2 Tahun Perang Gaza

Warga Gaza Terperangkap di Neraka: Kekejaman Israel Tak Termaafkan

Rania Reswara Addini, CNBC Indonesia
06 October 2025 22:00
Lahan Pertanian dan Infrastruktur Agrikultur Hancur dan Rusak di Jalur Gaza
Foto: ©FAO/Yousef Alrozzi/

Akibat perang, sekitar 98% lahan pertanian di wilayah Gaza rusak, bahkan tidak dapat diakses. Kerusakan ini melumpuhkan sektor pertanian dan produksi pangan lokal.

Berdasarkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Pusat Satelit Perserikatan Bangsa-Bansa (UNOSAT), hanya 1,5% lahan pertanian di Gaza - sekitar 232 hektar - yang saat ini tersedia untuk ditanami, turun dari 4,6%  (688 hektar) pada April 2025, di wilayah yang dihuni lebih dari 2 juta orang.

Citra satelit juga menunjukkan bahwa 12,4% lahan pertanian, meskipun tidak rusak, tidak dapat diakses karena berada di zona 'larangan masuk

Situasi lahan pertanian yang lebih darurat nampak terjadi di Rafah dan wilayah utara, di mana hampir seluruh lahan pertanian tidak bisa diakses.

Dengan menggunakan citra satelit beresolusi tinggi dan perbandingan dengan kondisi sebelum konflik, ditemukan bahwa 71,2% rumah kaca yang digunakan untuk budidaya tanaman di Gaza telah rusak. Rafah mengalami peningkatan kerusakan terbesar pada rumah kaca, di mana sebanyak 86,5% rumah kaca rusak per April 2025, dibandingkan dengan 57,5% pada Desember 2024.

Sumur pertanian juga mengalami kerusakan parah, dengan sebanyak 82,8% rusak di seluruh Jalur Gaza, naik dari sekitar 67,7 persen pada Desember 2024.


Inflasi Menjulang
Perang juga memicu lonjakan harga sehingga inflasi pun semakin tidak terkendali. 

Data Bank Dunia menunjukkan inflasi di Gaza melonjak 230% pada 2024, sementara pengangguran sekitar 80%. Keluarga yang memiliki tabungan terpaksa menjual emas atau harta lain untuk membeli kebutuhan pokok seperti tepung, gula, dan bensin, yang harganya naik drastis.

Sistem keuangan yang hancur membuat kontrol terhadap harga pasar dan nilai tukar hampir tidak mungkin. Digital payment system Iburaq gagal karena pedagang tetap menuntut pembayaran tunai. Banyak kegiatan ekonomi dikendalikan oleh broker uang tunai, yang mendapat keuntungan besar dari komisi, sementara warga yang kehabisan uang tunai terpaksa mengandalkan bantuan kemanusiaan.

Di tengah inflasi tinggi, pengangguran besar, dan tabungan yang menipis, kelangkaan uang tunai semakin memperburuk tekanan finansial keluarga di Gaza, beberapa bahkan menjual harta milik mereka untuk membeli kebutuhan pokok.

Warga Palestina yang mengungsi dari Gaza utara akibat operasi militer Israel, bergerak ke selatan setelah pasukan Israel memerintahkan penduduk Kota Gaza untuk mengungsi ke selatan, di Jalur Gaza tengah, 20 September 2025. REUTERS/Dawoud Abu AlkasFoto: REUTERS/Dawoud Abu Alkas
Warga Palestina yang mengungsi dari Gaza utara akibat operasi militer Israel, bergerak ke selatan setelah pasukan Israel memerintahkan penduduk Kota Gaza untuk mengungsi ke selatan, di Jalur Gaza tengah, 20 September 2025. REUTERS/Dawoud Abu Alkas

Dikutip dari euronews, warga Gaza menghabiskan US$ 12 atau Rp 558.540 (US$ 1=Rp 16.545) untuk makan dua hari padahal harga sebelum perang hanya US$ 4.

Harga gula sangat mahal mencapai US$ 80-100 atau sekitar Rp 1,32 - 16,5 juta per kg. Harganya melonjak luar biasa dibandingkan sebelum pernag yang hanya US$2 atau Rp 33.090 per kg.

Harga bensin mencapai US$ 25 atau sekitar Rp 413.625 per liter. 

Melansir dari Al-Jazeera, meskipun terdapat beberapa bahan makanan yang tersedia di pasar setempat, harganya melonjak amat tinggi hingga para warga tidak mampu membelinya dan hanya bisa meratapi kondisi mereka. Sekalinya bahan makanan nyata di depan mata mereka, mereka tidak dapat menyentuhnya.

Lonjakan harga ini disebabkan karena proses masuknya bahan makanan yang harus melewati banyak tangan dan rantai perantara. Pemasok Israel yang sejak awal sudah menetapkan harga selangit, para pedagang yang harus membayar suap atau "uang perlindungan" kepada kelompok bersenjata, hingga spekulan yang menimbun pasokan untuk dijual kembali nanti.

Uang tunai adalah nyawa ekonomi Gaza yang hancur, seperti halnya makanan, bahan bakar, dan obat-obatan-semuanya sangat langka. Hampir semua cabang bank dan ATM tidak berfungsi, sehingga masyarakat bergantung pada jaringan broker uang tunai dengan komisi mencapai 40%.

Uang yang tersedia pun kehilangan kepercayaan karena sebagian besar transaksi menggunakan shekel Israel, sementara suplai uang baru dari Israel terhenti. Hal ini memicu naiknya biaya transaksi dan praktik "perbaikan uang" karena banyak lembaran rusak.

Dengan beban berat selama perang, tak heran jika kemudian ekonomi hancur lebur. Ekonomi Gza terkontraksi 24% pada 2023 dan diperkirakan memburuk ke depan.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(mae)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular