2 Tahun Perang Gaza

Warga Gaza Terperangkap di Neraka: Kekejaman Israel Tak Termaafkan

Rania Reswara Addini, CNBC Indonesia
06 October 2025 22:00
Seorang sepupu anak Palestina yang tewas dalam serangan Israel memegang jenazah, di tengah konflik Israel-Hamas, di Deir Al-Balah di Jalur Gaza tengah, 20 Agustus 2024.
Foto: Seorang sepupu anak Palestina yang tewas dalam serangan Israel memegang jenazah, di tengah konflik Israel-Hamas, di Deir Al-Balah di Jalur Gaza tengah, 20 Agustus 2024. (REUTERS/Ramadan Abed)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Gaza sudah berlangsung dua tahun. Perang yang dimulai sejak 7 Oktober 2023 ini memicu kemarahan dunia internasional karena memicu krisis kemanusiaan yang maha berat. Tak hanya membunuh ribuan anak-anak, perang juga memicu hancurnya ekonomi dan kehidupan di jalur Gaza.

Setelah dua tahun berlalu, tanda-tanda gencatan senjata memang sudah terlihat. Namun, bukan berarti penderitaan berakhir seketika.

Delegasi dari Hamas, Israel, dan Amerika Serikat (AS) bertemu di Mesir untuk berunding soal perdamaian Gaza, Senin (6/10/2025) ini. Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump telah mendesak para negosiator untuk "bergerak cepat" guna mengakhiri perang yang telah berlangsung hampir dua tahun di wilayah kantong Palestina itu.

Baik Hamas maupun Israel telah menanggapi secara positif usulan Trump untuk mengakhiri pertempuran dan pembebasan tawanan di Gaza dengan imbalan warga Palestina yang ditahan di penjara Israel. Negosiator utama Hamas, Khalil al-Hayya, akan bertemu dengan mediator dari Mesir dan Qatar di Kairo terlebih dulu hari ini, menjelang perundingan di kota resor Sharm El-Sheikh, Mesir.

Di tengah upaya gencatan senjata, nyatanya Israel terus melancarkan serangan. Rekaman AFPTV menunjukkan asap tebal mengepul di cakrawala wilayah pesisir tersebut pada Minggu (5/10/2025).

Badan pertahanan sipil Gaza, sebuah pasukan penyelamat yang beroperasi di bawah otoritas Hamas, mengatakan serangan Israel menewaskan sedikitnya 20 orang di seluruh wilayah tersebut pada hari Minggu. Sebanyak 13 di antaranya di Kota Gaza.

Menurut data milik Pusat Informasi Palestina, lebih dari 2,4 juta orang di Gaza telah menghadapi genosida, kelaparan, dan pembersihan etnis selama 700 hari berturut-turut. Tentara pendudukan telah menghancurkan total hampir 90% Gaza secara nyaris total, menyebabkan kerugian yang diperkirakan lebih dari US$68 miliar atau sekitar Rp 1.125, 06 triliun.

Melalui kekuatan militer, tentara pendudukan menguasai lebih dari 80% wilayah Gaza, setelah menjatuhkan lebih dari 150.000 ton bahan peledak, termasuk 109 serangan terhadap Al-Mawasi, wilayah yang mereka sebut sebagai "aman."

Jumlah total korban tewas dan orang hilang mencapai 73.731, termasuk 64.300 jenazah yang dibawa ke rumah sakit, sementara 9.500 lainnya masih tertimbun reruntuhan atau hilang.  

Di antara korban terbunuh terdapat lebih dari 20.000 anak-anak dan 1.000 bayi terbunuh.

Data juga menunjukkan bahwa lebih dari 55% syuhada adalah anak-anak, perempuan, dan lansia. 

Tentara pendudukan juga melarang 22.000 pasien untuk bepergian, termasuk 5.200 anak-anak yang sangat membutuhkan evakuasi dan 12.500 pasien kanker.

Tentara Israel telah menghancurkan sebanyak 38 rumah sakit dan 96 pusat kesehatan baik secara total maupun sebagian, serta menjadikan 197 ambulans dan 61 kendaraan pertahanan sipil sebagai target dalam 788 serangan terhadap layanan kesehatan.

Sekitar 95% sekolah di Gaza mengalami kerusakan, dengan lebih dari 90% membutuhkan rekonstruksi atau rehabilitasi. Sebanyak 662 sekolah dan institusi pendidikan dibom langsung, dan 163 di antaranya hancur total.

"Rumah sakit ini adalah satu-satunya fasilitas khusus untuk anak-anak penderita kanker, gagal ginjal, dan kondisi yang mengancam jiwa lainnya - namun bahkan anak-anak yang sakit parah ini tidak luput dari pemboman tanpa henti," kata Fikr Shalltoot, Direktur Gaza di lembaga amal Inggris Medical Aid for Palestinians kepada Japan Times.

Tragedi Kelaparan yang Melanda Gaza

Akibat blokade perang, kelaparan sedang menjadi ancaman amat besar bagi penduduk setempat. Lebih dari setengah juta orang di Gaza terjebak dalam kondisi kelaparan, ditandai dengan meluasnya kelaparan, penderitaan, dan kematian yang sebenarnya dapat dicegah, menurut analisis baru Integrated Food Security Phase Classification (IPC).

Penelitian ini melaporkan kondisi terburuk sejak IPC mulai menganalisis kerawanan pangan akut dan gizi buruk akut di Gaza, sekaligus menandai pertama kalinya kelaparan dikonfirmasi secara resmi di kawasan Timur Tengah.

Publikasi analisis tersebut memperingatkan bahwa seluruh penduduk Gaza yang berjumlah 2,1 juta orang menghadapi risiko kelaparan kritis setelah 19 bulan konflik, pengungsian massal, dan pembatasan ketat terhadap bantuan kemanusiaan.

Di akhir September, lebih dari 640.000 orang diperkirakan akan menghadapi tingkat kerawanan pangan katastrofik (IPC Fase 5) di seluruh Jalur Gaza. Selain itu, 1,14 juta orang akan berada pada kondisi darurat (IPC Fase 4), dan 396.000 orang lainnya dalam kondisi krisis (IPC Fase 3). Sebagai catatan, pada Fase 5, penduduk mengalami tingkat kerawanan pangan paling parah dan menghadapi ancaman kelaparan langsung.

Klasifikasi kelaparan berarti kategori paling ekstrem dipicu ketika tiga ambang batas kritis yaitu kekurangan pangan parah, gizi buruk akut, dan kematian terkait kelaparan telah terlampaui. Analisis terbaru ini menegaskan berdasarkan bukti yang masuk akal bahwa kriteria tersebut telah terpenuhi.

Serangan yang tak kunjung reda selama dua tahun lalu ditambah dengan pembatasan ketat akses kemanusiaan serta akses pangan, air, bantuan medis, dukungan pertanian, peternakan dan perikanan telah mendorong penduduk Gaza ke dalam jurang kelaparan.

Fenomena kekurangan gizi pada anak-anak di Gaza menyebar dengan cepat.

Pada Juli saja, lebih dari 12.000 anak teridentifikasi menderita gizi buruk akut. Angka ini merupakan angka bulanan tertinggi yang pernah tercatat dan enam kali lipat lebih banyak dibandingkan pada awal tahun. Menurut data tersebut, hampir satu dari empat anak di Gaza menderita gizi buruk akut parah.

Warga Palestina berkumpul untuk membeli roti dari toko roti, di tengah konflik Israel-Hamas, di Deir Al-Balah di Jalur Gaza tengah, 24 Oktober 2024. (REUTERS/Ramadan Abed)Foto: Warga Palestina berkumpul untuk membeli roti dari toko roti, di tengah konflik Israel-Hamas, di Deir Al-Balah di Jalur Gaza tengah, 24 Oktober 2024. (REUTERS/Ramadan Abed)
Warga Palestina berkumpul untuk membeli roti dari toko roti, di tengah konflik Israel-Hamas, di Deir Al-Balah di Jalur Gaza tengah, 24 Oktober 2024. (REUTERS/Ramadan Abed)

 

Awal tahun ini, Badan Pangan Dunia (FAO) memperkirakan total nilai kerusakan dan kerugian yang dialami sektor pertanian di Gaza sejak pecahnya konflik pada 2023 mencapai lebih dari US$2 miliar, membuat kebutuhan pemulihan dan rekonstruksi diperkirakan mencapai sekitar US$4,2 miliar.

Mengutip Al Jazeera, sebuah Organisasi non-Pemerintah bernama World Central Kitchen (WCK), yang mengoperasikan salah satu dari sedikit toko roti terakhir yang masih berfungsi di Gaza, mengumumkan bahwa mereka tidak lagi memiliki pasokan untuk memasak makanan atau membuat roti di Gaza.

"Makanan tambahan dan peralatan siap dikirim ke perbatasan dari Yordania dan Mesir. Pekerjaan vital kami tidak dapat dilanjutkan tanpa izin dari Israel agar bantuan ini dapat masuk," ujar perwakilan dari lembaga amal tersebut.

Tentara pendudukan diketahui menutup perbatasan Gaza selama 186 hari berturut-turut, mencegah masuknya lebih dari 111.600 truk bantuan. Mereka juga sempat menargetkan 46 dapur umum dan 61 pusat distribusi, dan menewaskan 67 pekerja amal.

Saat ini, lebih dari 650.000 anak-anak menghadapi risiko kematian akibat kelaparan, termasuk 40.000 bayi. Bayi-bayi di Gaza membutuhkan 250.000 kaleng susu formula bayi setiap bulan, tetapi tidak bisa dipenuhi lantaran pasokan dilarang masuk oleh tentara pendudukan.

Seela Barbakh, an 11-month-old Palestinian girl who is malnourished, according to medics, is held by her mother, Najah, at Nasser Hospital in Khan Younis, in the southern Gaza Strip, July 23, 2025. REUTERS/Ramadan AbedFoto: REUTERS/Ramadan Abed
Seela Barbakh, an 11-month-old Palestinian girl who is malnourished, according to medics, is held by her mother, Najah, at Nasser Hospital in Khan Younis, in the southern Gaza Strip, July 23, 2025. REUTERS/Ramadan Abed

Momen ketika bahan makanan berhasil masuk ke Palestina menjadi sebuah senjata tersendiri. Israel tahu bahwa sebagian besar warga Palestina kini menganggur dan sepenuhnya bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup. Kekejamannya bukan hanya dalam bentuk bom atau blokade, tetapi juga dalam cara mempermainkan kebutuhan warga setempat.

Akibat perang, sekitar 98% lahan pertanian di wilayah Gaza rusak, bahkan tidak dapat diakses. Kerusakan ini melumpuhkan sektor pertanian dan produksi pangan lokal.

Berdasarkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Pusat Satelit Perserikatan Bangsa-Bansa (UNOSAT), hanya 1,5% lahan pertanian di Gaza - sekitar 232 hektar - yang saat ini tersedia untuk ditanami, turun dari 4,6%  (688 hektar) pada April 2025, di wilayah yang dihuni lebih dari 2 juta orang.

Citra satelit juga menunjukkan bahwa 12,4% lahan pertanian, meskipun tidak rusak, tidak dapat diakses karena berada di zona 'larangan masuk

Situasi lahan pertanian yang lebih darurat nampak terjadi di Rafah dan wilayah utara, di mana hampir seluruh lahan pertanian tidak bisa diakses.

Dengan menggunakan citra satelit beresolusi tinggi dan perbandingan dengan kondisi sebelum konflik, ditemukan bahwa 71,2% rumah kaca yang digunakan untuk budidaya tanaman di Gaza telah rusak. Rafah mengalami peningkatan kerusakan terbesar pada rumah kaca, di mana sebanyak 86,5% rumah kaca rusak per April 2025, dibandingkan dengan 57,5% pada Desember 2024.

Sumur pertanian juga mengalami kerusakan parah, dengan sebanyak 82,8% rusak di seluruh Jalur Gaza, naik dari sekitar 67,7 persen pada Desember 2024.


Inflasi Menjulang
Perang juga memicu lonjakan harga sehingga inflasi pun semakin tidak terkendali. 

Data Bank Dunia menunjukkan inflasi di Gaza melonjak 230% pada 2024, sementara pengangguran sekitar 80%. Keluarga yang memiliki tabungan terpaksa menjual emas atau harta lain untuk membeli kebutuhan pokok seperti tepung, gula, dan bensin, yang harganya naik drastis.

Sistem keuangan yang hancur membuat kontrol terhadap harga pasar dan nilai tukar hampir tidak mungkin. Digital payment system Iburaq gagal karena pedagang tetap menuntut pembayaran tunai. Banyak kegiatan ekonomi dikendalikan oleh broker uang tunai, yang mendapat keuntungan besar dari komisi, sementara warga yang kehabisan uang tunai terpaksa mengandalkan bantuan kemanusiaan.

Di tengah inflasi tinggi, pengangguran besar, dan tabungan yang menipis, kelangkaan uang tunai semakin memperburuk tekanan finansial keluarga di Gaza, beberapa bahkan menjual harta milik mereka untuk membeli kebutuhan pokok.

Warga Palestina yang mengungsi dari Gaza utara akibat operasi militer Israel, bergerak ke selatan setelah pasukan Israel memerintahkan penduduk Kota Gaza untuk mengungsi ke selatan, di Jalur Gaza tengah, 20 September 2025. REUTERS/Dawoud Abu AlkasFoto: REUTERS/Dawoud Abu Alkas
Warga Palestina yang mengungsi dari Gaza utara akibat operasi militer Israel, bergerak ke selatan setelah pasukan Israel memerintahkan penduduk Kota Gaza untuk mengungsi ke selatan, di Jalur Gaza tengah, 20 September 2025. REUTERS/Dawoud Abu Alkas

Dikutip dari euronews, warga Gaza menghabiskan US$ 12 atau Rp 558.540 (US$ 1=Rp 16.545) untuk makan dua hari padahal harga sebelum perang hanya US$ 4.

Harga gula sangat mahal mencapai US$ 80-100 atau sekitar Rp 1,32 - 16,5 juta per kg. Harganya melonjak luar biasa dibandingkan sebelum pernag yang hanya US$2 atau Rp 33.090 per kg.

Harga bensin mencapai US$ 25 atau sekitar Rp 413.625 per liter. 

Melansir dari Al-Jazeera, meskipun terdapat beberapa bahan makanan yang tersedia di pasar setempat, harganya melonjak amat tinggi hingga para warga tidak mampu membelinya dan hanya bisa meratapi kondisi mereka. Sekalinya bahan makanan nyata di depan mata mereka, mereka tidak dapat menyentuhnya.

Lonjakan harga ini disebabkan karena proses masuknya bahan makanan yang harus melewati banyak tangan dan rantai perantara. Pemasok Israel yang sejak awal sudah menetapkan harga selangit, para pedagang yang harus membayar suap atau "uang perlindungan" kepada kelompok bersenjata, hingga spekulan yang menimbun pasokan untuk dijual kembali nanti.

Uang tunai adalah nyawa ekonomi Gaza yang hancur, seperti halnya makanan, bahan bakar, dan obat-obatan-semuanya sangat langka. Hampir semua cabang bank dan ATM tidak berfungsi, sehingga masyarakat bergantung pada jaringan broker uang tunai dengan komisi mencapai 40%.

Uang yang tersedia pun kehilangan kepercayaan karena sebagian besar transaksi menggunakan shekel Israel, sementara suplai uang baru dari Israel terhenti. Hal ini memicu naiknya biaya transaksi dan praktik "perbaikan uang" karena banyak lembaran rusak.

Dengan beban berat selama perang, tak heran jika kemudian ekonomi hancur lebur. Ekonomi Gza terkontraksi 24% pada 2023 dan diperkirakan memburuk ke depan.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]


(mae) Next Article Perbandingan Kekuatan Militer Israel Vs Iran, Siapa Unggul?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular