
Startup Usia 5 Tahun Kalahkan Valuasi BTN, Kok Bisa?
Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
23 January 2019 14:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Menjamurnya perusahaan rintisan financial technologi (fintech) dikhawatirkan kian menggeser industri perbankan. Pertumbuhannya kian pesat hingga sejumlah petinggi perbankan menilai fintech sebagai kompetitor utama di masa depan.
Direktur Collection & Asset Management BTN Nixon Napitupulu bahkan membandingkan valuasi perusahaan start up sekelas Gojek yang berdiri sejak 2010 lebih besar dibanding valuasi perusahaan PT Bank Tabungan Negara (BBTN) yang sudah beroperasi lebih dari 60 tahun.
Nixon menyebut, saat ini valuasi Gojek senilai Rp54 triliun, sementara valuasi BTN senilai Rp 29 triliun. Dengan 300.000 pengendara Gojek berhasil menggandeng sekitar 30 juta costumer. Sementara, BTN dengan 4-5 juta costumer memiliki valuasi Rp29 triliun, meskipun jumlah asetnya memang lebih besar, yaitu Rp 300 triliun.
"Umurnya baru lima tahun tapi valuasi atau harga perusahaannya sudah Rp 54 triliun. Bank BTN dengan customer 4-5 juta valuasi ya Rp 29 triliun. Gojek valuasi naik, tapi dia sebenarnya rugi," kata Nixon di Jakarta, Rabu (23/1/2019).
Fintech, menurut Nixon, memiliki keleluasaan lebih dalam berbisnis. Bila bank lebih konvensional, fintech cenderung eksperimental. Bila terjadi kesalahan, bank tidak cukup hanya meminta maaf kepada nasabah untuk kembali menggunakan jasa bank tersebut. Menurutnya, persepsi orang terhadap fintech dan bank berbeda.
Di sisi lain, dari segi organisasi, bank lebih kompleks, sementara fintech lebih sederhana. Sampai saat ini, fintech di Indonesia paling banyak menawarkan produk sistem pembayaran, disusul dengan pinjaman hingga produk wealth management.
"[Tapi] kerahasiaan data jadi masalah. Jangan sampai nomor hape kita di-share ke mana mana. Saya tidak mengatakan peer to peer lending akan turun tapi Indonesia punya masalah dengan Non performing Loan (NPL)," ucapnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini tengah menggodok beragam aturan fintech. Namun, sebenarnya gaya fintech dan bank berbeda. Nixon mempertanyakan apakah fintech sudah terjamin sistem anti-money laundry. "Itu kita belum bisa jawab," ujarnya.
Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar menyatakan, perkembangan fintech di Indonesia masih harus menemui persoalan, diantaranya rendahnya inklusi keuangan masyarakat Indonesia, adanya gap pembiayaan UMKM, kurangnya literasi dan kurangnya pengembangan sumber daya manusia.
"Ke depan diprediksi Indonesia menjadi salah satu negara dari tiga negara yang merupakan raksasa digital setelah Tiongkok dan India. Potensinya harus dikelola dengan baik." Katanya.
[Gambas:Video CNBC]
(dob/dob) Next Article Tantang OVO & GoPay, Bank BUMN Bikin QR Code Gandeng WeChat
Direktur Collection & Asset Management BTN Nixon Napitupulu bahkan membandingkan valuasi perusahaan start up sekelas Gojek yang berdiri sejak 2010 lebih besar dibanding valuasi perusahaan PT Bank Tabungan Negara (BBTN) yang sudah beroperasi lebih dari 60 tahun.
Fintech, menurut Nixon, memiliki keleluasaan lebih dalam berbisnis. Bila bank lebih konvensional, fintech cenderung eksperimental. Bila terjadi kesalahan, bank tidak cukup hanya meminta maaf kepada nasabah untuk kembali menggunakan jasa bank tersebut. Menurutnya, persepsi orang terhadap fintech dan bank berbeda.
Di sisi lain, dari segi organisasi, bank lebih kompleks, sementara fintech lebih sederhana. Sampai saat ini, fintech di Indonesia paling banyak menawarkan produk sistem pembayaran, disusul dengan pinjaman hingga produk wealth management.
"[Tapi] kerahasiaan data jadi masalah. Jangan sampai nomor hape kita di-share ke mana mana. Saya tidak mengatakan peer to peer lending akan turun tapi Indonesia punya masalah dengan Non performing Loan (NPL)," ucapnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini tengah menggodok beragam aturan fintech. Namun, sebenarnya gaya fintech dan bank berbeda. Nixon mempertanyakan apakah fintech sudah terjamin sistem anti-money laundry. "Itu kita belum bisa jawab," ujarnya.
Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar menyatakan, perkembangan fintech di Indonesia masih harus menemui persoalan, diantaranya rendahnya inklusi keuangan masyarakat Indonesia, adanya gap pembiayaan UMKM, kurangnya literasi dan kurangnya pengembangan sumber daya manusia.
"Ke depan diprediksi Indonesia menjadi salah satu negara dari tiga negara yang merupakan raksasa digital setelah Tiongkok dan India. Potensinya harus dikelola dengan baik." Katanya.
[Gambas:Video CNBC]
(dob/dob) Next Article Tantang OVO & GoPay, Bank BUMN Bikin QR Code Gandeng WeChat
Most Popular