
Aktor Hingga Politikus Beli Akun Palsu Demi Naikkan Follower
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
20 February 2018 12:35

- Pengguna media sosial membayar perusahaan gelap untuk mendapatkan pengikut (follower) online
- Identitas asli dicuri dan digunakan untuk meningkatkan metrik
Jakarta, CNBC Indonesia - Jessica Rychly yang asli adalah remaja asal Minnesota, Amerika Serikat (AS), yang memiliki senyum lebar dan rambut bergelombang. Dia suka membaca dan mengidolakan bintang rap Post Malone.
Ketika bermain Facebook atau Twitter, dia sering menuliskan tentang kejenuhan atau bertukar candaan dengan teman-temannya. Terkadang, seperti remaja pada umumnya, dia juga mengunggah swafoto gaya duck-face.
Namun, di Twitter ada versi lain dari Jessica yang tidak dikenali oleh teman-teman dan keluarganya. Meskipun keduanya memiliki nama, foto bahkan deskripsi diri bertuliskan “Saya punya masalah” yang sama, Jessica yang satu mempromosikan akun penjualan investasi perumahan asal Kanada, mata uang kripto (cryptocurrency) dan stasiun radio asal Ghana.
Semua akun tersebut adalah milik pelanggan perusahaan gelap asal Amerika bernama Devumi, yang telah mengumpulkan jutaan dolar dari pasar gelap penipuan media sosial.
Devumi menjual pengikut (follower) dan retweet Twitter untuk selebriti, bisnis, dan siapa saja yang ingin tampak lebih populer atau menggunakan pengaruh media sosial online. Dengan mengumpulkan stok akun otomatis yang diestimasi sedikitnya 3,5 juta, masing-masing terjual berkali-kali, perusahaan itu telah menyediakan lebih dari 200 juta follower Twitter untuk konsumennya, menurut investigasi New York Times (NYT) baru-baru ini.
Akun-akun yang sebagian besar menyerupai orang asli, seperti Rychly, mengungkapkan jenis pencurian identitas sosial berskala besar. Paling tidak 55.000 akun menggunakan nama, gambar profil, kota asal dan info pribadi lebih detail lainnya dari pengguna Twitter yang asli, menurut analisis data dari NYT.
Contohnya Jessica Rychly yang identitas sosialnya dicuri oleh akun “robot” di Twitter saat masih duduk di bangku SMA.
“Saya tidak mau gambar saya terhubung ke akun itu, apalagi nama saya,” kata Rychly yang kini berusia 19 tahun. “Saya tidak percaya seseorang bahkan membayar untuk akun seperti itu. Ini sangat mengerikan.”
Akun-akun tersebut adalah sumber uang dalam bisnis pengaruh (influencer) online yang pesat yang menjangkau secara virtual industri apapun yang memiliki banyak massa dan dapat dimonetisasi.
Akun palsu, yang disebarkan oleh pemerintah, penjahat, dan pengusaha, kini memenuhi jaringan media sosial. Jika diperhitungkan, dari 48 juta pengguna yang dilaporkan aktif di Twitter, hampir 15% adalah akun otomatis yang didesain untuk meniru orang asli, meskipun perusahaan mengklaim jumlahnya jauh lebih rendah dari itu.
Pada bulan November, Facebook mengungkapkan ke investor bahwa perusahaan memiliki pengguna palsu paling tidak dua kali lipat dari estimasi sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa akun otomatis yang jumlahnya mencapai 60 juta bisa jadi berkeliaran di kanal media sosial terbesar di dunia ini.
Akun palsu tersebut, yang juga dikenal sebagai “bot”, membantu mempengaruhi penonton iklan dan membentuk debat politik. Mereka bisa menipu bisnis dan menghancurkan reputasi. Namun, pembuatan dan penjualannya saat ini berada di zona hukum yang masih tidak jelas.
“Keberlanjutan akun penipu dan interaksi di kanal media sosial, serta jasa penipuan yang profesional, adalah indikasi bahwa masih banyak hal yang perlu dibereskan,” kata Senator Mark Warner, anggota Demokrat dari Virginia dan anggota Komite Intelijen Senat, yang menyelidiki penyebaran akun palsu di Facebook, Twitter, dan kanal lainnya.
Di tengah meningkatnya kritik terhadap perusahaan media sosial dan berkembangnya pengawasan dari pemerintah, jual-beli follower palsu tetap masih sangat buram.
Sementara Twitter dan kanal lain melarang pembelian follower, Devumi dan belasan situs lain justru terang-terangan menjualnya. Perusahaan media sosial pun, yang pangsa pasarnya sangat berkaitan dengan jumlah pengguna layanan, membuat peraturan sendiri untuk mendeteksi dan menghapus akun-akun palsu.
Pendiri Devumi, German Calas, menampik tuduhan bahwa perusahaannya menjual follower palsu dan mengatakan bahwa ia tidak tahu-menahu tentang pencurian identitas sosial dari pemilki akun asli.
“Tuduhan itu keliru, dan kami tidak tahu tentang aktivitas semacam itu,” kata Calas lewat surat elektronik (surel) pada bulan November.
NYT memeriksa bisnis dan catatan pengadilan yang menunjukkan Devumi memiliki lebih dari 200.000 konsumen, termasuk bintang televisi, atlet profesional, komedian, pembicara TED, pendeta, dan model. Catatan tersebut menunjukkan bahwa mereka membeli untuk follower mereka sendiri.
Namun, ada juga pembelian yang dilakukan oleh karyawan, agen, perusahaan hubungan masyarakat (public relation), anggota keluarga, dan teman mereka. Hanya dengan satu sen dolar atau sekitar Rp 1.350 per akun, bahkan terkadang kurang dari itu, Devumi menawarkan sejumlah follower di Twitter, view di YouTube, play di situs musik SoundCloud, dan endorsement di situs jejaring profesional LinkedIn.
Aktor John Leguizamo memiliki follower dari Devumi. Tokoh lainnya adalah miliuner komputer Michael Dell, mantan gelandang klub Raven dan komentator sepak bola Ray Lewis. Kathy Ireland, model pakaian renang yang kini memimpin perusahaan bernilai lebih dari setengah miliar dolar, memiliki ratusan dari ribuan follower palsu dari Devumi.
Jumlah yang sama juga dimiliki oleh Akbar Gbajabiamila, pembawa acara “American Ninja Warior”. Bahkan, anggota direksi Twitter Martha Lane Fox pun memiliki beberapa follower palsu dari Devumi.
Ketika Facebook, Twitter, dan Google bergulat dengan epidemi manipulasi politik dan berita palsu, follower palsu Devumi juga bekerja sebagai prajurit “bayangan” di pertarungan politik online. Konsumen Devumi termasuk suporter fanatik dan kritikus kuat dari Presiden AS Donald Trump, serta cendekiawan liberal dan media sayap kanan Breitbart.
Randy Bryce, seorang pekerja di sektor industri besi yang berusaha untuk menggeser Paul Ryan dari posisi Senat Wisconsin, membeli follower dari Devumi pada tahun 2015 saat masih menjadi seorang blogger dan aktivis.
Louise Linton, istri Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, membeli follower ketika ia mencoba untuk menaikkan pengaruhnya sebagai seorang aktris.
Devumi juga melayani politisi dan pemerintahan dari berbagai negara lainnya.
Seorang editor dari kantor berita milik China, Xinhua, membayar Devumi untuk ratusan ribu follower dan retweet di Twitter, media sosial yang sudah diblokir oleh pemerintah setempat namun dipandang sebagai forum untuk menyebarkan propaganda ke luar negeri.
Lenin Moreno, penasehat presiden Ekuador, juga membeli puluhan ribu follower dan retweet untuk akun kampanye Moreno pada pemilu tahun lalu.
Kristin Binns, juru bicara Twitter, mengatakan perusahaan tidak secara khusus menghentikan pengguna yang dicurigai membeli bot, sebagian besar karena sulit bagi perusahaan untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab terhadap pembelian tersebut.
Twitter tidak dapat memastikan apakah akun palsu yang ditunjukkan oleh tim NYT, yang masing-masing meniru pengguna asli, melanggar peraturan perusahaan yang melawan peniruan.
“Kami terus berjuang keras untuk mengatasi otomatisasi yang bertujuan jahat di kanal kami serta akun palsu dan spam,” kata Binns.
Tidak seperti beberapa perusahaan media sosial, Twitter tidak mewajibkan akun untuk dikaitkan dengan orang asli. Ia juga mengizinkan akses otomatisasi lebih banyak ke kanalnya daripada perusahaan lain, membuatnya lebih mudah untuk mengatur dan mengontrol akun dalam jumlah lebih besar.
“Media sosial adalah dunia virtual yang setengahnya dipenuhi oleh bot, setengahnya oleh orang asli,” kata Rami Essaid, pendiri Distil Networks, perusahaan keamanan siber spesialis pemusnahan jejaring bot. “Anda tidak dapat menilai tweet dari apa yang terlihat, tidak semuanya seperti yang terlihat.”
(prm) Next Article Facebook Hapus Ratusan Akun Palsu Pendukung Trump, Kenapa?
Most Popular