Newsletter

Jurus Pajak Purbaya di Tengah Amukan Trump, Bisa Redam Badai?

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
15 October 2025 06:17
Ilustrasi Dollar Rupiah
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Sentimen pasar global tengah bergejolak diwarnai kombinasi antara kebijakan proteksionisme baru Amerika Serikat (AS), rilis proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF), Pidato Ketua The Fed, serta ekspektasi terhadap inflasi China yang menjadi cerminan kekuatan permintaan global.

Ketiganya akan menjadi penentu arah pasar keuangan dunia, termasuk bagi rupiah dan IHSG dalam beberapa hari mendatang. Dari dalam negeri, rencana insentif pajak diharapkan ikut menopang pergerakan IHSG hari ini:

Defisit APBN Sentuh 1,56% dari PDB, Pemerintah Kaji Stimulus Pajak

Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mencapai Rp 371,5 triliun, atau 1,56% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per 30 September 2025. Adapun,target defisit APBN 2025 mencapai 2,78%.

Pendapatan negara mencapai Rp 1.863,3 triliun atau 65% terhadap outlook. Ini lebih rendah jika dibandingkan dengan posisi tahun lalu pada periode yang sama Rp 2.008,6 triliun.

Setoran penerimaan pajak per September 2025 baru sebesar Rp 1.295,3 triliun atau turun 4,4% dibanding realisasi pada periode yang sama tahun lalu senilai Rp 1.354,9 triliun.
Secara nominal, penerimaan pajak itu setara dengan 62,4% dari perkiraan penerimaan pajak hingga akhir tahun yang hanya berani dipatok Kementerian Keuangan Sebesar Rp 2.076,9 triliun.

(Dok. Kementerian Keuangan RI)Foto: (Dok. Kementerian Keuangan RI)
(Dok. Kementerian Keuangan RI)



Dari sisi belanja, realisasi mencapai sebesar Rp 2.234,8 triliun per 30 September 2025 atau 63,4% dari outlook 2025.

Kendati penerimaan pajak melemah, Menteri Keuangan (Menkeu)Purbaya Yudhi Sadewa buka suara ihwal rencananya menurunkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Sebagaimana diketahui, tarif PPN sebetulnya secara gradual mengalami kenaikan. Namun, baru kali ini Purbaya membuka peluang penurunan.
"Nanti kita lihat bisa enggak kita turunkan PPN itu untuk mendorong daya beli masyarakat ke depan. Tapi kita pelajari dulu hati-hati," kata Purbaya saat konferensi pers APBN edisi September 2025, Selasa (14/10/2025).

Purbaya mengatakan, sebelum mengeksekusi rencana penurunan tarif PPN itu, pemerintah akan lebih dulu melihat setoran pajak sampai akhir tahun, sambil melihat secara cermat keseluruhan kondisi masyarakat.

Sebagaimana diketahui, tarif PPN sebetulnya kembali naik pada 2025 menjadi 12%, setelah kenaikan pada 2022 menjadi 11% dari sebelumnya 10%.

Namun, karena gejolak penolakan masyarakat terhadap keputusan yang ditetapkan dalam UU HPP itu, tarif PPN yang naik hanya khusus barang mewah, menjadi 12%.

Sisanya, tetap diberlakukan besaran tarif 11% hingga saat ini karena dengan menerapkan kebijakan dasar pengenaan pajak atau DPP 11/12 terhadap tarif PPN.

Selain itu, pemerintah akan memperpanjang stimulus pajak.

Insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun yang Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 100% akan diperpanjang hingga 31 Desember 2027.
Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam konferensi pers APBN KITA Edisi Oktober 2025, Selasa (14/10/2025).

Adapun, pemerintah sebelumnya sudah menetapkan perpanjangan PPN DTP sebesar 100% hingga 31 Desember 2026. Keputusan ini direvisi setelah mendengar masukan dari pengembang properti. Perpanjangan ini juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pidato Ketua The Fed Jerome Powell 

Ketua Federal Reserve Jerome (The Fed) Jerome Powell mengatakan bahwa bank sentral Amerika Serikat sudah mendekati tahap di mana mereka akan menghentikan pengurangan kepemilikan obligasi (balance sheet runoff). Namun, dia tidak memberikan petunjuk jangka panjang mengenai arah suku bunga ke depan.

Powell juga memberikan sinyal halus bahwa penurunan suku bunga tambahan kemungkinan besar akan terjadi dalam waktu dekat.

Meskipun isu mengenai neraca keuangan (balance sheet) sering dianggap sebagai detail teknis dalam kebijakan moneter, Powell menegaskan bahwa hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pasar keuangan.

Berbicara dalam konferensi National Association for Business Economics (NABE) di Philadelphia, Powell memaparkan pandangannya mengenai proses "quantitative tightening" (QT) yakni upaya The Fed untuk mengurangi lebih dari US$6 triliun surat berharga yang saat ini masih dimiliki dalam neracanya.

Powell tidak menyebutkan tanggal pasti kapan proses itu akan dihentikan, namun ia mengatakan terdapat indikasi bahwa cadangan perbankan (reserves) sudah mendekati tingkat yang dianggap "cukup melimpah" (ample reserves).

"Rencana kami yang sudah lama adalah menghentikan pengurangan neraca ketika cadangan berada sedikit di atas level yang kami anggap sesuai dengan kondisi ample reserves," ujar Powell dalam pernyataan tertulis.

"Kami mungkin akan mencapai titik itu dalam beberapa bulan mendatang, dan kami sedang memantau berbagai indikator untuk membantu mengambil keputusan ini." Imbuhnya.

Terkait suku bunga, Powell tidak memberikan panduan eksplisit mengenai seberapa cepat pelonggaran (pemangkasan) akan dilakukan, namun komentarnya tentang pelemahan pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa opsi pelonggaran semakin kuat, sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar.

"Jika kami bergerak terlalu cepat, kami mungkin meninggalkan pekerjaan mengendalikan inflasi yang belum tuntas dan terpaksa kembali mengetatkan nanti. Namun jika kami bergerak terlalu lambat, maka akan timbul kerugian yang tidak perlu di pasar tenaga kerja," jelas Powell.

Beberapa pejabat Fed lain juga menyatakan bahwa penurunan kondisi pasar tenaga kerja kini menjadi prioritas utama, memperkuat kemungkinan adanya pemangkasan suku bunga tambahan di masa depan.

Dalam pidatonya, Powell banyak menyoroti kepemilikan Treasury dan mortgage-backed securities (MBS) oleh The Fed.

Meski topik ini tampak teknis, Powell menekankan bahwa isu neraca (balance sheet) memiliki dampak besar terhadap kondisi keuangan global.

Ketika kondisi keuangan mengetat, Fed berupaya menjaga "abundant reserves" agar bank memiliki cukup likuiditas untuk menjaga ekonomi tetap berjalan. Saat kondisi mulai normal, Fed menargetkan "ample reserves", yaitu tingkat cadangan yang memadai tanpa menimbulkan kelebihan likuiditas di sistem.

Selama pandemi Covid-19, Fed secara agresif membeli obligasi pemerintah dan MBS, sehingga neracanya membengkak hingga hampir US$9 triliun.
Sejak pertengahan 2022, Fed mulai mengizinkan surat berharga yang jatuh tempo untuk tidak diperpanjang, sehingga ukuran neraca berangsur menyusut - bagian dari kebijakan pengetatan moneter.

IMF Optimistis Ekonomi RI

Pada Selasa (14/10/2025), IMF merilis World Economic Outlook edisi Oktober dan menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 4,8% menjadi 4,9% pada 2025, serta mempertahankannya di level sama untuk 2026. Kenaikan ini menjadi bentuk pengakuan terhadap ketahanan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global.

Dalam WEO Oktober 2025, IMF tidak menjelaskan rinci mengenai revisi ke atas untuk proyeksi ekonom Indonesia. Namun, IMF menyinggung efek perkembangan tarif sebagai pengaruh utama terhadap pertumbuhan di kawasan ASEAN.

"Bagi sejumlah negara di kawasan ini-terutama di ASEAN, yang termasuk di antara negara-negara yang paling terdampak-perkembangan perkiraan pertumbuhan sebagian besar meniru tingkat tarif efektif," tulis IMF dalam WEO Oktober 2025, dikutip Selasa (14/10/2025).

Secara global, IMF juga merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi dari 3% menjadi 3,2% pada tahun ini. Sementara itu, IMF memperkirakan pertumbuhan lebih rendah untuk ekonomi global pada tahun depan sebesar 3,1%.

IMF menilai Indonesia sebagai "bright spot" Asia, berkat kombinasi reformasi struktural, kebijakan fiskal yang disiplin, dan kemampuan menjaga stabilitas harga.

Managing Director IMF Kristalina Georgieva bahkan memuji langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam memperkuat koordinasi fiskal-moneter dan mengelola defisit secara hati-hati.

Namun IMF juga memberi catatan bahwa revisi ini terjadi di tengah dinamika tarif perdagangan yang meningkat, terutama dari Amerika Serikat terhadap negara-negara mitra di Asia.

Trump Effect

Langkah Presiden AS Donald Trump kembali menjadi pusat perhatian pasar setelah Gedung Putih resmi memberlakukan tarif impor baru untuk produk kayu, furnitur, dan kabinet dapur.

Dengan dalih "keamanan nasional", tarif tersebut melonjak hingga 50% untuk beberapa kategori furnitur strategis.

Tarif yang diterapkan tidak kecil. Produk kayu gergajian lunak kini dikenai bea masuk 10%, sementara furnitur berlapis kain naik dari 25% menjadi 30% mulai awal tahun depan.

Tarif kabinet dapur dan meja rias bahkan melonjak hingga 50%. Trump berdalih, kayu dan turunannya termasuk material strategis yang digunakan dalam infrastruktur pertahanan dan pengujian operasional Departemen Perang.

Dia menegaskan bahwa industri kayu dalam negeri AS masih "kurang berkembang," sehingga negara terlalu bergantung pada impor. Dengan dasar hukum Pasal 232 Undang-Undang Perluasan Perdagangan 1962, Trump kembali menggunakan dalih "keamanan nasional" sebagai pintu kebijakan proteksionisnya.

Kebijakan ini dinilai sebagai upaya politik Trump untuk memperkuat industri domestik menjelang pemilu, tetapi berisiko menambah tekanan pada rantai pasok global yang belum sepenuhnya pulih.

Bagi Indonesia, dampaknya bisa langsung terasa. Sektor furnitur dan kerajinan yang menyerap lebih dari satu juta tenaga kerja berpotensi terpukul karena 54% ekspor furnitur nasional dan 44% ekspor kerajinan masih bergantung pada pasar AS.

China Effect Bayangi Pasar

Selain isu perdagangan, perhatian pasar juga tertuju pada dinamika di China. Hari ini, Rabu (15/10/2025), Beijing dijadwalkan merilis data inflasi konsumen (CPI) untuk September. Sebelumnya, inflasi China pada Agustus tercatat turun 0,4% (yoy)-penurunan terdalam sejak Februari dan menandai deflasi kelima sepanjang tahun.

Penurunan harga makanan, terutama daging babi, menjadi penyebab utama, sementara inflasi inti (tanpa pangan dan energi) justru naik ke 0,9% (yoy)-tertinggi dalam 18 bulan. Data yang akan keluar hari ini akan menentukan apakah tekanan deflasi masih berlanjut atau mulai berbalik arah.

Bila angka inflasi kembali negatif, kekhawatiran terhadap lemahnya permintaan domestik China bisa kembali memukul harga komoditas global seperti batu bara dan nikel, dua sektor penting bagi pasar saham Indonesia.

China vs Memanas

Presiden Donald Trump pada hari Selasa mengatakan bahwa pemerintahannya sedang mempertimbangkan untuk menghentikan seluruh hubungan dagang dengan China terkait minyak goreng sebagai bentuk pembalasan (retribution) atas keputusan Beijing yang menolak membeli kedelai dari Amerika Serikat.

Dalam unggahan di Truth Social, Trump menuduh bahwa China melakukan "tindakan bermusuhan secara ekonomi" (Economically Hostile Act) dengan "sengaja tidak membeli kedelai dari AS dan menyebabkan kesulitan bagi para petani kedelai Amerika."

Trump menambahkan bahwa mengakhiri bisnis dengan China dalam perdagangan minyak goreng dan komoditas lain merupakan langkah pembalasan yang sedang dipertimbangkannya.

"Sebagai contoh, kita bisa dengan mudah memproduksi minyak goreng sendiri; kita tidak perlu membelinya dari China," tulis Trump.

China selama ini merupakan pembeli terbesar kedelai AS, dengan total impor sekitar 27 juta metrik ton senilai hampir US$12,8 miliar pada tahun 2024.

Namun, di tengah memanasnya perang dagang antara Washington dan Beijing, China belum membeli satu pun kedelai asal Amerika sejak bulan Mei.

Utang Luar Negeri

Bank Indonesia akan mengumumkan data utang luar negeri Indonesia periode Agustus pada Rabu (15/10/2025).

Sebagai catatan, utang luar negeri (ULN) pada Juli 2025 tercatat US$434,1 miliar.
Jika melihat secara tahunan, maka ULN Indonesia tumbuh 4,1% (yoy) melambat dibandingkan pertumbuhan 6,3% (yoy) pada Juni 2025.
Posisi ULN pemerintah pada Juli 2025 tercatat sebesar 211,7 miliar dolar AS, atau tumbuh sebesar 9,0% (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 10,0% (yoy) pada Juni 2025. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh perlambatan pertumbuhan posisi pinjaman luar negeri dan surat utang pemerintah.

Sementara itu, posisi ULN swasta pada Juli 2025 tercatat stabil dibandingkan bulan sebelumnya pada kisaran 195,6 miliar dolar AS, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,3% (yoy), relatif sama dengan kontraksi pada bulan sebelumnya.

Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun menjadi 30,0% pada Juli 2025 dari 30,5% pada Juni 2025, serta dominasi ULN jangka panjang dengan pangsa 85,5% dari total ULN.

(emb/emb)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular