Mata Uang Asia Rontok Lawan Dolar, Rupiah Justru Menguat Sendirian!
Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang Asia kompak melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pagi ini, Rabu (17/12/2025).
Mengacu data Refinitiv, per pukul 09.15 WIB, sebanyak 9 dari 11 mata uang Asia yang dipantau tercatat melemah terhadap greenback. Di tengah tekanan tersebut, rupiah justru tampil menguat sendirian di Asia.
Rupiah terapresiasi tipis 0,03% ke level Rp16.680/US$. Pergerakan rupiah cenderung terbatas seiring sikap wait and see pelaku pasar yang menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang dijadwalkan diumumkan pada siang hari ini.
Sementara itu, ringgit Malaysia bergerak stabil atau stagnan di level MYR 4,083/US$.
Di sisi lain, mayoritas mata uang Asia justru bergerak di zona pelemahan. Won Korea Selatan menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam dengan terkoreksi 0,51% ke level KRW 1.480,2/US$.
Dolar Singapura turut melemah 0,15% ke posisi SGD 1,2909/US$, disusul dolar Taiwan yang terkoreksi 0,11% ke level TWD 31,504/US$. Dong Vietnam juga terpantau melemah 0,10% di posisi VND 26.335/US$.
Tekanan juga terlihat pada yen Jepang yang melemah 0,06% ke level JPY 154,8/US$, seiring pelemahan mata uang Asia lainnya. Peso Filipina ikut terkoreksi 0,06% ke level PHP 58,714/US$, sementara rupee India melemah 0,04% ke posisi INR 90,96/US$.
Adapun baht Thailand melemah tipis 0,03% ke level THB 31,43/US$, sedangkan yuan China relatif stabil dengan pelemahan terbatas 0,01% di level CNY 7,0425/US$.
Pergerakan mata uang Asia pada pagi ini masih erat kaitannya dengan dinamika dolar Amerika Serikat (AS) di pasar global.
Indeks dolar AS (DXY), yang mengukur kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama dunia, terpantau rebound tipis sekitar 0,07% ke kisaran 98,2, setelah sebelumnya melemah dan berada di dekat level terendah sejak awal Oktober.
Meski mencatat penguatan terbatas pagi ini, tren dolar AS secara keseluruhan masih berada dalam tekanan. Data terbaru menunjukkan pasar tenaga kerja AS belum sepenuhnya pulih.
Pada November, ekonomi AS hanya menambah sekitar 64.000 lapangan kerja, sementara tingkat pengangguran bertahan relatif tinggi di 4,6%. Data tersebut memperkuat persepsi bahwa momentum ekonomi AS masih rapuh, meski sebagian angka dinilai terdistorsi oleh penutupan pemerintahan federal yang panjang.
Kondisi ini membuat pelaku pasar tetap berhati-hati dalam membaca arah kebijakan moneter The Fed.
Sejumlah analis menilai data ketenagakerjaan terbaru menggambarkan pertumbuhan tenaga kerja yang lemah, sehingga membuka ruang pelonggaran kebijakan lebih lanjut, meski belum cukup kuat untuk mendorong pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat.
Pekan lalu, The Fed memangkas suku bunga sesuai ekspektasi, namun memberikan sinyal bahwa penurunan lanjutan kemungkinan akan berlangsung terbatas.
Proyeksi resmi bank sentral AS menunjukkan hanya satu kali pemangkasan tambahan pada 2026. Meski demikian, pasar masih mempricing peluang pemangkasan lebih dari satu kali tahun depan, dengan fokus utama tertuju pada perkembangan data inflasi dan ketenagakerjaan berikutnya.
Ketidakpastian arah kebijakan The Fed inilah yang membuat dolar AS bergerak fluktuatif dan berdampak langsung ke mata uang Asia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)