MARKET DATA

'Hantu' Ekonomi Ini Tumbang di Era Prabowo, Muncul Ancaman Lebih Besar

Elvan Widyatama,  CNBC Indonesia
20 November 2025 13:35
Inflasi 2024 cetak rekor Terendah Sepanjang Sejarah Indonesia
Foto: Infografis/Inflasi 2024 cetak rekor Terendah Sepanjang Sejarah Indonesia/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kembali mencatat defisit pada kuartal III-2025. Meski demikian, tekanan defisit mulai berkurang seiring membaiknya posisi transaksi berjalan yang untuk pertama kalinya kembali mencatat surplus dalam 10 kuartal terakhir, atau sejak kuartal I-2023.

Berdasarkan rilis Bank Indonesia (BI), NPI pada kuartal III-2025 tercatat defisit US$6,38 miliar, sedikit menurun dibandingkan defisit kuartal II-2025 yang sebesar US$6,74 miliar. Dengan demikian, defisit NPI menyusut sekitar US$359 juta.

Perbaikan tersebut terutama didorong oleh transaksi berjalan yang berbalik menjadi surplus, ditopang oleh meningkatnya ekspor dan menurunnya defisit pendapatan primer. Namun, perlu dicermati bahwa arus masuk investasi langsung terus melemah sejak kuartal IV-2024, sehingga berpotensi membatasi pemulihan pada sisi transaksi modal dan finansial.

Transaksi Berjalan Mencatatkan Surplus Pertamanya Sejak 10 Kuartal

Transaksi berjalan Indonesia akhirnya kembali mencatat surplus sebesar US$4,04 miliar pada kuartal III-2025, atau setara 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini adalah capaian yang cukup penting, karena menjadi surplus pertama sejak kuartal I-2023 atau setelah 10 kuartal berturut-turut mencatat defisit.

Dibandingkan kuartal sebelumnya, perbaikannya juga sangat signifikan. Pada kuartal II-2025, transaksi berjalan masih mengalami defisit US$2,74 miliar, sehingga secara kuartalan terjadi peningkatan hingga US$6,8 miliar.

Surplusnya transaksi berjalan menjadi kabar baik. Sebagai catatan, neraca transaksi berjalan Indonesia lebih sering mencatat defisit dibandingkan surplus. 
Defisit transaksi berjalan bahkan kerap menjadi "hantu" bagi fundamental ekonomi karena mengurangi daya tarik bagi investor.
Indonesia bahkan pernah mencatat defisit transaksi berjalan selama hampir sembilan tahun dari kuartal IV-2011 hingga kuartal III-2020. Kondisi ini sempat memicu pelemahan rupiah.

Bank Indonesia dalam laporannya menjelaskan bahwa Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh peningkatan surplus neraca perdagangan barang serta penurunan defisit neraca jasa dan neraca pendapatan primer.

Surplus transaksi berjalan terutama ditopang oleh lonjakan kinerja ekspor nonmigas, yang meningkat seiring antisipasi eksportir terhadap penerapan tarif resiprokal Amerika Serikat.

"Peningkatan surplus neraca perdagangan barang terutama karena kenaikan surplus neraca perdagangan nonmigas. Ekspor nonmigas meningkat seiring dengan antisipasi eksportir terhadap penerapan tarif resiprokal AS," ujar Bank Indonesia dalam rilisnya.

Beberapa komoditas yang menopang kenaikan ekspor antara lain besi baja ke China, kelapa sawit (CPO) ke India, serta mesin listrik ke AS. Di saat yang sama, impor nonmigas tetap terjaga untuk mendukung kegiatan ekspor dan permintaan domestik.

Sementara itu, defisit neraca jasa menyempit berkat meningkatnya ekspor jasa perjalanan seiring kenaikan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara.

Defisit neraca jasa menyempit menjadi US$4,31 miliar di kuartal III-2025 atau turun dibandingkan defisit pada kuartal sebelumnya yang mencapai US$5,21 miliar.

Di sisi lain, defisit pendapatan primer juga membaik karena lebih rendahnya pembayaran imbal hasil investasi asing setelah berlalunya periode pembayaran dividen dan bunga kupon yang tinggi pada kuartal-kuartal sebelumnya. Surplus pendapatan sekunder tetap stabil, ditopang oleh kuatnya remitansi Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Waspada, Investasi Langsung Terus Mengalami Penurunan

Di balik perbaikan transaksi berjalan, komponen investasi langsung justru menunjukkan tren pelemahan yang perlu diwaspadai. Berdasarkan data Bank Indonesia, arus investasi langsung pada kuartal III-2025 turun menjadi US$2,46 miliar atau menurun cukup tajam dibanding US$3,53 miliar pada kuartal II-2025.

Jika melihat pola dalam beberapa kuartal terakhir, penurunan ini telah menjadi tren dalam jangka pendek. Sejak kuartal IV-2024 yang bertepatan dengan periode awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, arus investasi langsung ke Indonesia cenderung mengalami penurunan.

Setelah sebelumnya investasi langsung sempat mencapai puncaknya pada kuartal III-2024 yang mencapai US$5,09 miliar. Meski sempat naik sementara pada kuartal II-2025, pemulihan tersebut belum cukup kuat karena investasi langsung kembali merosot signifikan di kuartal III-2025 ini.

Perlambatan investasi langsung ini patut dicermati karena merupakan sumber pembiayaan jangka panjang yang penting bagi ketahanan Indonesia. Tekanan global mulai dari suku bunga tinggi di negara maju, ketidakpastian pertumbuhan, hingga sikap investor yang lebih berhati-hati turut berkontribusi terhadap lemahnya aliran modal asing ke sektor riil Indonesia.

Tren pelemahan ini menegaskan bahwa sentimen investor terhadap penanaman modal jangka panjang masih diliputi kehati-hatian, baik akibat ketidakpastian global maupun penyesuaian kebijakan domestik pada fase transisi pemerintahan.

Investasi langsung ini juga berdampak besar terhadap penciptaan lapangan kerja. Pasalnya, hanya dengan investasi langsung, perusahaan akan membuka pabrik di Indonesia dan menyerap tenaga kerja. Hal ini berbeda dengan investasi portofolio di saham dan surat utang yang bertumpu pada hot money.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(evw/evw)


Most Popular