Jakarta, CNBC Indonesia - Transaksi jasa masih mencatatkan defisit pada kuartal III-2025 namun defisit kali ini mengalami penurunan dibandingkan defisit kuartal sebelumnya. Penurunan defisit disebabkan oleh meningkatnya ekspor jasa akibat dari tingginya perjalanan wisatawan mancanegara khususnya wisatawan asal China.
Bank Indonesia (BI) dalam rilis Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada Kamis (20/11/2025) melaporkan bahwa NPI kembali mencatat defisit pada kuartal III-2025. Defisit NPI tercatat sebesar US$6,4 miliar, sedikit membaik dibandingkan kuartal II-2025 yang mencatat defisit US$6,74 miliar.
Namun, transaksi berjalan justru mencatatkan surplus sebesar US$4,04 miliar pada kuartal III-2025 atau 1,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Capaian ini menjadi titik balik karena merupakan surplus pertama dalam 10 kuartal, setelah terakhir kali Indonesia mencatatkan surplus transaksi berjalan pada kuartal I-2023.
Neraca Jasa Tetap Defisit, Namun Ekspor Jasa Membaik
Jika dicermati, transaksi berjalan pada komponen jasa-jasa masih kembali mencatatkan defisit, yakni sebesar US$4,31 miliar pada kuartal III-2025. Meski masih berada di zona negatif, nilainya tercatat menurun dibandingkan defisit pada kuartal sebelumnya yang mencapai US$5,21 miliar, sehingga menunjukkan adanya perbaikan meskipun masih terbatas.
Sebagai catatan, Sebagai catatan, transaksi berjalan jasa-jasa terdiri dari total ekspor jasa dikurangi total impor jasa.
Ekspor jasa melonjak menjadi US$12,13 miliar, sementara impor jasa tercatat sebesar US$16,44 miliar. Kenaikan ekspor yang cukup signifikan inilah yang mendorong defisit jasa tidak sedalam kuartal sebelumnya.
Surplus Jasa Perjalanan Picu Penurunan Defisit
Perbaikan defisit pada transaksi jasa-jasa ini salah satunya ditopang oleh kuatnya kinerja jasa perjalanan, yang kembali mencatatkan surplus sebesar US$1,81 miliar pada kuartal III-2025. Hal ini didukung oleh tingginya surplus ekspor jasa perjalanan yang mencapai US$5,62 miliar atau setara Rp94,03 triliun (asumsi kurs Rp16.725/US$1).
Lonjakan penerimaan dari sektor ini sejalan dengan meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara, sehingga berkontribusi besar dalam menahan pelebaran defisit jasa secara keseluruhan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah wisman yang masuk ke Indonesia pada Juli hingga September 2025 mencapai 4,37 juta kunjungan, menjadikannya periode dengan tingkat kedatangan tertinggi sepanjang tahun ini. Arus kunjungan ini mengalami akselerasi signifikan dibandingkan dua kuartal sebelumnya.
Pada kuartal I-2025, jumlah wisman masih relatif rendah, dengan total 3,15 juta kunjungan seiring belum pulih sepenuhnya mobilitas internasional dan masih tingginya ketidakpastian global.
Pemulihan mulai terlihat pada kuartal II-2025 ketika total kunjungan meningkat menjadi 3,87 juta.
Momentum tersebut berlanjut lebih kuat pada kuartal III-2025. Di tengah periode libur musim panas, Indonesia mencatat lonjakan wisatawan yang signifikan.
Pada Juli tercatat 1,48 juta kunjungan, meningkat lagi menjadi 1,50 juta pada Agustus, dan sedikit turun di angka 1,39 juta pada September. Kenaikan jumlah kunjungan ini sekaligus memperkuat penerimaan devisa dari sektor perjalanan, sehingga mendorong ekspor jasa melonjak.
Menariknya, perbaikan ini juga didorong oleh kembalinya wisatawan asal China, salah satu pasar terbesar Indonesia sebelum pandemi.
Laporan riset BCA mencatat bahwa "kembalinya turis China, bersama dengan lonjakan wisatawan Eropa dan Australia, menjadi pendorong utama surplus jasa perjalanan pada kuartal III-2025."
Data BPS juga memperlihatkan lonjakan tajam pada kunjungan turis China menjadi 398.462 kunjungan pada kuartal III-2025, naik dari 334.779 kunjungan pada kuartal II-2025 dan jauh di atas 285.025 kunjungan pada kuartal I-2025.
Pemulihan dari wisatawan China ini sangat signifikan karena negara tersebut merupakan penyumbang devisa utama pariwisata Indonesia sebelum pandemi. Kembalinya turis asal Tiongkok membantu memperkuat penerimaan devisa dari perjalanan dan mendorong ekspor jasa melonjak.
Meskipun surplus jasa perjalanan memberikan dorongan yang signifikan, defisit neraca jasa secara keseluruhan masih tertahan oleh besarnya defisit pada sejumlah komponen jasa lainnya.
Struktur jasa Indonesia masih menunjukkan ketergantungan yang kuat pada penyedia layanan asing, terutama pada sektor transportasi, jasa bisnis, hingga layanan digital dan keuangan. Hal ini membuat perbaikan neraca jasa belum bisa optimal meskipun beberapa sektor telah menunjukkan kinerja yang positif.
Kontributor terbesar defisit tercatat pada jasa transportasi, yang pada kuartal III-2025 kembali membukukan defisit dalam sebesar US$2,11 miliar.
Besarnya defisit pada kategori ini sudah terjadi secara berulang selama bertahun-tahun. Kondisi ini mencerminkan tingginya biaya angkutan internasional serta ketergantungan aktivitas perdagangan Indonesia pada perusahaan pelayaran asing.
Defisit besar lainnya berasal dari kelompok jasa bisnis lainnya, yang mencatat defisit mencapai US$1,68 miliar. Kategori ini mencakup berbagai layanan profesional seperti konsultansi, engineering, riset, desain, hingga aktivitas penunjang bisnis lainnya yang sebagian besar masih diimpor dari luar negeri.
Keterbatasan penyedia jasa domestik yang mampu bersaing secara kompetitif, terutama untuk layanan teknis berstandar internasional, membuat impor jasa kategori ini tetap tinggi.
Selain dua sektor utama tersebut, beberapa komponen jasa lain juga masih mencatat defisit yang cukup signifikan.
Jasa keuangan membukukan defisit sebesar US$670 juta yang menggambarkan tingginya pembayaran layanan perbankan dan intermediasi keuangan kepada institusi luar negeri. Asuransi dan dana pensiun juga mencatat defisit US$570 juta, terutama karena pembayaran premi reasuransi yang sebagian besar masih dilakukan kepada perusahaan internasional.
Tekanan lain datang dari biaya penggunaan kekayaan intelektual, yang mencatat defisit US$574 juta. Kategori ini menunjukkan pembayaran royalti, lisensi, dan hak paten kepada pemilik teknologi asing, mulai dari software, produk digital berbasis langganan, hingga hak penggunaan teknologi industri.
Sementara itu, kategori telekomunikasi, komputer, dan informasi mencatat defisit US$614 juta, sejalan dengan meningkatnya konsumsi layanan digital global seperti cloud computing, perangkat lunak berbasis langganan, layanan penyimpanan data, dan platform digital lainnya.
Defisit Jasa Sudah Terjadi Lebih dari Empat Dekade
Jika melihat ke belakang, defisit neraca jasa bukanlah hal baru. Berdasarkan data Bank Indonesia sejak awal 1980-an hingga kini, neraca jasa selalu berada di area defisit. Bahkan dalam rentang 2004 hingga 2013, defisit neraca jasa bersama dengan defisit pendapatan primer menjadi penyumbang terbesar bagi defisit transaksi berjalan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pendapatan yang harus dibayarkan Indonesia ke luar negeri jauh lebih besar daripada pendapatan jasa yang diterima dari luar negeri.
Salah satu komponen pembayaran yang signifikan berasal dari bunga pinjaman luar negeri pemerintah, di mana pembayaran bunga tersebut juga tercatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan menjadi kontributor tetap bagi defisit transaksi berjalan.
Dalam kajian Muhammad Afdi Nizar berjudul Pengaruh Defisit Anggaran terhadap Defisit Transaksi Berjalan di Indonesia, disebutkan bahwa defisit neraca jasa telah berlangsung setidaknya sejak 1980-2021 atau lebih dari 41 tahun berturut-turut. Bahkan riset CNBC Indonesia tidak menemukan periode surplus yang lebih lama dari tahun 1980.
Artinya, defisit jasa telah melewati berbagai era pemerintahan mulai dari Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, hingga pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini. Ini menegaskan bahwa defisit jasa merupakan persoalan struktural jangka panjang yang belum pernah tuntas.
Tantangan menghapus defisit jasa kini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintahan saat ini.
Foto: Neraca Perdagangan Barang, Neraca Jasa, dan Neraca Transaksi Berjalan, 1980 - 2012Neraca Perdagangan Barang, Neraca Jasa, dan Neraca Transaksi Berjalan, 1980 - 2012 |
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)