Newsletter

Awas! Pasar Panik Usai Bitcoin Kolaps, Jepang Tebar Ancaman Baru ke RI

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia
18 November 2025 06:27
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK IV Tahun 2025 di Jakarta, Senin (3/11/2025).
Foto: Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo saat konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK IV Tahun 2025 di Jakarta, Senin (3/11/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Perekonomian Indonesia pada pertengahan November 2025 tengah menghadapi anomali yang menantang logika siklus bisnis konvensional. Di permukaan, indikator stabilitas makro terlihat solid dengan penurunan utang luar negeri dan likuiditas perbankan yang melimpah ruah.

Namun, jika dibedah hingga ke level mikro dan sektor riil, terdapat tekanan nyata berupa perlambatan konsumsi, keengganan korporasi untuk berekspansi, serta langkah agresif pemerintah dalam memperketat kebijakan fiskal.

Kondisi ini menciptakan "Paradoks Likuiditas". Sistem keuangan nasional sedang kebanjiran uang, namun aliran dana tersebut tersumbat dan gagal memacu mesin pertumbuhan ekonomi secara optimal. Situasi ini menciptakan divergensi tajam antara sektor keuangan yang sangat cair dan sektor riil yang cenderung kering.

Kondisi ekonomi ikut mempengaruhi pergerakan pasar keuangan Tanah Air. Selain faktor tersebut, perkembangan data global juga diperkirakan akan menggerakkan pasar hari ini.

Berikut adalah beberapa sentimen yang diproyeksi akan menjadi penggerak dinamika pasar pada hari ini:  

Bank Indonesia Gelar RDG di Tengah Persoalan Pelik Kredit
Bank Indonesia menggelar Rapat Dewan Gubernur Bank (RDG) pada hari ini dan besok, Rabu (18-19/11/2025). Pelaku pasar memperkirakan BI akan menahan suku bunga acuan di level 4,75%. 
BI sudah memangkas suku bunga secara agresif sebesar 125 bps sepanjang tahun ini untuk membantu penurunan suku bunga pinjaman bank. Namun, upaya tersebut belum efektif.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengungkap data yang mengejutkan pasar yaitu terdapat excess liquidity yang sangat masif, mencapai lebih dari Rp800 triliun, yang saat ini mengendap dalam sistem perbankan nasional. Angka ini setara dengan porsi yang sangat signifikan dari total belanja negara dalam APBN.

Dalam teori ekonomi, melimpahnya likuiditas dalam jumlah raksasa seharusnya menjadi katalis utama bagi akselerasi pertumbuhan. Uang yang menumpuk di brankas bank semestinya mendorong penurunan suku bunga kredit secara alami dan memicu gelombang ekspansi bisnis.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan transmisi yang macet. BI menegaskan dana tersebut tidak mengalir deras ke sektor riil seperti manufaktur atau properti, melainkan hanya berputar di instrumen keuangan jangka pendek seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) atau pasar uang antarbank yang minim risiko namun juga minim dampak riil.

Akar permasalahan fenomena ini bukan terletak pada ketidakmampuan bank meminjamkan uang (supply side), melainkan pada hilangnya selera berutang dunia usaha (demand side). Data perbankan menunjukkan fenomena undisbursed loan yang meningkat signifikan.

Ini adalah kondisi di mana fasilitas kredit yang sejatinya sudah disetujui bank dan ditandatangani nasabah korporasi, justru tidak ditarik atau dicairkan. Korporasi besar memilih sikap wait and see ekstrem. Tingginya ketidakpastian ekonomi global dan volatilitas pasar domestik membuat perusahaan menahan rencana belanja modal (Capex).

Strategi menjaga arus kas (cash preservation) lebih dipilih daripada risiko ekspansi berbiaya utang, memicu risiko credit crunch yang disebabkan oleh keengganan debitor.

Ironi likuiditas semakin terlihat kontras ketika membedah struktur pendanaan perbankan. Meskipun ada Rp800 triliun uang menganggur, perbankan nasional justru terlihat "haus" likuiditas lewat perilaku kompetitif memperebutkan dana nasabah besar. Terjadi perang suku bunga sengit di segmen deposito institusi.

Data pasar menunjukkan perbankan memberikan perlakuan istimewa atau special rate kepada pemilik dana jumbo, khususnya instansi Pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Rata-rata suku bunga deposito bagi kelompok deposan kakap ini mencapai 5,97%, jauh di atas suku bunga penjaminan standar maupun bunga nasabah ritel. Fenomena ini mengindikasikan masalah struktural dalam distribusi likuiditas antar bank.

Bank membutuhkan dana stabil dari institusi untuk menjaga rasio likuiditas jangka pendek (Liquidity Coverage Ratio), meskipun harus dibayar mahal. Konsekuensinya, Biaya Dana (Cost of Funds) perbankan tetap tinggi.

Ketika biaya dana mahal, bank sulit menurunkan suku bunga kredit dasar secara agresif. Ini menciptakan lingkaran setan: bank ingin menyalurkan kredit tapi biayanya mahal, sementara korporasi enggan mengambil kredit karena bunganya dianggap belum cukup menarik dibanding risiko bisnis.

BI Beri Insentif Buat Bunga yang Bawa Bunga Turun

Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan BI siap mengguyur insentif likuiditas tambahan, namun insentif ini bersifat resiprokal yaitu volumenya akan sangat bergantung pada seberapa jauh perbankan bersedia menurunkan suku bunga mereka.

Dengan mekanisme ini, BI berharap perbankan terpacu untuk menekan margin dan efisiensi biaya dana demi mendapatkan suntikan likuiditas murah dari bank sentral, sehingga transmisi kebijakan moneter ke sektor riil bisa berjalan lebih efektif.

Di sisi lain, untuk mencegah kekeringan likuiditas di bank tertentu selama proses transisi ini, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus melakukan intervensi pasar. Himpunan Bank Milik Negara (Himbara)-BRI, Mandiri, BNI, BTN-telah menyalurkan dana penempatan pemerintah sebesar Rp185 triliun.

Terbaru, LPS kembali menyuntikkan penempatan dana sebesar Rp7,6 triliun ke BRI, Bank Mandiri, dan Bank DKI. Langkah ini merupakan strategi "jaring pengaman" untuk memastikan roda intermediasi perbankan tetap terlumasi dengan baik, meski aliran uang ke sektor riil masih tersendat.

Tekanan Ganda Sektor Riil: Konsumsi Terbatas & Pengetatan Subsidi

Jika korporasi enggan berekspansi, akar masalahnya seringkali bermuara pada daya beli konsumen. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja mengeluarkan pernyataan bernada peringatan yakni pertumbuhan konsumsi masyarakat Indonesia masih sangat terbatas.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengungkapkan pertumbuhan konsumsi masyarakat RI masih terbatas. Meski demikian dirinya menegaskan permodalan perbankan masih kuat dan stabilitas sektor jasa keuangan tetap terjaga.

"Jadi di satu sisi ada kondisi global yg memang masih penuh tantangan, dan di lain sisi pertumbuhan kembali atau rebound dari konsumsi dari masyarakat domestik terlihat masih terbatas," ujar Mahendra dalam rapat kerja Komisi IV DPD RI bersama Gubernur Bank Indonesia (BI) dan OJK, Senin (17/11/2025).

Pernyataan regulator ini mengonfirmasi kekhawatiran pasar bahwa pemulihan ekonomi di tingkat akar rumput belum berjalan solid. Konsumsi rumah tangga adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Ketika konsumsi disebut terbatas, artinya pendapatan riil masyarakat sedang tertekan atau masyarakat memilih menahan belanja karena pesimisme ekonomi.

Di tengah serangkaian berita pengetatan, pasar mendapatkan sedikit angin segar. Pertama, terkait nasib masyarakat bawah yang terjerat utang. OJK memberikan pembaruan positif bahwa aturan teknis mengenai pemutihan kredit macet UMKM sedang dalam tahap finalisasi.

Kebijakan ini krusial bagi perbankan Himbara untuk membersihkan neraca dari aset kurang maksimal, sekaligus memberikan jalan bagi jutaan debitur UMKM untuk keluar dari daftar hitam (blacklist) dan kembali mengakses modal usaha.

Utang Turun

Kabar positif kedua datang dari indikator makroekonomi eksternal. Bank Indonesia melaporkan posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia turun menjadi US$ 424,4 miliar. Penurunan ini memberikan bantalan lebih tebal bagi Indonesia dalam menghadapi gejolak nilai tukar global.

Meskipun Rupiah masih mengalami tekanan pelemahan terhadap Dolar AS, BI menegaskan volatilitas tersebut masih "stabil" dan terkendali melalui intervensi pasar terukur. Neraca yang lebih ramping dari sisi utang luar negeri membuat risiko krisis mata uang semakin kecil.

Ekonomi Jepang Kontraksi, 'Double Trouble' bagi Asia

Tekanan eksternal bagi pasar Indonesia semakin bertambah dengan rilis data ekonomi terbaru dari Asia Timur. Pagi ini, data menunjukkan bahwa ekonomi Jepang mengalami kontraksi sebesar 0,4%.

Angka ini menjadi kejutan negatif bagi pasar (negative surprise) yang sebelumnya sudah dibuat cemas oleh eskalasi ketegangan militer antara Jepang dan China.

Kontraksi ini menandakan bahwa permintaan domestik dan aktivitas industri di Jepang sedang melemah signifikan. Bagi Indonesia, kabar ini membawa risiko ganda atau double trouble. Pertama, dari sisi perdagangan, Jepang adalah salah satu mitra dagang utama dan investor terbesar di tanah air.

Perlambatan ekonomi di Tokyo berpotensi menekan permintaan ekspor komoditas dan manufaktur dari Indonesia, yang pada akhirnya bisa memperburuk kinerja neraca dagang.

Kedua, dari sisi sentimen pasar, kombinasi antara kontraksi ekonomi dan konflik geopolitik (insiden drone militer) menciptakan badai ketidakpastian yang sempurna di kawasan Asia.

Hal ini memberikan alasan kuat bagi investor asing untuk terus mengambil posisi defensif (risk-off) dan menahan aliran modal masuk ke emerging markets seperti Indonesia, setidaknya sampai ada sinyal pemulihan yang lebih jelas dari raksasa ekonomi Asia tersebut.

Sentimen Geopolitik Asia: Jepang vs China Memanas

Analisis pasar domestik tidak lengkap tanpa melihat faktor eksternal. Lampu kuning menyala di kawasan Asia Timur. Ketegangan geopolitik antara Jepang dan China kembali memanas setelah insiden militer di mana jet tempur Jepang dikerahkan untuk menghalau pesawat nirawak (drone) militer China.

Eskalasi konflik ini langsung direspons negatif oleh pasar keuangan regional dengan sikap risk-off. Ketegangan ini menambah premi risiko investasi di kawasan Asia Pasifik dan berpotensi memicu keluarnya dana asing dari pasar negara berkembang ke aset safe haven jika situasi memburuk.

Secara keseluruhan, pasar keuangan Indonesia sedang mencoba menavigasi jalan terjal di antara dua tebing curam yaitu likuiditas perbankan yang melimpah namun macet, dan daya beli masyarakat yang tergerus oleh kebijakan fiskal ketat.

Pasar kini menanti apakah stimulus pemutihan kredit dan belanja pemerintah di akhir tahun mampu memecahkan kebuntuan ekonomi ini.

Bitcoin Jatuh

Bitcoin merosot hingga 1% ke level US$92.513 pada pukul 13.21 waktu New York pada Senin kemarin. Ini adalah kejatuhan di bawah US$93.000 untuk pertama kalinya dalam hampir tujuh bulan.

Di berbagai meja perdagangan dan media sosial, rasa cemas mulai terasa. Total nilai pasar Bitcoin anjlok sekitar US$600 miliar dari level puncaknya pada Oktober. Dalam dunia kripto, volatilitas adalah hal yang biasa. Yang berbeda kali ini adalah betapa cepat keyakinan pasar menguap, dan betapa sedikit penjelasan yang benar-benar masuk akal.

Level US$92.000 kini menjadi area support kritis. Ketidakpastian makro dan likuiditas yang lemah juga dapat membatasi potensi rebound.

Menurut CoinGecko, Bitcoin terakhir diperdagangkan di level US$92.123 setelah turun 2,3% dalam 24 jam terakhir dan sekitar 13% dalam sepekan. Volume perdagangan BTC melonjak lebih dari dua kali lipat dalam sehari terakhir menjadi US$114 miliar.

Sejauh ini, sekitar US$335 juta kontrak derivatif Bitcoin telah mengalami likuidasi dalam 24 jam terakhir, mendorong total likuidasi pasar kripto menjadi US$725 juta dalam 24 jam.

(gls/gls)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular