Newsletter

Jurus Pajak Purbaya di Tengah Amukan Trump, Bisa Redam Badai?

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
15 October 2025 06:17
Ilustrasi Trading (dok Octa FX)
Foto: Ilustrasi Trading
  • Pasar keuangan Indonesia babak belur pada perdagangan kemarin, IHSG dan rupiah ambruk
  • Wall Street bergerak beragam di tengah isu panas hubungan China-AS
  • Memanasnya perang dagang, pidato Powell dan rencana stimulus dalam negeri sakan menjadi penggerak pasar hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia- Pasar keuangan Indonesia kembali bergejolak pada perdagangan Selasa (14/10/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok tajam hampir 2%, sementara rupiah melanjutkan pelemahannya di tengah penguatan dolar Amerika Serikat (AS) dan kekhawatiran pasar terhadap arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed).

Pasar keuangan Indonesia diperkirakan masih bergejolak pada perdagangan hari ini. Selengkapnya mengenai proyeksi pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

IHSG pada perdagangan kemarin, Selasa (14/10/2025) ditutup melemah 1,96% ke posisi 8.066,52, menghapus kenaikan dua hari beruntun dan menjadi penurunan harian terdalam sejak Juli 2025.

Nilai transaksi mencapai Rp25,4 triliun dengan kapitalisasi pasar susut menjadi Rp14.732 triliun.

Sebanyak 583 daham melemah, 84 stagnan sementara 138 menguat. Volume transaksi mencapai 48,3 miliar dengan nilai Rp 32 triliun. Investor asing mencatat net sell sebesar Rp 1,36 triliun.



Aksi jual besar-besaran melanda saham-saham berkapitalisasi jumbo, terutama di sektor energi, perbankan, dan infrastruktur. Saham Grup Prajogo Pangestu seperti Barito Pacific (BRPT), Chandra Asri (TPIA), dan Barito Renewables (BREN) menjadi pemberat utama bersama saham-saham bank besar BBRI, BMRI, BBCA, dan BBNI yang kompak terkoreksi.

Pelemahan IHSG terjadi seiring meningkatnya aversi risiko investor global setelah tensi antara AS dan China kembali memanas. Sentimen negatif datang dari pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengancam akan mengenakan tarif hingga 100% terhadap produk logam tanah jarang (rare earth) dari China.

Kebijakan tersebut memicu aksi jual di bursa Asia dan memperburuk tekanan terhadap pasar domestik. Selain faktor eksternal, aksi profit taking juga tak terhindarkan setelah IHSG sempat mencetak rekor harga tertinggi baru di pekan sebelumnya.

Sementara itu, nilai tukar rupiah ditutup melemah tipis 0,09% ke Rp16.570 per dolar AS, meski sempat menyentuh level terendah harian di Rp16.590 per dolar AS.

Penguatan indeks dolar (DXY) ke posisi 99,446 turut menekan rupiah di tengah meningkatnya permintaan aset safe haven.



Pasar menahan diri menjelang pidato Ketua The Fed Jerome Powell yang akan berlangsung dini hari nanti waktu Indonesia. Investor menantikan arah kebijakan moneter AS di tengah meningkatnya risiko perlambatan ekonomi akibat penurunan belanja konsumen dan berlanjutnya government shutdown parsial di Washington.

Ekspektasi pasar saat ini menunjukkan peluang besar bagi The Fed untuk kembali memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan akhir Oktober mendatang.

Namun, sebagian pelaku pasar juga memperkirakan pemangkasan tambahan pada Desember, seiring dengan lemahnya data manufaktur dan ketidakpastian fiskal di AS. Di sisi lain, Bank Indonesia diperkirakan akan tetap mempertahankan kebijakan stabilisasi nilai tukar melalui intervensi ganda sambil menunggu kepastian arah moneter global.

Dari pasar Surat Berharga Negara, imbal hasil SBN melandai ke 6,06% atau terendah sejak Januari 2021 atau empat tahun lebih. Imbal hasil yang melandai menanda harga SBN yang tengah naik karena diburu investor.

Dari pasar saham Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street berakhir beragam pada perdagangan Selasa atau Rau dini hari waktu Indonesia.

Pasar terbelah setelah Presiden AS Donald Trump menuding China karena tidak membeli kedelai dari AS di penghujung hari, komentar yang akhirnya menyeret S&P 500 ke zona merah di akhir sesi.

S&P 500 ditutup melemah 0,2% ke level 6.644,31 setelah sempat jatuh 1,5% di awal dan naik 0,4% di puncaknya.

Indeks Nasdaq Composite turun 0,8% menjadi 22.521,70 sementara Dow Jones Industrial Average justru ditutup naik 0,4% (202,88 poin) ke 46.270,46 setelah sempat melonjak hampir 1%. Saham Caterpillar menjadi penopang utama penguatan Dow.

Pasar saham dibuka melemah setelah China pada malam sebelumnya memperketat cengkeramannya terhadap sektor pelayaran global, menambah bahan bakar pada ketegangan perdagangan dunia yang memanas.

Beijing menjatuhkan sanksi terhadap lima anak usaha Hanwha Ocean asal Korea Selatan di AS, yang berarti organisasi dan individu di China dilarang berbisnis dengan perusahaan-perusahaan tersebut. Pemerintah China menyatakan langkah ini bertujuan untuk memperkuat keamanan nasionalnya.

Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer mengatakan keputusan penerapan tarif tambahan 100% yang diancam oleh Trump akan bergantung pada langkah China berikutnya, dengan potensi mulai berlaku pada 1 November bahkan bisa diterapkan lebih cepat.

Trump kembali menyerang China pada malam hari melalui Truth Social, menuduh bahwa China sengaja tidak membeli kedelai AS yang ia sebut sebagai tindakan bermusuhan secara ekonomi.

Dia juga mengancam akan mempertimbangkan pembalasan, seperti embargo minyak goreng. Setelah unggahan itu, pasar saham mundur dari level tertinggi hariannya hingga akhirnya S&P 500 menutup perdagangan dengan pelemahan.

"Masih belum jelas seperti apa jalan keluar bagi China dan AS menjelang akhir bulan ini dalam ketegangan perdagangan," kata Rob Haworth, Direktur Senior Strategi Investasi di U.S. Bank Wealth Management, kepada CNBC International.

Saham-saham teknologi seperti Nvidia tetap berada di bawah tekanan seperti saat aksi jual pada Jumat lalu. Namun, awal musim laporan keuangan yang solid menjadi sinyal positif bahwa fundamental pasar masih kuat.

Saham Citigroup dan Wells Fargo masing-masing naik 3,9% dan 7,2% berkat laba yang melampaui ekspektasi. JPMorgan dan Goldman Sachs juga mengalahkan perkiraan analis, tetapi justru sedikit melemah.

Ketegangan perdagangan kembali meningkat sejak akhir pekan lalu ketika Trump mengancam akan mengenakan tarif tambahan 100% terhadap impor asal China, yang membuat pasar saham anjlok tajam.

Namun pada hari Minggu, Trump melunakkan retorikanya melalui unggahan di Truth Social: "Jangan khawatir tentang China, semuanya akan baik-baik saja."

Sentimen pasar global tengah bergejolak diwarnai kombinasi antara kebijakan proteksionisme baru Amerika Serikat (AS), rilis proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF), Pidato Ketua The Fed, serta ekspektasi terhadap inflasi China yang menjadi cerminan kekuatan permintaan global.

Ketiganya akan menjadi penentu arah pasar keuangan dunia, termasuk bagi rupiah dan IHSG dalam beberapa hari mendatang. Dari dalam negeri, rencana insentif pajak diharapkan ikut menopang pergerakan IHSG hari ini:

Defisit APBN Sentuh 1,56% dari PDB, Pemerintah Kaji Stimulus Pajak

Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mencapai Rp 371,5 triliun, atau 1,56% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per 30 September 2025. Adapun,target defisit APBN 2025 mencapai 2,78%.

Pendapatan negara mencapai Rp 1.863,3 triliun atau 65% terhadap outlook. Ini lebih rendah jika dibandingkan dengan posisi tahun lalu pada periode yang sama Rp 2.008,6 triliun.

Setoran penerimaan pajak per September 2025 baru sebesar Rp 1.295,3 triliun atau turun 4,4% dibanding realisasi pada periode yang sama tahun lalu senilai Rp 1.354,9 triliun.
Secara nominal, penerimaan pajak itu setara dengan 62,4% dari perkiraan penerimaan pajak hingga akhir tahun yang hanya berani dipatok Kementerian Keuangan Sebesar Rp 2.076,9 triliun.

(Dok. Kementerian Keuangan RI)Foto: (Dok. Kementerian Keuangan RI)
(Dok. Kementerian Keuangan RI)




Dari sisi belanja, realisasi mencapai sebesar Rp 2.234,8 triliun per 30 September 2025 atau 63,4% dari outlook 2025.

