat akan meninggalkan fintech. Menurutnya, sosialisasi merupakan hal yang paling penting agar masyarakat teredukasi bahwa ada risiko dalam proses peminjaman uang melalui fintech.
"Secara ekonomi makro pengaruhnya terlalu kecil, tapi secara sosial masyarakat sering kali menjadi pihak yang rugi." tutupnya.
Simak video tentang fintech lending di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy) Next Article Kredit Macet Fintech Tembus 3,18%, Perlukah Khawatir?
Ada harga, ada barang. Ada kecepatan, ada harga yang harus dibayar yaitu bunga pinjaman yang berada di atas rerata bunga kredit perbankan. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menentukan bunga pinjaman sebesar 0,8% per harinya. Besarannya berlipat menjadi 24% dalam sebulan dan 292% dalam setahun.
Ekonom Insitute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan bunga pinjaman yang tinggi akan menghambat cita-cita kehadiran fintech itu sendiri yaitu mendorong inklusi keuangan. Sebab, bunga yang tinggi membuat risiko kredit (non performing loan/NPL) meningkat.
![]() |
Bunga pinjaman tinggi itu hingga saat ini dampaknya dinilai masih terbatas lantaran porsi penyaluran kredit melalui fintech masih di bawah 5% dibanding penyaluran kredit perbankan. Namun, ketika porsi penyaluran kredit fintech semakin besar akan tetap membawa dampak sistemik.
"Sekarang dampaknya terbatas karena porsi penyaluran kredit fintech masih dibawah 5% dibanding kredit bank. Tapi kalau dibiarkan ya berdampak sistemik ketika share fintech makin besar," tambah Bhima.
Bhima melanjutkan, kehadiran fintech memang membawa alternatif pendanaan lain di masyarakat. Di sisi lain, masyarakat dibebankan bunga yang tinggi. Pengawasan yang tidak ketat akan merugikan konsumen.
"Ya tidak setinggi itu juga bunganya. Intinya kita perlu perbesar porsi yang produktif dengan bunga terjangkau. Dan lakukan pengetatan pengawasan ke fintech payday lending yang bunganya tinggi. Kalau dibiarkan yang rugi adalah konsumen," tuturnya.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah bahkan menyebut fintech sebagai 'musang berbulu domba' yang menjalankan bisnis mencari rente dengan 'baju' teknologi informasi.
"Saya bikin fintech dengan bunga tinggi berarti dari awal yang kita kejar itu margin, spread dari suku bunga. Saya pinjamkan berapa saya dapat berapa," imbuhnya.
Ke depannya, lanjut Pieter, seiring dengan literasi keuangan masyarakat akan meninggalkan fintech. Menurutnya, sosialisasi merupakan hal yang paling penting agar masyarakat teredukasi bahwa ada risiko dalam proses peminjaman uang melalui fintech.
"Secara ekonomi makro pengaruhnya terlalu kecil, tapi secara sosial masyarakat sering kali menjadi pihak yang rugi." tutupnya.
Simak video tentang fintech lending di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy) Next Article Kredit Macet Fintech Tembus 3,18%, Perlukah Khawatir?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular