
Transportasi Online
Sulitnya Pemerintah Mengutip Pajak Taksi Online
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
29 January 2018 18:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah memungut pajak taksi online bisa saja dilakukan, selama perusahaan penyedia jasa layanan tranportasi daring tersebut berbadan hukum atau Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, jika perusahaan taksi online sudah berbentuk BUT, maka Direktorat Jenderal Pajak bisa dengan leluasa mengenakan pajak.
Adapun jenis pajak yang dikenakan, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Badan sesuai dengan pasal 2 ayat 5 huruf P Undang-Undang PPh 36/2009. Sementara itu, tarif yang dikenakan sesuai dengan pasal 17 dan pasal 26 ayat 4 UU PPh.
Namun, apabila perusahaan tersebut belum memiliki badan hukum yang jelas, maka otoritas pajak tidak akan bisa memungut pajak perusahaan taksi online, lantaran tidak cukup kuat disebut BUT.
“Menurut saya harus ada subjek pajaknya. Harus dipaksa berbadan hukum Indonesia, dan aktif sebagai operator,” kata Prastowo kepada CNBC Indonesia, Senin (29/1/2018).
Tanpa menjadi BUT, menurut dia, akan sulit bagi pemerintah mengukur tingkat kepatuhan pajak penyedia transportasi online. Masalah ini, kata Prastowo, tak jauh berbeda dengan pengenaan pajak bagi bisnis Over The Top (TOP).
“Memang sulit, harus dipaksa dengan bisnis OTT lainnya,” ungkapnya.
Lantas, bagaimana dengan pengenaan pajak bagi para pengemudi taksi online menurut payung hukum yang sudah ada?
Bagi taksi kovensional, pengemudi yang mendapatkan gaji setelah bagi hasil dengan perusahaan angkutan umum akan dikenakan PPh 21 yang dipotong oleh perusahaan sesuai dengan tarif yang ditetapkan dalam aturan dan tidak dikenakan PPh 23.
Berbeda dengan taksi konvensional, pengenaan pajak bagi taksi online saat ini berbeda-beda. Misalnya, seperti pengemudi Grab yang dikenakan hanya PPh 23 lantaran tidak diketahui besaran sewa, bahan bakar, maupun upahnya.
Lain halnya pengemudi Uber. Pengemudi dikenakan PPh pasal 21. Sebab, upah pengemudi diketahui dalam invoice Uber.
(roy/roy) Next Article Satu Dekade Berdarah-darah, Taksi Online Ini Akhirnya Untung
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, jika perusahaan taksi online sudah berbentuk BUT, maka Direktorat Jenderal Pajak bisa dengan leluasa mengenakan pajak.
Adapun jenis pajak yang dikenakan, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Badan sesuai dengan pasal 2 ayat 5 huruf P Undang-Undang PPh 36/2009. Sementara itu, tarif yang dikenakan sesuai dengan pasal 17 dan pasal 26 ayat 4 UU PPh.
“Menurut saya harus ada subjek pajaknya. Harus dipaksa berbadan hukum Indonesia, dan aktif sebagai operator,” kata Prastowo kepada CNBC Indonesia, Senin (29/1/2018).
Tanpa menjadi BUT, menurut dia, akan sulit bagi pemerintah mengukur tingkat kepatuhan pajak penyedia transportasi online. Masalah ini, kata Prastowo, tak jauh berbeda dengan pengenaan pajak bagi bisnis Over The Top (TOP).
“Memang sulit, harus dipaksa dengan bisnis OTT lainnya,” ungkapnya.
Lantas, bagaimana dengan pengenaan pajak bagi para pengemudi taksi online menurut payung hukum yang sudah ada?
Bagi taksi kovensional, pengemudi yang mendapatkan gaji setelah bagi hasil dengan perusahaan angkutan umum akan dikenakan PPh 21 yang dipotong oleh perusahaan sesuai dengan tarif yang ditetapkan dalam aturan dan tidak dikenakan PPh 23.
Berbeda dengan taksi konvensional, pengenaan pajak bagi taksi online saat ini berbeda-beda. Misalnya, seperti pengemudi Grab yang dikenakan hanya PPh 23 lantaran tidak diketahui besaran sewa, bahan bakar, maupun upahnya.
Lain halnya pengemudi Uber. Pengemudi dikenakan PPh pasal 21. Sebab, upah pengemudi diketahui dalam invoice Uber.
(roy/roy) Next Article Satu Dekade Berdarah-darah, Taksi Online Ini Akhirnya Untung
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular