Fintech, 'Binatang Liar' yang Harus Diatur

Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
23 January 2019 19:57
OJK sebagai regulator ingin agar 'binatang-binatang' ini bisa dipelihara sehingga tidak menimbulkan kekacauan.
Foto: Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia pada tahun 2030 diprediksi akan menjadi bagian dari tujuh negara dengan ekonomi terbesar. Ke depan Indonesia juga diprediksi menjadi salah satu dari tiga negara yang menjadi raksasa digital setelah Tiongkok dan India.

Hadirnya perusahaan financial technology (Fintech) di industri keuangan membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator harus bersiap mengatur fintech yang semakin menjamur.

Deputi Komisioner Institute OJK Sukarela Batunanggar menganalogikan fintech sebagai binatang liar di hutan. Sebagai regulator, OJK ingin memelihara 'binatang-binatang' itu agar tidak menimbulkan kekacauan. Itu kenapa OJK ke depannya akan mengatur lebih banyak soal fintech.

"Startup [fintech] dianalogikan seperti binatang liar di hutan. Kita sebagai regulator ingin agar 'binatang-binatang' ini bisa dipelihara sehingga tidak menimbulkan kekacauan. Maka kita buat kandang lalu kita observasi perilakunya dan latih sehingga jinak," kata Sukarela dalam acara Antisipasi Disrupsi Teknologi Keuangan Kerja 4.0 : Mengendalikan Fintech sebagai Parameter Perekonomian Masa Kini yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Alumni Universitas Sumatera Utara, Rabu (23/1/2019).

OJK sendiri sudah mengeluarkan dua peraturan yang mengatur fintech. Pertama, Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dan POJK Nomor 13 Tahun 2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan.

Sebelum memulai bisnis start up pun OJK melakukan verifikasi keamanan bisnis fintech tersebut. Keamanan akan diuji setelah mereka mengajukan permohonan membuka usaha. OJK dan ahli akan melakukan pengetesan.

"Dalam konteks perbankan, ketika propose pilihannya 'ya' atau 'tidak'. Kalau fintech ini masih ada ruang untuk perbaikan proposal, inovasi. Jangan sampai risiko ini membunuh pangsa pasar yang bertelur emas," imbuhnya.

Proses dilanjutkan dengan tahap pendalaman di mana OJK mempelajari perusahaan fintech itu. Model bisnis akan diperiksa dan disepakati pendekatan apa yang akan digunakan dalam mereview perusahaan.

Intinya, OJK ingin fintech yang ada di Indonesia merupakan fintech yang sehat, berkontribusi, dan inklusi ingin menyasar masyarakat. OJK memiliki lima prinsip dalam pengaturan fintech, diantaranya pengaturan berbasis prinsip. Sukarela menjelaskan, pengaturan terhadap lembaga keuangan konvensional berbeda dengan fintech.

"Terhadap perbankan prudential prinsipal cenderung rule based. Tapi untuk fintech, dibuat hanya prinsip-prinsipnya saja. mengapa? karena perkembangan fintech cepat, dan bisnis modelnya beda dengan bank," katanya.

Sukarela menambahkan, di perbankan risikonya ada di bank yang menghimpun dan salurkan dana. Ada banyak risiko, yaitu risiko kredit, likuiditas, pasar, termasuk risiko operasional. Sementara, fintech peer to peer platform hanya melakukan disintermediasi dan chanelling saja.

Kedua, fintech harus mengikuti market conduct. OJK bertanggung jawab untuk memastikan fintech beroperasi dengan baik. Namun, Sukarela menegaskan, tanggung jawab utama kelangsungan bisnis ada pada perusahaan fintech itu sendiri.

"Caranya? dengan transparansi dan edukasi terhadap konsumen," ujarnya.

Selain itu, fintech juga harus bisa menjamin perlindungan konsumen sebagai prinsip dasar. Fintech juga diharuskan melakukan inovasi untuk berkembang. Terakhir, fintech harus masuk ke dalam regulatory sign box di mana fintech 'dipelihara'.

"Latih sehingga jadi jinak." pungkas Sukarela.

[Gambas:Video CNBC]



(dob/dob) Next Article Senjata Pembunuh China Terungkap, Amerika Bisa Tamat Seketika

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular