'Bantuan' dari AS Bisa Buat IHSG Makin Merajalela, Rupiah Gimana?
Pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (5/12/2025) pelaku pasar akan mencermati berbagai rilis data dan perkembangan ekonomi global khususnya dari AS. Memburuknya data dari AS, terutama pengangguran bisa menopang IHSG hari ini. Dengan angka pengangguran yang naik maka kemungkinan pemangkasan suku bunga The Fed bisa semakin dekat.
Dari dalam negeri, fokus utama tertuju pada Bank Indonesia (BI) yang hari ini akan merilis dua indikator penting. Cadangan devisa dan uang primer periode November 2025. Kedua data ini menjadi acuan untuk membaca ketahanan likuiditas serta stabilitas eksternal Indonesia menjelang akhir tahun.
Berikut rangkuman sejumlah sentimen dari dalam maupun luar negeri yang akan turut mempengaruhi pergerakan IHSG, rupiah, hingga pasar obligasi pada hari ini:
Cadangan Devisa RI November
Pasar menantikan update terbaru cadangan devisa (cadev) Indonesia untuk November, terutama setelah posisi Oktober 2025 mencatat kenaikan solid menjadi US$149,9 miliar, naik dari US$148,7 miliar pada September.
Kenaikan tersebut didorong oleh penerbitan global bond pemerintah serta meningkatnya penerimaan pajak dan jasa, di tengah langkah stabilisasi pasar valas yang terus dilakukan BI menghadapi ketidakpastian global.
Dengan posisi Oktober yang setara 6,2 bulan impor, atau 6,0 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri pemerintah, Indonesia masih berada jauh di atas standar kecukupan internasional yang hanya sekitar tiga bulan impor.
BI menegaskan bahwa cadangan devisa yang kuat tetap menjadi kunci untuk menjaga ketahanan sektor eksternal sekaligus mendukung stabilitas makroekonomi.
Uang Primer (M0) November
Selain cadev, pasar juga mencermati rilis uang primer (M0) adjusted untuk November, yang akan dipublikasikan BI hari ini.
Pada Oktober 2025, M0 adjusted tumbuh 14,4% yoy, melambat dibandingkan 18,6% yoy pada September, sehingga total posisi M0 adjusted mencapai Rp2.117,6 triliun.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa perlambatan tersebut dipengaruhi moderasi pertumbuhan giro bank umum di BI adjusted yang naik 27,1% yoy, serta pertumbuhan uang kartal beredar yang tercatat 13,4% yoy.
BI juga menekankan bahwa penggunaan metode M0 adjusted bertujuan mengisolasi dampak kebijakan insentif likuiditas, sehingga tren pertumbuhan uang primer dapat mencerminkan kondisi likuiditas pasar secara lebih akurat. Penyesuaian metodologi ini mulai berlaku sejak Januari 2025.
AS Rilis Inflasi PCE Oktober, Pasar Global Bersiap
Pasar global hari ini juga akan menantikan rilis data Personal Consumption Expenditures (PCE) Index Amerika Serikat periode Oktober. Indikator inflasi favorit bank sentral AS (The Fed) yang akan menjadi acuan utama dalam menentukan arah kebijakan suku bunganya.
Menurut sejumlah lembaga, inflasi PCE diperkirakan naik 2,8% yoy per Oktober atau meningkat dari 2,7% yoy pada September dan berpotensi menjadi level tertinggi sejak April 2024.
Sementara itu, PCE inti yang tidak memasukkan harga pangan dan energi diproyeksikan tumbuh 2,9% yoy, sama seperti bulan sebelumnya.
Jika realisasi sesuai ekspektasi, maka ini akan menandai 55 bulan berturut-turut inflasi inti PCE berada di atas target 2% yang ditetapkan The Fed.
Inflasi Amerika Serikat memang sempat turun tajam setelah puncak pandemi pada 2022, namun tekanan kembali meningkat sepanjang 2025. Salah satunya dipicu kebijakan tarif impor Presiden Donald Trump, yang direspons pelaku usaha dengan menaikkan harga jual kepada konsumen.
Rilis kali ini sempat tertunda akibat penutupan pemerintahan AS atau government shutdown. Jika benar PCE mencapai 2,8% yoy, maka laju inflasinya akan setara dengan Consumer Price Index (CPI) untuk September, yang biasanya bergerak searah meski tidak selalu identik.
Klaim Awal Pengangguran AS Turun Tajam Tapi Jumlah PHK Bulanan Naik
Data tenaga kerja di AS menunjukkan dua sisi yang berbeda. AS mengumumkan laporan terbaru klaim awal pengangguran yang dirilis Departemen Tenaga Kerja AS pada Kamis (4/12/2025).
Data menunjukkan bahwa klaim awal tunjangan pengangguran turun signifikan sebesar 27.000 pada pekan yang berakhir 29 November, menjadi 191.000, jauh lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar. Penurunan ini memperlihatkan bahwa pasar tenaga kerja AS masih menunjukkan ketahanan, meskipun indikator ekonomi lainnya mulai melambat.
Rata-rata klaim empat mingguan, indikator yang lebih menggambarkan tren ketenagakerjaan juga turun 9.500 ke level 214.750.
Untuk klaim lanjutan, tingkat pengangguran terasuransi pada pekan yang berakhir 22 November tercatat stabil di 1,3%. Jumlah klaim lanjutan turun 4.000 menjadi 1.939.000, sementara rata-rata empat mingguan turun 6.250 menjadi 1.945.250.
Data ini memberikan sinyal bahwa pasar tenaga kerja AS masih cukup solid, meskipun ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed terus meningkat. Ketahanan pasar tenaga kerja kerap menjadi bahan pertimbangan penting bagi bank sentral dalam menentukan arah kebijakan moneter ke depan.
Sebaliknya, perusahaan-perusahaan di AS mengumumkan 71.321 pemutusan hubungan kerja (PHK) pada November 2025, jumlah tertinggi untuk bulan tersebut sejak 2022, dibandingkan 57.727 pada tahun sebelumnya. Ini menandai kedelapan kalinya tahun ini angka PHK lebih tinggi dibanding bulan yang sama tahun lalu.
Namun, jumlah PHK turun dari 153.074 pada Oktober, yang merupakan angka tertinggi untuk bulan Oktober sejak 2003.
Sektor dengan PHK terbanyak adalah telekomunikasi (15.139) dan teknologi (12.377)
Alasan utama PHK adalah restrukturisasi, yang mencapai 20.217 kasus.
Sepanjang Januari-November, perusahaan AS telah mengumumkan 1.170.821 PHK, tertinggi sejak 2020 dan meningkat 54% dibanding 11 bulan pertama tahun 2024.
Sementara itu, perusahaan AS mengumumkan rencana perekrutan hanya 9.074 posisi pada November 2025, jumlah terendah dalam tiga bulan terakhir.
JP Morgan Prediksi IHSG Tembus 10.000 pada 2026
Sentimen positif turut datang dari proyeksi institusi global terhadap pasar saham Tanah Air.
JP Morgan Indonesia dalam laporan Indonesia Equity 2026 Outlook memproyeksikan bahwa IHSG berpotensi menembus level 10.000 pada tahun 2026, didukung prospek ekonomi yang lebih kuat setelah melewati tahun transisi politik pada 2025.
Executive Director JP Morgan, Henry Wibowo, menjelaskan bahwa pihaknya memperkirakan belanja pemerintah akan meningkat signifikan pada 2026. Baik melalui anggaran fiskal maupun melalui dukungan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).
Peningkatan belanja tersebut dinilai akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperkuat konsumsi domestik, seiring perbaikan kondisi makro global dan meredanya ketegangan geopolitik.
Dalam skenario optimistis (bull case), JP Morgan membidik IHSG dapat mencapai 10.000, sementara dalam skenario pesimistis (bear case), indeks diperkirakan berada di kisaran 7.800.
Henry juga menyampaikan bahwa pelonggaran kebijakan moneter diprediksi berlanjut tahun depan.
"Kami terus mengharapkan tren pelonggaran moneter akan berlanjut, karena kami memperkirakan penurunan suku bunga acuan BI sebesar 50bps tahun depan dengan prospek likuiditas sistem yang membaik," ujarnya.
Selain itu, JP Morgan memperkirakan arus masuk ekuitas dari investor institusi akan meningkat pada 2026, termasuk potensi alokasi lebih besar dari dana pensiun dan dana tenaga kerja milik negara. Kehadiran Danantara dinilai memiliki peluang besar menjadi "value enhancer" bagi pasar keuangan Indonesia pada tahun depan.
(evw/evw)