MARKET DATA

Akhir Tahun Tak Tenang: Investor Dikepung Badai Kabar Genting

Elvan Widyatama,  CNBC Indonesia
29 December 2025 06:20
Suasana pusat perbelanjaan Kota Kasablanka di Jakarta, Selasa (19/12/2023).
Foto: Suasana pusat perbelanjaan Kota Kasablanka di Jakarta, Selasa (19/12/2023). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Memasuki pekan terakhir perdagangan di tahun 2025, pelaku pasar akan dihadapkan pada sejumlah rilis data ekonomi penting baik dari dalam negeri maupun global yang berpotensi menjadi penggerak utama pasar.

Meski hanya akan ada tiga hari perdagangan di pekan ini seiring libur perayaan tahun baru, volatilitas tetap berpeluang meningkat seiring pasar mencerna berbagai sinyal arah ekonomi dan kebijakan moneter ke depan.

Dari dalam negeri, perhatian investor akan tertuju pada rilis Indeks Harga Konsumen (IHK) Desember serta data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur.

Sementara dari eksternal, pasar global akan mencermati perkembangan kebijakan moneter dan data ekonomi dari Jepang, China, hingga Amerika Serikat. Rilis risalah FOMC The Fed, data inflasi AS, serta sinyal lanjutan dari Bank of Japan dan kondisi manufaktur China akan turut memengaruhi sentimen risiko global, pergerakan dolar AS, serta aliran modal ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

Berikut rangkuman sejumlah sentimen utama yang perlu dipantau pelaku pasar pada perdagangan pekan yang singkat namun krusial ini.

Penutupan Bursa & Libur Akhir Tahun

Bursa Indoensia akan mengakhir perdagangan pada tahun ini pada Rabu (30/12/2025). Seperti tradisi, pada penutupan bursa di hari terakhir akan ada acara seremonial khusus dengan dihadiri sejumlah pejabat penting serta pemangku kepentingan.

Menerik ditunggu apa saja pencapaian Bursa Efek Indonesia (BEI) selama 2025 serta kebijakan apa saja yang akan disampaikan pemegang pemangku kepentingan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengembangkan bursa Indonesai ke depan.

Masyarakat Indonesia dan dunia juga akan merayakan Tahun Baru 2026 pada Kamis dan Jumat pekan ini. Perayaan ini tentu akan berimbas positif pada sejumlah emiten mulai dari consumer goods, transportasi, hotel hingga ritel.

Emiten seperti PT Unilever Indonesia (UNVR), PT Garuda Indonesia (GIAA), PT Eastparc Hotel (EAST), PT Hotel Mandarine Regency Tbk (HOME), PT Hotel Sahid Jaya International Tbk (SHID), PT Bukit Uluwatu Villa Tbk (BUVA), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), dan PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).

Cari Cuan Lewat Santa Rally

Menjelang tutup buku akhir tahun, pasar saham global kerap diwarnai satu istilah klasik: Santa Claus Rally. Fenomena musiman ini merujuk pada kecenderungan harga saham yang menguat di penghujung Desember hingga awal Januari. Ini adalah periode yang sering diasosiasikan dengan optimisme liburan dan ekspektasi tahun baru.

Santa Claus Rally bukan tanggal khusus, melainkan rentang waktu musiman ketika indeks saham cenderung mencatatkan kenaikan. Literatur pasar menyepakati definisi paling popular yakni lima hari perdagangan terakhir di bulan Desember ditambah dua hari perdagangan pertama di Januari. Meski kerap muncul dalam statistik historis, reli ini tidak bersifat pasti dan tidak selalu terjadi setiap tahun.

 

Secara umum, jendela Santa Claus Rally mencakup:

  • 5 hari bursa terakhir Desember, dan
  • 2 hari perdagangan pertama Januari.

Untuk periode 2025-2026, jendela ini diperkirakan dimulai sekitar 24 Desember 2025 dan berlanjut hingga awal Januari 2026. Karena kalender libur akhir tahun memendekkan hari perdagangan, tanggal efektif bisa sedikit bergeser tiap tahun. Namun, acuan "5+2 hari" tetap menjadi rujukan utama pelaku pasar.

Santa Claus Rally adalah tradisi musiman yang kerap dinanti, namun bukan jaminan cuan. Investor tetap perlu mencermati faktor fundamental dan risiko global, alih-alih bertumpu pada kalender semata.

Risalah Pertemuan Bank Sentral Jepang

Pelaku pasar pada pagi ini, Senin (29/12/2025), akan mencermati rilis Summary of Opinions dari pertemuan Desember Bank of Japan (BOJ). Dokumen ini dinanti untuk memberikan gambaran lebih rinci mengenai latar belakang keputusan BOJ yang secara bulat menaikkan suku bunga kebijakan jangka pendek sebesar 25 basis poin menjadi 0,75% pada pertemuan Desember.

Level suku bunga tersebut merupakan yang tertinggi sejak September 1995, sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa Jepang semakin menjauh dari era kebijakan moneter super longgar. Kenaikan ini juga menjadi kenaikan kedua sepanjang tahun 2025, setelah langkah serupa dilakukan pada Januari.

BOJ menilai prospek perekonomian domestik cukup solid, didukung oleh ekspektasi kenaikan upah yang berkelanjutan pada 2026 seiring membaiknya laba korporasi. Meski demikian, dewan gubernur menegaskan bahwa suku bunga riil masih berada di level sangat negatif, sehingga kondisi keuangan secara keseluruhan tetap akomodatif dan mendukung aktivitas ekonomi.

Ke depan, BOJ menegaskan bahwa kenaikan suku bunga lanjutan masih terbuka apabila prospek ekonomi berjalan sesuai perkiraan. Di sisi lain, inflasi inti diproyeksikan melambat di bawah target 2% hingga paruh pertama tahun fiskal 2026, sebelum kembali meningkat secara bertahap setelahnya.

Langkah normalisasi kebijakan moneter BOJ ini berpotensi mengurangi daya tarik strategi carry trade global. Carry trade merupakan strategi investasi di mana investor meminjam dana dari negara dengan suku bunga sangat rendah seperti Jepang untuk kemudian menempatkannya pada aset berimbal hasil lebih tinggi di negara lain.

Kenaikan suku bunga Jepang meningkatkan biaya pendanaan, sehingga mendorong investor mengurangi posisi carry trade dan berpotensi memicu arus balik dana ke Jepang.

Implikasinya, dinamika kebijakan BOJ dapat memengaruhi arus modal global, termasuk ke pasar negara berkembang di Asia, di tengah kondisi likuiditas yang semakin selektif menjelang pergantian tahun.

Rilis Risalah The Fed Jadi Perhatian Pasar

Pelaku pasar domestik hingga global juga akan menantikan rilis risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) dari Federal Reserve yang dijadwalkan terbit pada Rabu (31/12/2025.

Dokumen ini dinilai krusial untuk membaca arah kebijakan moneter AS ke depan, terutama setelah The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 3,75% pada pertemuan 9-10 Desember lalu.

Meski kembali menurunkan suku bunga, The Fed secara tegas menyampaikan sikap yang lebih berhati-hati terkait peluang pelonggaran lanjutan pada 2026. Oleh karena itu, risalah rapat kali ini diperkirakan akan mengungkap perbedaan pandangan di internal komite mengenai kecepatan dan ruang pemangkasan suku bunga berikutnya, sekaligus memperjelas syarat-syarat yang akan menjadi dasar pengambilan kebijakan ke depan.

Dalam pernyataan kebijakan sebelumnya, The Fed menegaskan bahwa waktu dan besaran penyesuaian suku bunga selanjutnya akan ditentukan berdasarkan evaluasi menyeluruh terhadap data ekonomi terbaru, perubahan proyeksi, serta keseimbangan risiko.

Pernyataan ini diinterpretasikan pelaku pasar sebagai sinyal bahwa bank sentral AS cenderung mengambil sikap menunggu dan mencermati data, alih-alih terburu-buru memangkas suku bunga lebih dalam dalam waktu dekat.

Pandangan tersebut juga tercermin dalam dot plot, yang menunjukkan bahwa pemangkasan suku bunga pada 2026 kemungkinan terbatas hanya satu kali.

Di sisi lain, wacana pelonggaran moneter kembali menguat setelah Kevin Hassett, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih sekaligus kandidat kuat Ketua The Fed berikutnya yang akan menjabat mulai Mei tahun depan, menyampaikan pandangan yang lebih dovish. Dia menilai bahwa tren inflasi inti yang tidak memasukkan harga pangan dan energi telah turun di bawah target 2% The Fed, sehingga masih tersedia ruang untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut.

Hassett juga menilai bahwa kebijakan moneter AS seharusnya telah dilonggarkan lebih awal, sejalan dengan pernyataan Presiden Donald Trump yang menyebut The Fed terlalu lambat merespons dinamika inflasi.

Rilis risalah FOMC ini berpotensi memengaruhi ekspektasi pasar terhadap arah suku bunga AS, pergerakan dolar, serta aliran modal global, termasuk ke pasar emerging markets seperti Indonesia.

Manufaktur China (NBS PMI)

Pelaku pasar juga menanti rilis data aktivitas manufaktur China yang dijadwalkan pada Rabu (31/12/2025). Data ini penting karena China adalah mitra dagang utama Indonesia, sehingga arah manufaktur China kerap memengaruhi sentimen pasar, terutama komoditas dan perdagangan.

Sebagai pembanding, data resmi NBS Manufacturing PMI China untuk November 2025 berada di level 49,2. Angka tersebut masih di bawah 50 yang berarti aktivitas pabrik masih kontraksi, meski sedikit membaik dibandingkan pada periode Oktober yang berada di 49,0. Tekanan terutama datang dari permintaan yang lemah, persaingan harga domestik yang ketat, serta sentimen ekspor yang masih hati-hati di tengah ketidakpastian global.

Dengan latar itu, rilis berikutnya pada akhir tahun akan menjadi penentu apakah kontraksi mulai mereda atau justru berlanjut, yang pada akhirnya bisa ikut memengaruhi selera risiko di pasar Asia, termasuk Indonesia.

Survei Swasta China (RatingDog PMI)

Selain menanti rilis data resmi pemerintah China, pelaku pasar juga akan mencermati survei manufaktur swasta RatingDog PMI yang dijadwalkan rilis pada hari yang sama. Data ini kerap menjadi pelengkap penting untuk membaca kondisi riil sektor manufaktur China dari sudut pandang pelaku usaha.

Sebagai pembanding, RatingDog PMI China periode November 2025 tercatat di level 49,9, turun dari 50,6 pada bulan sebelumnya. Angka ini berada di bawah ambang batas 50 yang menandakan kontraksi, sekaligus meleset dari ekspektasi pasar yang sebelumnya memperkirakan indeks berada di kisaran 49,8-49,9. Capaian tersebut juga menjadi level terendah sejak Juli.

Laporan RatingDog menunjukkan aktivitas pabrik China masih cenderung stagnan, dengan output dan pesanan baru yang bergerak terbatas. Kondisi ini bahkan mendorong sebagian perusahaan melakukan penyesuaian tenaga kerja di tengah lemahnya permintaan.

Meski demikian, terdapat sedikit titik terang dari sisi eksternal. Pesanan asing tercatat tumbuh dengan laju tercepat dalam delapan bulan terakhir, didorong oleh upaya pengembangan bisnis ke pasar luar negeri. Dari sisi biaya, harga input masih tertekan akibat mahalnya harga logam, namun tekanan inflasi mulai mereda dan berada di level terlembut dalam lima bulan terakhir.

Dengan latar belakang tersebut, rilis RatingDog PMI berikutnya akan menjadi indikator penting untuk mengonfirmasi apakah sektor manufaktur China mulai menunjukkan stabilisasi di penghujung 2025 atau justru masih tertahan di fase pelemahan.

PMI Manufaktur RI Ditunggu Awal 2026

Pelaku pasar juga akan mencermati rilis Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang akan dipublikasikan oleh S&P Global pada Jumat (2/1/2026).

Sebelumnya, PMI Manufaktur Indonesia pada November 2025 tercatat di level 53,3, melonjak signifikan dari 51,2 pada Oktober. Capaian tersebut merupakan level tertinggi sejak Februari 2025 sekaligus menandai empat bulan berturut-turut sektor manufaktur berada di fase ekspansi.

Penguatan PMI ini menjadi sinyal positif setelah sektor industri sempat tertekan pada periode April-Juli 2025, ketika PMI berada di bawah ambang batas 50 selama empat bulan berturut-turut atau berada di zona kontraksi.

Kembalinya PMI ke atas level 50 sejak Agustus, dan berlanjut hingga November, menunjukkan bahwa pemulihan manufaktur Indonesia berlangsung relatif konsisten menjelang akhir tahun.

Menurut laporan S&P Global, akselerasi PMI November terutama ditopang oleh lonjakan pesanan baru yang tumbuh dengan laju tercepat dalam 27 bulan terakhir. Peningkatan permintaan tersebut terutama berasal dari pasar domestik, seiring bertambahnya jumlah pelanggan dan aktivitas pemesanan.

Sebaliknya, permintaan dari luar negeri masih menghadapi tekanan, tercermin dari pesanan ekspor yang mencatatkan penurunan terdalam dalam 14 bulan terakhir.

Dari sisi produksi, output manufaktur kembali berekspansi setelah sempat melemah selama tiga bulan sebelumnya. Laju ekspansi produksi pada November menjadi yang tercepat sejak Februari, mengindikasikan bahwa pelaku industri mulai meningkatkan kapasitas produksi untuk mengakomodasi permintaan domestik yang menguat.

IHK Desember

Di hari yang sama, pelaku pasar juga akan menantikan rilis Indeks Harga Konsumen (IHK) Desember 2025 yang akan diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data inflasi ini menjadi krusial untuk membaca arah tekanan harga di penghujung tahun sekaligus menjadi acuan ekspektasi kebijakan moneter Bank Indonesia ke depan.

Sebagai pembanding, inflasi pada November 2025 tercatat melambat menjadi 0,17% secara bulanan (mtm), turun dari 0,28% pada Oktober. Secara tahunan, inflasi juga menurun menjadi 2,72% (yoy) dari sebelumnya 2,86% yoy.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menyebut inflasi November lebih rendah dibanding bulan sebelumnya maupun periode yang sama tahun lalu.

Tekanan inflasi pada November relatif terbatas dan hanya dipicu oleh segelintir komoditas, terutama dari kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya. Kelompok ini mencatat inflasi tertinggi sebesar 1,21% dengan andil 0,09%, yang sebagian besar berasal dari kenaikan harga emas perhiasan dengan andil 0,08%.

Selain itu, kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami inflasi 0,06% dengan andil 0,02%, disusul kelompok kesehatan yang mencatat inflasi 0,12% dengan andil 0,01%. Kelompok transportasi juga mengalami inflasi 0,34% dengan andil 0,04%.

Di sisi lain, sejumlah kelompok pengeluaran seperti pakaian dan alas kaki, pendidikan, hingga rekreasi, olahraga, dan budaya tercatat tidak memberikan andil inflasi pada November 2025. Hal ini mencerminkan bahwa tekanan harga masih relatif terkendali dan belum bersifat luas.

(evw/evw)


Most Popular
Features