MARKET DATA

Menanti BI Rate, Rupiah Dibuka Menguat Jadi Rp16.660

Elvan Widyatama,  CNBC Indonesia
17 December 2025 09:04
Petugas menunjukkan uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing di tempat penukaran uang PT Ayu Masagung, Jakarta, Senin (18/11/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Foto: Petugas menunjukkan uang pecahan dolar AS dan rupiah di gerai penukaran mata uang asing di tempat penukaran uang PT Ayu Masagung, Jakarta, Senin (18/11/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan Rabu (17/12/2025). Seiring dengan sikap wait and see pelaku pasar yang menantikan keputusan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI-Rate).

Melansir data Refinitiv, rupiah Garuda berhasil menguat ke level Rp16.660/US$ di perdagangan pagi ini atau terapresiasi 0,15%. Setelah di perdagangan sebelumnya, rupiah ditutup melemah 0,15% atau koreksi ke level Rp16.685/US$.

Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) pada pukul 09.00 WIB terpantau menguat 0,07% atau naik ke level 98,191. Setelah di perdagangan sebelumnya, melemah 0,17% di level 98,146.

Pergerakan rupiah hari ini sejalan dengan sikap hati-hati pelaku pasar yang masih menantikan keputusan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI). Bank sentral kembali menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG BI) yang berlangsung pada Selasa-Rabu (16-17 Desember 2025).

Berdasarkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga/institusi, sebanyak tujuh lembaga memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan di level 4,75%, sementara lima lembaga lainnya memproyeksikan pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin ke level 4,50%.

Sebanyak tujuh lembaga yang memproyeksikan penahanan suku bunga menilai stabilitas nilai tukar rupiah masih menjadi pertimbangan paling krusial bagi BI.

Walaupun secara fundamental ruang untuk memangkas suku bunga masih terbuka, Chief Economist Bank Permata, Josua Pardede, menilai risiko terhadap stabilitas rupiah saat ini masih lebih dominan.

"Saat ini kami melihat risiko pada sisi stabilitas Rupiah lebih mendominasi sehingga BI-rate kemungkinan besar akan ditahan," ujar Josua Pardede kepada CNBC Indonesia.

Josua menjelaskan bahwa sentimen investor global masih cenderung risk-off. Selain itu, pelemahan data ekonomi di kawasan Asia Pasifik, khususnya dari Tiongkok, membuat arus modal masuk (capital inflow) ke pasar domestik belum sepenuhnya kondusif.

Dari sisi eksternal, dolar AS di pasar global pada perdagangan Selasa jatuh ke level terendah dalam 2 bulan dan ditutup melemah 0,17%.

Tekanan terhadap dolar dipicu oleh rilis data ekonomi AS yang cenderung mendukung kebijakan moneter yang lebih longgar, termasuk data ketenagakerjaan November, penjualan ritel Oktober, serta aktivitas manufaktur AS.

Tekanan terhadap dolar juga diperkuat oleh langkah The Fed yang mulai meningkatkan likuiditas di sistem keuangan melalui pembelian US$40 miliar per bulan Treasury bills, yang efektif dimulai sejak pekan lalu.

Selain itu, pasar juga mencermati kekhawatiran bahwa Presiden AS Donald Trump berpotensi menunjuk Ketua The Fed yang cenderung dovish, yang dinilai akan menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Trump sebelumnya menyatakan akan mengumumkan pilihannya untuk Ketua The Fed baru pada awal 2026.

(evw/evw)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Menutup Pekan Naik Tipis, Dolar AS Turun ke Rp16.625


Most Popular
Features