Kendati penerimaan pajak melemah, Menteri Keuangan (Menkeu)Purbaya Yudhi Sadewa buka suara ihwal rencananya menurunkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Sebagaimana diketahui, tarif PPN sebetulnya secara gradual mengalami kenaikan. Namun, baru kali ini Purbaya membuka peluang penurunan.
"Nanti kita lihat bisa enggak kita turunkan PPN itu untuk mendorong daya beli masyarakat ke depan. Tapi kita pelajari dulu hati-hati," kata Purbaya saat konferensi pers APBN edisi September 2025, Selasa (14/10/2025).

Purbaya mengatakan, sebelum mengeksekusi rencana penurunan tarif PPN itu, pemerintah akan lebih dulu melihat setoran pajak sampai akhir tahun, sambil melihat secara cermat keseluruhan kondisi masyarakat.

Sebagaimana diketahui, tarif PPN sebetulnya kembali naik pada 2025 menjadi 12%, setelah kenaikan pada 2022 menjadi 11% dari sebelumnya 10%.

Namun, karena gejolak penolakan masyarakat terhadap keputusan yang ditetapkan dalam UU HPP itu, tarif PPN yang naik hanya khusus barang mewah, menjadi 12%.

Sisanya, tetap diberlakukan besaran tarif 11% hingga saat ini karena dengan menerapkan kebijakan dasar pengenaan pajak atau DPP 11/12 terhadap tarif PPN.

Selain itu, pemerintah akan memperpanjang stimulus pajak.

Insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun yang Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 100% akan diperpanjang hingga 31 Desember 2027.
Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam konferensi pers APBN KITA Edisi Oktober 2025, Selasa (14/10/2025).

Adapun, pemerintah sebelumnya sudah menetapkan perpanjangan PPN DTP sebesar 100% hingga 31 Desember 2026. Keputusan ini direvisi setelah mendengar masukan dari pengembang properti. Perpanjangan ini juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pidato Ketua The Fed Jerome Powell 

Ketua Federal Reserve Jerome (The Fed) Jerome Powell mengatakan bahwa bank sentral Amerika Serikat sudah mendekati tahap di mana mereka akan menghentikan pengurangan kepemilikan obligasi (balance sheet runoff). Namun, dia tidak memberikan petunjuk jangka panjang mengenai arah suku bunga ke depan.

Powell juga memberikan sinyal halus bahwa penurunan suku bunga tambahan kemungkinan besar akan terjadi dalam waktu dekat.

Meskipun isu mengenai neraca keuangan (balance sheet) sering dianggap sebagai detail teknis dalam kebijakan moneter, Powell menegaskan bahwa hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pasar keuangan.

Berbicara dalam konferensi National Association for Business Economics (NABE) di Philadelphia, Powell memaparkan pandangannya mengenai proses "quantitative tightening" (QT) yakni upaya The Fed untuk mengurangi lebih dari US$6 triliun surat berharga yang saat ini masih dimiliki dalam neracanya.

Powell tidak menyebutkan tanggal pasti kapan proses itu akan dihentikan, namun ia mengatakan terdapat indikasi bahwa cadangan perbankan (reserves) sudah mendekati tingkat yang dianggap "cukup melimpah" (ample reserves).

"Rencana kami yang sudah lama adalah menghentikan pengurangan neraca ketika cadangan berada sedikit di atas level yang kami anggap sesuai dengan kondisi ample reserves," ujar Powell dalam pernyataan tertulis.

"Kami mungkin akan mencapai titik itu dalam beberapa bulan mendatang, dan kami sedang memantau berbagai indikator untuk membantu mengambil keputusan ini." Imbuhnya.

Terkait suku bunga, Powell tidak memberikan panduan eksplisit mengenai seberapa cepat pelonggaran (pemangkasan) akan dilakukan, namun komentarnya tentang pelemahan pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa opsi pelonggaran semakin kuat, sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar.

"Jika kami bergerak terlalu cepat, kami mungkin meninggalkan pekerjaan mengendalikan inflasi yang belum tuntas dan terpaksa kembali mengetatkan nanti. Namun jika kami bergerak terlalu lambat, maka akan timbul kerugian yang tidak perlu di pasar tenaga kerja," jelas Powell.

Beberapa pejabat Fed lain juga menyatakan bahwa penurunan kondisi pasar tenaga kerja kini menjadi prioritas utama, memperkuat kemungkinan adanya pemangkasan suku bunga tambahan di masa depan.

Dalam pidatonya, Powell banyak menyoroti kepemilikan Treasury dan mortgage-backed securities (MBS) oleh The Fed.

Meski topik ini tampak teknis, Powell menekankan bahwa isu neraca (balance sheet) memiliki dampak besar terhadap kondisi keuangan global.

Ketika kondisi keuangan mengetat, Fed berupaya menjaga "abundant reserves" agar bank memiliki cukup likuiditas untuk menjaga ekonomi tetap berjalan. Saat kondisi mulai normal, Fed menargetkan "ample reserves", yaitu tingkat cadangan yang memadai tanpa menimbulkan kelebihan likuiditas di sistem.

Selama pandemi Covid-19, Fed secara agresif membeli obligasi pemerintah dan MBS, sehingga neracanya membengkak hingga hampir US$9 triliun.
Sejak pertengahan 2022, Fed mulai mengizinkan surat berharga yang jatuh tempo untuk tidak diperpanjang, sehingga ukuran neraca berangsur menyusut - bagian dari kebijakan pengetatan moneter.

IMF Optimistis Ekonomi RI

Pada Selasa (14/10/2025), IMF merilis World Economic Outlook edisi Oktober dan menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 4,8% menjadi 4,9% pada 2025, serta mempertahankannya di level sama untuk 2026. Kenaikan ini menjadi bentuk pengakuan terhadap ketahanan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global.

Dalam WEO Oktober 2025, IMF tidak menjelaskan rinci mengenai revisi ke atas untuk proyeksi ekonom Indonesia. Namun, IMF menyinggung efek perkembangan tarif sebagai pengaruh utama terhadap pertumbuhan di kawasan ASEAN.

"Bagi sejumlah negara di kawasan ini-terutama di ASEAN, yang termasuk di antara negara-negara yang paling terdampak-perkembangan perkiraan pertumbuhan sebagian besar meniru tingkat tarif efektif," tulis IMF dalam WEO Oktober 2025, dikutip Selasa (14/10/2025).

Secara global, IMF juga merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi dari 3% menjadi 3,2% pada tahun ini. Sementara itu, IMF memperkirakan pertumbuhan lebih rendah untuk ekonomi global pada tahun depan sebesar 3,1%.

IMF menilai Indonesia sebagai "bright spot" Asia, berkat kombinasi reformasi struktural, kebijakan fiskal yang disiplin, dan kemampuan menjaga stabilitas harga.

Managing Director IMF Kristalina Georgieva bahkan memuji langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam memperkuat koordinasi fiskal-moneter dan mengelola defisit secara hati-hati.

Namun IMF juga memberi catatan bahwa revisi ini terjadi di tengah dinamika tarif perdagangan yang meningkat, terutama dari Amerika Serikat terhadap negara-negara mitra di Asia.

Trump Effect

Langkah Presiden AS Donald Trump kembali menjadi pusat perhatian pasar setelah Gedung Putih resmi memberlakukan tarif impor baru untuk produk kayu, furnitur, dan kabinet dapur.

Dengan dalih "keamanan nasional", tarif tersebut melonjak hingga 50% untuk beberapa kategori furnitur strategis.

Tarif yang diterapkan tidak kecil. Produk kayu gergajian lunak kini dikenai bea masuk 10%, sementara furnitur berlapis kain naik dari 25% menjadi 30% mulai awal tahun depan.

Tarif kabinet dapur dan meja rias bahkan melonjak hingga 50%. Trump berdalih, kayu dan turunannya termasuk material strategis yang digunakan dalam infrastruktur pertahanan dan pengujian operasional Departemen Perang.

Dia menegaskan bahwa industri kayu dalam negeri AS masih "kurang berkembang," sehingga negara terlalu bergantung pada impor. Dengan dasar hukum Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan 1962, Trump kembali menggunakan dalih "keamanan nasional" sebagai pintu kebijakan proteksionisnya.

Kebijakan ini dinilai sebagai upaya politik Trump untuk memperkuat industri domestik menjelang pemilu, tetapi berisiko menambah tekanan pada rantai pasok global yang belum sepenuhnya pulih.

Bagi Indonesia, dampaknya bisa langsung terasa. Sektor furnitur dan kerajinan yang menyerap lebih dari satu juta tenaga kerja berpotensi terpukul karena 54% ekspor furnitur nasional dan 44% ekspor kerajinan masih bergantung pada pasar AS.

China Effect Bayangi Pasar

Selain isu perdagangan, perhatian pasar juga tertuju pada dinamika di China. Hari ini, Rabu (15/10/2025), Beijing dijadwalkan merilis data inflasi konsumen (CPI) untuk September. Sebelumnya, inflasi China pada Agustus tercatat turun 0,4% (yoy)-penurunan terdalam sejak Februari dan menandai deflasi kelima sepanjang tahun.

Penurunan harga makanan, terutama daging babi, menjadi penyebab utama, sementara inflasi inti (tanpa pangan dan energi) justru naik ke 0,9% (yoy)-tertinggi dalam 18 bulan. Data yang akan keluar hari ini akan menentukan apakah tekanan deflasi masih berlanjut atau mulai berbalik arah.

Bila angka inflasi kembali negatif, kekhawatiran terhadap lemahnya permintaan domestik China bisa kembali memukul harga komoditas global seperti batu bara dan nikel, dua sektor penting bagi pasar saham Indonesia.

China vs Memanas

Presiden Donald Trump pada hari Selasa mengatakan bahwa pemerintahannya sedang mempertimbangkan untuk menghentikan seluruh hubungan dagang dengan China terkait minyak goreng sebagai bentuk pembalasan (retribution) atas keputusan Beijing yang menolak membeli kedelai dari Amerika Serikat.

Dalam unggahan di Truth Social, Trump menuduh bahwa China melakukan "tindakan bermusuhan secara ekonomi" (Economically Hostile Act) dengan "sengaja tidak membeli kedelai dari AS dan menyebabkan kesulitan bagi para petani kedelai Amerika."

Trump menambahkan bahwa mengakhiri bisnis dengan China dalam perdagangan minyak goreng dan komoditas lain merupakan langkah pembalasan yang sedang dipertimbangkannya.

"Sebagai contoh, kita bisa dengan mudah memproduksi minyak goreng sendiri; kita tidak perlu membelinya dari China," tulis Trump.

China selama ini merupakan pembeli terbesar kedelai AS, dengan total impor sekitar 27 juta metrik ton senilai hampir US$12,8 miliar pada tahun 2024.

Namun, di tengah memanasnya perang dagang antara Washington dan Beijing, China belum membeli satu pun kedelai asal Amerika sejak bulan Mei.

Utang Luar Negeri

Bank Indonesia akan mengumumkan data utang luar negeri Indonesia periode Agustus pada Rabu (15/10/2025).

Sebagai catatan, utang luar negeri (ULN) pada Juli 2025 tercatat US$434,1 miliar.
Jika melihat secara tahunan, maka ULN Indonesia tumbuh 4,1% (yoy) melambat dibandingkan pertumbuhan 6,3% (yoy) pada Juni 2025.
Posisi ULN pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar 211,7 miliar dolar AS, atau tumbuh sebesar 9,0% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,0% (yoy) pada Juni 2025. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah.

Sementara itu, posisi ULN swasta pada Juli 2025 tercatat stabil dibandingkan bulan sebelumnya pada kisaran 195,6 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,3% (yoy), relatif sama dengan kontraksi pada bulan sebelumnya.

Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun menjadi 30,0% pada Juli 2025 dari 30,5% pada Juni 2025, serta dominasi ULN jangka panjang dengan pangsa 85,5% dari total ULN.

Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini:

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • Konferensi pers dan Tur Pameran 15th UOB POY yang menampilkan karya 48 finalis termasuk para pemenang yang akan dilaksanakan di Flix Cinema, ASHTA District 8, Senopati, Jakarta Selatan

  • "Paparan Publik Tahun 2025 PT Unilever Indonesia, Tbk. yang diadakan di Grha Unilever, Green Office Park, BSD City, Tangerang

  • Diskusi media bersama Toyota Indonesia dalam gelaran Trade Expo Indonesia 2025 yang akan diselenggarakan di Indonesia Convention Exhibition BSD, Tangerang

  • Upacara pembukaan TEI ke-40 di Indonesia Convention Exhibition BSD, Tangerang. Turut hadir antara lain Presiden, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Menteri Perdagangan

  • Pembukaan Mineral & Batubara Convention Expo di Jakarta International Convention Center, Jakarta Selatan. Turut hadir antara lain Menteri ESDM

  • Helath Talk "From Prevention to Treatment: Digital Health & Medical Innovation for Weight Management" di GIOI Menteng, Jakarta Pusat. Turut hadir antara lain VP Consultation & Diagnostics, Halodoc, Board of Wellness Halofit, dan Medical & Regulatory Director Novo Nordisk Indonesia.

Berikut agenda korporasi:

  • RUPSPT Multi Medika Internasional Tbk
  • RUPS Garuda Indonesia (Persero) Tbk
  • Ruang Auditorium, Gedung Manajemen Garuda, Lantai Dasar, Garuda City, Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang 15111 - Indonesia
  • Tanggal DPS Dividen Tunai Interim PT Teladan Prima Agro Tbk
  • Tanggal DPS Dividen Tunai Interim Astra International Tbk
  • Tanggal cum Dividen Tunai Interim Astra Graphia Tbk
  • Tanggal ex Dividen Tunai Interim Astra Otoparts Tbk


Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:



CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular