
Dolar Ganas, Fed Sudah Bicara: Pasar Saham Tunggu 'Kartu Truf' Purbaya

Pada perdagangan hari ini, Kamis (9/10/2025), pelaku pasar akan mencermati sejumlah sentimen yang berpotensi membentuk arah pergerakan IHSG dan rupiah. Dari sisi dalam negeri, fokus utama tertuju pada rilis data penjualan ritel Indonesia periode Agustus 2025 yang akan dirilis Bank Indonesia.
Sementara itu, dari sisi teknikal, IHSG masih berada dalam tren bullish, namun mulai muncul indikasi bearish divergence yang mengisyaratkan potensi koreksi jangka pendek. Kondisi ini menjadi perhatian investor di tengah penguatan dolar AS yang tengah berlanjut. Berikut rangkuman sentimen utama yang akan membentuk arah IHSG hingga rupiah :
Analisis Teknikal IHSG: Waspadai Potensi Bearish Divergence di Tengah Tren Bullish
secara garis besar, IHSG saat ini masih berada dalam tren bullish. Kenaikan yang telah terjadi sejak pertengahan tahun ini, telah memperlihatkan betapa kuatnya tren yang tengah terjadi. Selama IHSG mampu bertahan di atas trendline bullish nya dan tidak terjadi penurunan tajam di bawah garis tren tersebut maka peluang kelanjutan tren bullish masih cukup terbuka.
Namun, secara teknikal saat ini, muncul sinyal bearish divergence yang perlu diwaspadai. Istilah bearish divergence ini terjadi ketika IHSG membentuk puncak yang lebih tinggi, tetapi indikator MACD justru bergerak menurun.
![]() IHSG |
Perbedaan arah ini menunjukkan bahwa tren penguatan mulai melemah, meski harga masih menguat, dorongan beli tidak lagi sekuat sebelumnya. Ditambah lagi, histogram MACD telah berwarna merah, menandakan momentum penurunan mulai meningkat.
Apabila skenario bearish divergence ini benar-benar terkonfirmasi, maka IHSG berpotensi menguji level support kuatnya di area 8.000. Jika level tersebut tertembus, maka koreksi bisa berlanjut menuju area yang lebih rendah dan berpotensi menguji dua area gap terbuka yang masih belum tertutup sejak kenaikan sebelumnya.
Secara teknikal, gap adalah celah antara dua candle yang terjadi ketika harga pembukaan hari berikutnya berada jauh di atas atau di bawah harga penutupan sebelumnya, tanpa ada transaksi di area tersebut.
Biasanya, harga akan menutup gap seiring pergerakan pasar berikutnya. Saat ini IHSG memiliki dua area gap yang perlu diperhatikan.
1. Level 7.854-7.889
2. Level 7.726-7.743
Kedua area ini berpotensi menjadi target koreksi jangka pendek jika tekanan jual terus meningkat.
Penjualan Ritel Indonesia Agustus
Hari ini, Kamis (9/10/2025), BI akan merilis penjualan ritel atau eceran Indonesia periode Agustus 2025. Sebelumnya, penjualan eceran Indonesia (IPR) tumbuh 4,7% secara tahunan (yoy) pada Juli 2025,meningkat dibandingkan dengan pertumbuhan pada Juni 2025 yang sebesar 1,3%yoy.
Akselerasi ini menandakan adanya perbaikan permintaan domestik, terutama setelah periode tekanan inflasi dan pelemahan rupiah di paruh pertama tahun.
Secara bulanan (mtm), penjualan eceran pada Juliterkontraksi4,1%, seiring berakhirnya periode libur sekolah dan cuti bersama Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Namun, BI memperkirakan aktivitas konsumsi akan kembali meningkat menjelang akhir kuartal III, terutama karena tren normalisasi mobilitas dan ekspektasi masyarakat terhadap stabilitas harga yang relatif terjaga.
Koreksi bulanan ini dinilai bersifat sementara, dan pasar akan menantikan apakah data Agustus mampu menunjukkan pemulihan permintaan ritel yang berkelanjutan di tengah tekanan ekonomi global.
Indeks Keyakinan Konsumen RI Turun, Sinyal Daya Beli Masih Tertahan
Berdasarkan Survei Konsumen Bank Indonesia (BI), Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun ke level 115,0 dari sebelumnya 117,2 pada Agustus 2025. Meskipun menurun, posisi tersebut masih berada di atas level 100, yang menandakan keyakinan masyarakat terhadap kondisi ekonomi masih dalam zona optimistis.
"Mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi tetap terjaga," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso, dikutip dari siaran pers resmi, Rabu (8/10/2025).
Penurunan IKK utamanya dipengaruhi oleh melemahnya dua komponen pembentuk utama, yakni Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang turun dari 105,1 menjadi 102,7, serta Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang melemah dari 129,2 menjadi 127,2.
Dari sisi kelompok pengeluaran, tekanan terhadap kepercayaan konsumen tampak lebih nyata pada kelompok menengah. Konsumen dengan pengeluaran Rp 3,1 juta-Rp 4 juta mencatat penurunan IKK tajam dari 116,9 menjadi 109,1, sedangkan kelompok Rp 2,1 juta-Rp 3 juta juga turun dari 108,1 menjadi 104,2. Sebaliknya, keyakinan tetap kuat di kalangan masyarakat berpengeluaran tinggi.
IKK untuk kelompok di atas Rp 5 juta naik signifikan dari 120,9 menjadi 124,8, menunjukkan daya beli kelas menengah atas masih cukup solid.
Menariknya, kelompok masyarakat berpengeluaran terendah, yakni Rp 1 juta-Rp 2 juta, justru mencatat peningkatan indeks dari 102,9 menjadi 105,5. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan persepsi terhadap ketersediaan lapangan kerja dan pendapatan rumah tangga di segmen bawah.
Namun secara keseluruhan, tren penurunan IKK dua bulan berturut-turut menjadi sinyal bahwa konsumsi rumah tangga yang menyumbang lebih dari 50% PDB nasional masih menghadapi tekanan, terutama di tengah pelemahan nilai tukar rupiah dan ketidakpastian global yang berlanjut.
Menkeu Purbaya Berencana Kurangi Dana Nganggur di BI
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan komitmennya untuk menekan jumlah dana menganggur pemerintah yang masih tersimpan di Bank Indonesia hingga tersisa sekitar Rp100 triliun.
Langkah ini, menurut Purbaya, penting agar uang negara tidak hanya mengendap di bank sentral, melainkan dapat segera disalurkan ke sektor riil untuk mendorong aktivitas ekonomi nasional.
Saat ini, dana pemerintah yang masih tersimpan di BI diperkirakan mencapai sekitar Rp275 triliun, meski sebagian telah dipindahkan ke lima bank milik negara sejak pertengahan September lalu.
Purbaya menjelaskan bahwa pemerintah akan mengubah strategi pengelolaan kas negara dengan memperbanyak penerbitan surat utang jangka pendek sebagai sumber pembiayaan likuiditas.
Dengan skema tersebut, pemerintah tidak perlu lagi menahan dana besar di BI sebagai cadangan karena kebutuhan belanja dapat dipenuhi lebih cepat dan efisien.
Ia menilai, langkah ini akan memperkuat stimulus fiskal, memperlancar realisasi belanja, serta menjadi salah satu cara menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi.
Dialog Purbaya dan Pasar Modal
Hari Ini,Menteri keuangan Purbaya akan menggelar dialog khusus dengan pelaku pasar modal. Dialog akan digelar pada pukul 09.00-11.00 WIB di Bursa Efek Indonesia.
Dialog ini diharapkan bisa menemukan gebrakan baru di pasar modal agar bursa saham Indonesia semakin diminati.
Menarik ditunggu apa ada kebijakan baru Kementerian Keuangan untuk menggerakkan pasar modal Indonesia.
Dolar Kembali Terbang
Indeks dolar terus melaju kencang selama tiga berturut-turut, menembus 98,9 pada Rabu atau level tertinggi sejak awal Agustus 2025.
Lonjakan dolar didorong oleh pelemahan mata uang utama lainnya. Dolar AS menguat paling signifikan terhadap yen, di tengah ekspektasi stimulus fiskal besar-besaran di Jepang di bawah kepemimpinan pemerintah baru.
Dolar juga menguat terhadap franc Swiss dan euro, yang tertekan oleh ketidakstabilan politik yang terus berlanjut di Prancis.
Dolar AS yang terus melaju kencang ini menandai jika investor tengah memburu dolar dan menjual instrument non-dolar. Kondisi ini dikhawatirkan bisa memicu outflow, terutama di emerging markets seperti Indonesia. Rupiah pun bisa melemah karena aksi outflow.
Risalah FOMC
Risalah pertemuan The Fed Federal Open Market Committee (FOMC) di September mengungkap bahwa para pejabat bank sentral Amerika Serikat semakin kompak untuk menurunkan suku bunga, meski masih terbelah soal seberapa agresif pelonggaran akan dilakukan hingga akhir 2025.
Hampir semua anggota FOMC sepakat bahwa suku bunga acuan perlu dipangkas untuk merespons pelemahan pasar tenaga kerja, sementara risiko inflasi dianggap mulai mereda.
"Dengan penurunan target suku bunga federal funds pada pertemuan ini, Komite berada pada posisi yang baik untuk merespons perkembangan ekonomi secara tepat waktu," tulis notulen yang dirilis Rabu (9/10).
Keputusan September lalu menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi kisaran 4,00%-4,25% disetujui dengan suara 11-1. Namun, proyeksi menunjukkan mayoritas tipis 10-9 mendukung dua kali pemangkasan tambahan pada sisa tahun ini.
Proyeksi jangka menengah memperkirakan satu kali pemangkasan lagi masing-masing pada 2026 dan 2027, sebelum suku bunga stabil di kisaran jangka panjang sekitar 3%.
Pertemuan FOMC September juga menandai debut Gubernur baru Stephen Miran, yang langsung mencatatkan diri sebagai satu-satunya voter dissenting. Ia menginginkan pemangkasan yang lebih agresif, yakni 50 basis poin, bukan seperempat poin.
Dalam pernyataan publik berikutnya, Miran mengaku dirinya adalah satu "dot" di proyeksi internal Fed yang menandakan jalur pelonggaran lebih dalam dibanding anggota lainnya.
Kekhawatiran terbesar pejabat Fed kini tertuju pada pelemahan pasar tenaga kerja. Meski inflasi masih menjadi ancaman, sebagian besar anggota menilai tekanan harga cenderung melandai dan akan kembali ke target 2%.
Namun, sejumlah anggota mengingatkan agar Fed tidak terlalu agresif, mengingat kondisi keuangan saat ini mungkin belum terlalu ketat.
Selain inflasi dan ketenagakerjaan, isu tarif impor Presiden Donald Trump juga mewarnai diskusi. Namun, mayoritas menilai tarif tersebut tidak akan menjadi sumber inflasi jangka panjang meski sempat mendorong kenaikan harga tahun ini.
Fed kini juga menghadapi tantangan baru dari penutupan sebagian pemerintahan AS yang telah memasuki minggu kedua. Sejumlah lembaga seperti Departemen Tenaga Kerja dan Perdagangan menghentikan operasional, membuat data ekonomi penting tidak tersedia.
Jika kebuntuan ini berlanjut hingga pertemuan FOMC berikutnya pada 28-29 Oktober, maka para pembuat kebijakan "akan terbang buta" tanpa data inflasi, pengangguran, maupun pengeluaran konsumen.
Pasar keuangan kini menilai hampir pasti bahwa Fed akan memangkas suku bunga lagi pada pertemuan Oktober dan Desember meski arah kebijakan berikutnya bisa berubah tergantung data yang belum tersedia akibat shutdown.
(evw/evw)