
Perkembangan Teknologi
Perusahaan Jepang Mulai Pekerjakan Robot Pabrik Ukuran Kecil
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
20 April 2018 17:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah robot berlengan dua dengan hati-hati menumpuk bola-bola nasi ke dalam kotak di sebuah pabrik di Jepang untuk dibawa seorang pekerja ke toko-toko. Di pabrik pengemasan makanan lain, robot ditugaskan untuk menabur lada dan keju bubuk di atas pasta yang baru saja dihidangkan dalam sebuah wadah.
Di negara yang terkenal banyak menggunakan tenaga robot industri berskala besar di pabrik-pabriknya itu, mesin-mesin yang relatif mungil itu sebelumnya diabaikan dengan alasan berbiaya tinggi dan memberi margin yang rendah. Namun, hal berubah baru-baru ini.
Karena banyak tenaga kerja yang mulai menua di Jepang dan juga di tempat lain, robot kolaboratif (collaborative robots/ cobot) mulai banyak digunakan sebagai alternatif utama untuk membantu pekerja di semua jenis pekerjaan tanpa perlu menggantikan tenaga manusia.
Fanuc dan Yaskawa Electric, dua perusahaan Jepang produsen robot terbesar di dunia, tidak melihat adanya pergeseran tenaga manusia menjadi tenaga robot. Saat ini mereka berusaha untuk mengejar ketinggalan.
"Kami tidak menganggap pabrikan besar ingin menggunakan robot semacam itu, karena robot itu hanya dapat mengangkat beban ringan dan memiliki kemampuan yang terbatas," kata Kazuo Hariki, direktur eksekutif di Fanuc, dilansir dari Reuters.
Meskipun masih menyumbang sebagian kecil dari total pasar robot industri yang senilai US$40 miliar (Rp 556 triliun), segmen cobots diperkirakan tumbuh hingga lebih dari US$10 miliar selama dekade berikutnya. Angka tersebut diperkirakan naik berpuluh-puluh kali lipat dari angka saat ini.
Konsep kerja di mana robot dijadikan rekan kerja relatif baru. Perusahaan Denmark, Universal Robots yang didirikan pada tahun 2005, memperkenalkan cobot untuk diaplikasikan di dunia industri pada akhir 2008. Dalam pembuatannya, Universal Robots bekerja sama dengan beberapa produsen mobil besar asal Jerman, seperti Volkswagen.
Pada awalnya, "banyak orang yang salah memahami apa itu cobot," kata kepala eksekutif Universal Robots, Juergen von Hollen. Tetapi cobot dengan cepat menjadi populer di Eropa karena keamanan, kesederhanaan, dan kemampuan mereka untuk secara langsung membantu pekerja manusia.
Didukung oleh strategi "Industrie 4.0" Berlin untuk mempromosikan pabrik pintar, beberapa orang dan perusahaan ternama, seperti Kuka dan Robert Bosch, mulai mengikuti Universal Robots, merambah ke pasar robot pada awal tahun 2010-an.
Cobot, yang relatif murah dan mudah dioperasikan, sekarang ini banyak digunakan oleh berbagai perusahaan untuk mengerjakan pekerjaan ringan dan sederhana.
Di Jepang, pembuat makanan Nippon Flour Mills menggunakan cobot yang dibuat oleh Kawasaki Heavy Industries untuk bekerja menambah bumbu di makanan kemasan yang dijual di toserba tersebut.
"Upah pekerja meningkat, juga semakin banyak persaingan dalam merekrut tenaga kerja," kata Atsushi Honda, menejer tim teknologi di grup teknik pabrik Nippon Flour.
Mengotomatisasi beberapa tugas dengan mesin, yang tidak perlu dipisahkan dari karyawan manusia, membantu perusahaan menyelesaikan masalah tenaga kerja itu, katanya.
Awal yang Lambat
Analis industri mengatakan selain diremehkan daya tarik cobot-nya, perusahaan pembuat robot Jepang juga mendapat tekanan dari peraturan keamanan yang dibentuk pemerintah mereka.
Robot industri berskala besar harus dibatasi kontaknya dengan manusia. Robot yang diperbolehkan bekerja di dekat orang-orang dilihat dari seberapa kuat tenaga mereka.
Pembatasan pada cobot sempat melonggar di akhir tahun 2013, guna mencocokkan peraturan dengan standar internasional. Pada awalnya perusahaan-perusahaan pembuat robot Jepang tetap berhati-hati dalam memproduksi robotnya, namun sekarang ini sudah mulai mencoba masuk ke pasar.
Fanuc pada bulan Februari mengakuisisi Life Robotics Inc, yang memiliki beberapa klien termasuk Toyota Motor Corp dan Omron Corp. Nilai transaksi tidak disebutkan. Itu adalah akuisisi pertama dalam 15 tahun ini yang dilakukan oleh Fanuc, yang dikenal di kalangan investor karena mempunyai kas perusahaan yang besar. Saingannya, Yaskawa Electric, merilis cobot pertamanya tahun lalu.
Namun keduanya tetap tertinggal jauh di belakang Universal Robots, yang memiliki sekitar 60% pangsa pasar dari total pangsa pasar global. Universal Robots saat ini dimiliki oleh Teradyne, menurut perusahaan analisis BIS Research. Fanuc memiliki pangsa pasar 6%-10%, dan pangsa pasar Yaskawa bahkan lebih kecil dari keduanya.
Pimpinan perusahaan robot Yaskawa, Masahiro Ogawa mengatakan yakin perusahaan bisa tumbuh karena pelanggan mencari model robot yang lebih canggih.
"Ketika pengguna terbiasa menangani cobot, mereka akan meminta robot yang lebih canggih dan beragam. Kami mampu memenuhi permintaan tersebut dengan lebih baik," kata Ogawa.
Mitsubishi Electric Corp berencana meluncurkan cobot awal tahun depan, yang ditujukan untuk pengguna, seperti perusahaan pembuat barang elektronik dan perusahaan logistik, kata Katsutoshi Urabe, manajer senior yang bertanggung jawab atas penjualan robot perusahaan.
Kawasaki Heavy, perusahaan mesin raksasa yang memasuki pasar pada tahun 2015, bergabung dengan saingan Swiss-nya (perusahaan ABB) tahun lalu. Kedua perusahaan berencana untuk menstandardisasi pemrograman cobot, kata Tomonori Sanada, yang bertanggung jawab atas pemasaran robot dan perencanaan penjualan di Kawasaki.
Tapi von Hollen dari Universal Robots tidak terpengaruh oleh rencana perusahaan-perusahaan besar tersebut, mengatakan pasar akan tetap tumbuh untuk mengakomodasi pesaing baru.
Perusahaannya, yang melaporkan lonjakan pendapatan 72% menjadi US$170 juta tahun lalu, memperkirakan setidaknya akan mengalami pertumbuhan pendapatan sebesar 50% pada tahun 2018.
"Mungkin hanya 10% dari target pasar kami yang benar-benar tahu tentang robot kolaboratif. Jadi, ada 90% potensi yang hilang dan belum terjamah," katanya.
(prm) Next Article Hebatnya Orang Jepang, Bikin Robot Gundam Raksasa Bergerak
Di negara yang terkenal banyak menggunakan tenaga robot industri berskala besar di pabrik-pabriknya itu, mesin-mesin yang relatif mungil itu sebelumnya diabaikan dengan alasan berbiaya tinggi dan memberi margin yang rendah. Namun, hal berubah baru-baru ini.
Karena banyak tenaga kerja yang mulai menua di Jepang dan juga di tempat lain, robot kolaboratif (collaborative robots/ cobot) mulai banyak digunakan sebagai alternatif utama untuk membantu pekerja di semua jenis pekerjaan tanpa perlu menggantikan tenaga manusia.
"Kami tidak menganggap pabrikan besar ingin menggunakan robot semacam itu, karena robot itu hanya dapat mengangkat beban ringan dan memiliki kemampuan yang terbatas," kata Kazuo Hariki, direktur eksekutif di Fanuc, dilansir dari Reuters.
Meskipun masih menyumbang sebagian kecil dari total pasar robot industri yang senilai US$40 miliar (Rp 556 triliun), segmen cobots diperkirakan tumbuh hingga lebih dari US$10 miliar selama dekade berikutnya. Angka tersebut diperkirakan naik berpuluh-puluh kali lipat dari angka saat ini.
Konsep kerja di mana robot dijadikan rekan kerja relatif baru. Perusahaan Denmark, Universal Robots yang didirikan pada tahun 2005, memperkenalkan cobot untuk diaplikasikan di dunia industri pada akhir 2008. Dalam pembuatannya, Universal Robots bekerja sama dengan beberapa produsen mobil besar asal Jerman, seperti Volkswagen.
Pada awalnya, "banyak orang yang salah memahami apa itu cobot," kata kepala eksekutif Universal Robots, Juergen von Hollen. Tetapi cobot dengan cepat menjadi populer di Eropa karena keamanan, kesederhanaan, dan kemampuan mereka untuk secara langsung membantu pekerja manusia.
Didukung oleh strategi "Industrie 4.0" Berlin untuk mempromosikan pabrik pintar, beberapa orang dan perusahaan ternama, seperti Kuka dan Robert Bosch, mulai mengikuti Universal Robots, merambah ke pasar robot pada awal tahun 2010-an.
Cobot, yang relatif murah dan mudah dioperasikan, sekarang ini banyak digunakan oleh berbagai perusahaan untuk mengerjakan pekerjaan ringan dan sederhana.
Di Jepang, pembuat makanan Nippon Flour Mills menggunakan cobot yang dibuat oleh Kawasaki Heavy Industries untuk bekerja menambah bumbu di makanan kemasan yang dijual di toserba tersebut.
"Upah pekerja meningkat, juga semakin banyak persaingan dalam merekrut tenaga kerja," kata Atsushi Honda, menejer tim teknologi di grup teknik pabrik Nippon Flour.
Mengotomatisasi beberapa tugas dengan mesin, yang tidak perlu dipisahkan dari karyawan manusia, membantu perusahaan menyelesaikan masalah tenaga kerja itu, katanya.
Awal yang Lambat
Analis industri mengatakan selain diremehkan daya tarik cobot-nya, perusahaan pembuat robot Jepang juga mendapat tekanan dari peraturan keamanan yang dibentuk pemerintah mereka.
Robot industri berskala besar harus dibatasi kontaknya dengan manusia. Robot yang diperbolehkan bekerja di dekat orang-orang dilihat dari seberapa kuat tenaga mereka.
Pembatasan pada cobot sempat melonggar di akhir tahun 2013, guna mencocokkan peraturan dengan standar internasional. Pada awalnya perusahaan-perusahaan pembuat robot Jepang tetap berhati-hati dalam memproduksi robotnya, namun sekarang ini sudah mulai mencoba masuk ke pasar.
Fanuc pada bulan Februari mengakuisisi Life Robotics Inc, yang memiliki beberapa klien termasuk Toyota Motor Corp dan Omron Corp. Nilai transaksi tidak disebutkan. Itu adalah akuisisi pertama dalam 15 tahun ini yang dilakukan oleh Fanuc, yang dikenal di kalangan investor karena mempunyai kas perusahaan yang besar. Saingannya, Yaskawa Electric, merilis cobot pertamanya tahun lalu.
Namun keduanya tetap tertinggal jauh di belakang Universal Robots, yang memiliki sekitar 60% pangsa pasar dari total pangsa pasar global. Universal Robots saat ini dimiliki oleh Teradyne, menurut perusahaan analisis BIS Research. Fanuc memiliki pangsa pasar 6%-10%, dan pangsa pasar Yaskawa bahkan lebih kecil dari keduanya.
Pimpinan perusahaan robot Yaskawa, Masahiro Ogawa mengatakan yakin perusahaan bisa tumbuh karena pelanggan mencari model robot yang lebih canggih.
"Ketika pengguna terbiasa menangani cobot, mereka akan meminta robot yang lebih canggih dan beragam. Kami mampu memenuhi permintaan tersebut dengan lebih baik," kata Ogawa.
Mitsubishi Electric Corp berencana meluncurkan cobot awal tahun depan, yang ditujukan untuk pengguna, seperti perusahaan pembuat barang elektronik dan perusahaan logistik, kata Katsutoshi Urabe, manajer senior yang bertanggung jawab atas penjualan robot perusahaan.
Kawasaki Heavy, perusahaan mesin raksasa yang memasuki pasar pada tahun 2015, bergabung dengan saingan Swiss-nya (perusahaan ABB) tahun lalu. Kedua perusahaan berencana untuk menstandardisasi pemrograman cobot, kata Tomonori Sanada, yang bertanggung jawab atas pemasaran robot dan perencanaan penjualan di Kawasaki.
Tapi von Hollen dari Universal Robots tidak terpengaruh oleh rencana perusahaan-perusahaan besar tersebut, mengatakan pasar akan tetap tumbuh untuk mengakomodasi pesaing baru.
Perusahaannya, yang melaporkan lonjakan pendapatan 72% menjadi US$170 juta tahun lalu, memperkirakan setidaknya akan mengalami pertumbuhan pendapatan sebesar 50% pada tahun 2018.
"Mungkin hanya 10% dari target pasar kami yang benar-benar tahu tentang robot kolaboratif. Jadi, ada 90% potensi yang hilang dan belum terjamah," katanya.
(prm) Next Article Hebatnya Orang Jepang, Bikin Robot Gundam Raksasa Bergerak
Most Popular