
Alarm Global! Efek Berantai Utang Negara Kaya Bisa Jadi Bom waktu

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang pemerintahan negara-negara maju di dunia terus mengalami peningkatan, hingga menciptakan kekhawatiran tersendiri akan kemampuan negara dalam menjaga utang pemerintahan negara negara maju.
Berdasarkan data World Economic Outlook Dana Moneter Internasional (IMF) di April 2025, beberapa negara tercatat bahkan memiliki rasio utang terhadap PDB yang sudah lebih dari 100%.
Jepang menjadi negara dengan rasio utang tertinggi di dunia, mencapai 234,9% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini mencerminkan beban fiskal yang sangat besar akibat kombinasi antara defisit struktural dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Italia menyusul dengan rasio 137,3%, diikuti oleh Amerika Serikat sebesar 122,5%, serta Prancis yang berada di 116,3%.
Sementara itu, Kanada dan Inggris juga mencatatkan posisi utang yang relatif tinggi, masing-masing 112,5% dan 103,9% terhadap PDB. Bahkan, China meskipun masih di bawah 100% kini sudah mencapai 96,3%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata dua dekade sebelumnya
Kekhawatiran Akan Utang Negara Maju Yang Semakin Melebar
Kekhawatiran global terhadap lonjakan utang negara maju bukan tanpa alasan. Jika dilihat dari laju rata-rata pertumbuhan (CAGR) utang dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi. Contohnya dalam periode 2019-2024, terlihat jelas bahwa utang pemerintah di banyak negara maju jauh lebih cepat daripada kemampuan ekonominya untuk tumbuh.
Amerika Serikat misalnya, mencatat rata-rata pertumbuhan utang sebesar 9,36% per tahun, sementara ekonominya hanya tumbuh rata-rata 6,42% per tahun dalam periode yang sama.
Artinya, laju kenaikan utang AS lebih tinggi 2,94% dibandingkan pertumbuhan PDB nya. Kondisi serupa terjadi di Prancis yang mencatat pertumbuhan utang mencapai 9,09%, diikuti oleh Inggris dengan 8,08%.
Bahkan negara dengan fundamental fiskal yang relatif kuat seperti Kanada dan Italia pun mencatat pertumbuhan utang yang sedikit lebih cepat dari pertumbuhan ekonominya. Sementara itu, Jepang yang memiliki rasio utang tertinggi di dunia mencatat pertumbuhan utang 2,73%, masih di atas pertumbuhan ekonominya yang hanya 1,65% per tahun.
Ketimpangan antara laju kenaikan utang dan pertumbuhan ekonomi ini menjadi sinyal bahwa tekanan fiskal di negara maju semakin meningkat.
Selain itu, kondisi ini juga bisa menciptakan apa yang dikenal sebagai "snowball effect", di mana beban bunga utang terus menumpuk lebih cepat dibandingkan kapasitas ekonomi menghasilkan pendapatan. Semakin besar selisih pertumbuhan tersebut, semakin cepat pula rasio utang terhadap PDB meningkat bahkan jika defisit primer relatif stabil.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kekhawatiran dunia terhadap utang negara maju bukan hanya soal besarannya, melainkan arah pertumbuhannya. Ketika utang tumbuh lebih cepat dari ekonomi, beban bunga akan menumpuk dan menciptakan efek bola salju yang sulit dihentikan.
Dampak Ke Global dan Indonesia
Kenaikan utang di negara maju kini menempatkan dunia di persimpangan baru. Jika tren ini tidak dikelola dengan hati-hati, krisis fiskal di ekonomi besar bisa menular ke seluruh sistem keuangan global, bukan melalui gagal bayar (default), tetapi melalui biaya pinjaman yang tinggi dan stagnasi pertumbuhan.
"Krisis utang berikutnya bisa datang bukan dari negara berkembang, tetapi dari negara maju yang selama ini dianggap paling aman," menurut laporan IMF.
IMF pun mendesak agar negara-negara maju mulai melakukan konsolidasi fiskal jangka menengah secara kredibel untuk menghindari krisis utang di masa depan.
Langkah ini mencakup pengurangan subsidi yang tidak efisien, optimalisasi penerimaan pajak, serta pengalihan belanja ke sektor yang lebih produktif.
Lembaga tersebut juga memperingatkan risiko "crowding out", di mana ekspansi utang publik yang berlebihan bisa menekan investasi swasta dan memperlambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
IMF menekankan bahwa strategi fiskal yang lebih hati-hati dan kebijakan moneter yang terkoordinasi menjadi kunci menjaga stabilitas di tengah beban utang global yang semakin berat.
"Pemerintah harus mulai menyesuaikan kebijakan fiskalnya secara bertahap dan kredibel, sambil menghindari penyingkiran investasi sektor swasta," tulis IMF dalam laporannya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)