
Badai Sentimen Mengintai RI: Inflasi, Ekonomi China & Shutdown Amerika

Pasar keuangan Tanah Air baik IHSG maupun rupiah diperkirakan akan kembali volatile. Lantaran pada perdagangan hari ini terdapat banyak rilis data ekonomi dari Tanah Air, mulai dari data inflasi, neraca dagang hingga PMI Manufaktur.
Akan tetapi, masih terdapat tantangan dari global, dimana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan memberlakukan tarif baru kepada mitra dagangnya dengan mencapai angka 50%. Shutdown AS juga masih menjadi isu hari ini.
Optimis Ekonomi RI Tumbuh 5,5%
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tembus level di atas 5,5% pada kuartal IV-2025.
Penyebabnya, pemerintah tengah fokus melakukan ekspansi fiskal dengan menggelontorkan dana menganggur pemerintah, memberikan stimulus ekonomi, hingga dukungan Bank Indonesia melalui kebijakan moneter longgar.
"Saya yakin akan ada 5,5%. Di atas 5,5% triwulan keempat ya," kata Purbaya dikutip Selasa (30/9/2025).
Purbaya bilang berbagai kebijakan itu baru akan mulai berefek pada akhir tahun karena pada kuartal III-2025 masih banyak permasalahan yang membuat tekanan ekonomi. Mulai dari demonstrasi hingga tekanan kurs.
"Triwulan yang ketiga mungkin agak lambat karena waktu itu ada kecewaan kan. Tapi triwulan keempat saya yakin pertumbuhannya akan lebih bagus," tuturnya.
Sebagaimana diketahui, sejak dilantik pada 8 September 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto, Purbaya telah menyatakan komitmennya untuk terus menggelontorkan belanja negara demi mendorong ekonomi masyarakat.
Pada 12 September 2025, ia bahkan mengeluarkan dana menganggur pemerintah senilai Rp 200 triliun dari Bank Indonesia ke lima bank negara supaya peredaran uang primer atau M0 dapat tumbuh tinggi.
Lalu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan stimulus ekonomi lanjutan yang disebut dengan kebijakan paket ekonomi 8+4+5 yang akan dikerahkan hingga 2026. Total anggaran paket stimulus itu mencapai Rp 16,23 triliun.
Pada 17 September 2025, Bank Indonesia juga menyatakan, ikut mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat dengan berbagai kebijakan. Seperti melalui kebijakan moneter longgar dengan memangkas suku bunga acuan BI Rate menjadi 4,75%.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pun telah memastikan, Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penurunan suku bunga, pelonggaran likuiditas, peningkatan insentif makroprudensial, serta percepatan digitalisasi ekonomi dan keuangan.
"Dengan penguatan sinergi kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah tersebut, pertumbuhan ekonomi semester II 2025 diprakirakan membaik sehingga secara keseluruhan tahun 2025 akan berada di atas titik tengah kisaran 4,6-5,4%," ucap Perry.
Inflasi RI September
Pada Rabu (1/10/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data inflasi Indonesia periode September 2025. Inflasi Indonesia diperkirakan akan kembali naik pada September 2025 yang didorong oleh merangkaknya harga sejumlah bahan pokok seperti daging ayam dan cabai merah.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 institusi memperkirakan Indeks Harga Konsumen (IHK) akan naik atau mengalami inflasi 0,10% secara bulanan(month-to-month/mtm) di September.
Sementara itu, secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi diperkirakan akan mencapai 2,51%. Inflasi inti diperkirakan stagnan di 2,17%.
Sebagai catatan, pada Agustus 2025, IHK bulanan mengalami deflasi 0,08% (mtm) dan inflasi 2,31% (yoy). Inflasi inti menembus 2,17%.
Dengan demikian, pada September ini diperkirakan inflasi akan kembali meningkat baik secara bulanan maupun tahunan.
Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan akan terjadi inflasi bulanan sebesar 0,14% (mtm) pada September, setelah deflasi 0,08% di Agustus. Kenaikan ini terutama dipengaruhi oleh harga bahan pangan bergejolak dan biaya transportasi.
"Tekanan inflasi pada September diperkirakan berasal dari kenaikan harga daging ayam sebesar 5,3% (mtm) dan cabai merah yang melonjak 12,4% (mtm). Meski demikian, harga beras dan bawang merah masih memberikan offset deflasi," ujar Andry kepada CNBC Indonesia.
Secara tahunan, Bank Mandiri memperkirakan inflasi akan naik ke 2,6% (yoy), sementara inflasi inti justru diperkirakan turun tipis ke 2,15% (yoy). "Komponen inti diperkirakan tetap terkendali, sejalan dengan normalisasi biaya pendidikan dan terbatasnya dorongan permintaan meski rupiah melemah," tulis tim riset Bank Mandiri.
Berbeda dengan perkiraan Mandiri, Bank Maybank Indonesia justru memperkirakan IHK pada September 2025 akan turun atau mengalami deflasi sebesar -0,09% (mtm), lebih dalam dibanding pada bulan sebelumnya yang mengalami deflasi -0,08%. Namun, secara tahunan inflasi diproyeksikan naik menjadi 2,34% (yoy), lebih tinggi dari 2,31% pada Agustus.
"Deflasi pada September terutama dipicu oleh penurunan harga bahan pangan seperti beras, minyak goreng, sayur-mayur, bawang merah, dan bawang putih. Selain itu, sejalan dengan turunnya harga minyak dunia, harga BBM nonsubsidi juga ikut terkoreksi," tulis Maybank Indonesia dalam risetnya.
Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), terlihat adanya kenaikan harga pada daging ayam dan cabai merah.
Harga daging ayam naik hingga 7,02% secara bulanan menjadi Rp38,379/kg, serta harga cabai merah Rp54.731/kg naik hingga 18,15%. Meski demikian, harga beras justru mengalami penurunan 0,24% menjadi Rp15.900/kg. Serta harga bawang putih juga turun sampai 2,42% di harga Rp39.518/kg.
Neraca Dagang RI Agustus
Masih di hari yang sama Rabu (1/10/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) juga akan merilis data neraca dagang RI periode Agustus beserta pertumbuhan ekspor dan impor.
Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca dagang Agustus 2025 masih akan mencatat surplus sebesar US$4,8 miliar di Agustus, naik dari periode Juli yang sebesar US$4,1 miliar.
PMI RI September
Hari ini Rabu (1/10/2025), juga terdapat rilis aktivitas manufaktur Indonesia periode September 2025. Sebelumnya, data Purchasing Managers' Index (PMI) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 51,5 pada Agustus 2025 atau mengalami ekspansi. Laju ekspansi ini adalah yang pertama dalam lima bulan setelah PMI terkontraksi empat bulan beruntun sebelumnya.
Sebelumnya, PMI sudah terkontraksi sebesar 46,7 di April, kemudian 47,4 di Mei, berlanjut di Juni (46,9), dan Juli (49,2).
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
S&P menjelaskan PMI Manufaktur ekspansif pada Agustus, didorong oleh peningkatan pada produksi dan volume pesanan baru.
Baik output dan pesanan baru mencatat pertumbuhan pertama dalam lima bulan dengan laju yang solid.
Perusahaan melaporkan peluncuran produk baru dan keberhasilan memenangkan klien. Permintaan pasar juga dilaporkan lebih kuat, baik domestik maupun eksternal. Volume pesanan ekspor baru bahkan meningkat dengan laju tercepat sejak September 2023 atau dua tahun terakhir.
Merujuk data S&P, perusahaan meningkatkan aktivitas pembelian dan menambah pekerja untuk menyesuaikan dengan kebutuhan produksi tambahan.
Perusahaan juga menambah persediaan pembelian, namun inventaris produk jadi menurun karena digunakan untuk memenuhi pesanan.
PMI China Menyusut
Aktivitas pabrik China menyusut untuk bulan keenam berturut-turut pada bulan September. Hal ini ditujukan dengan data resmi Biro Statistik Nasional (NBS) Selasa (30/9/2025).
Indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur berada di angka 49,8. Perlu diketahui angka di bawah 50 adalah kontraksi sementara angka 50 ke atas adalah ekspansi.
Meskipun demikian, angka tersebut melampaui sejumlah survei ekonom, di antaranya yang dilakukan Bloomberg. Sebelumnya, laman itu memperkirakan PMI manufaktur September, 49,6.
Ekonomi China sendiri masih tidak baik-baik saja dengan masih merosotnya belanja konsumen domestik dan ketidakpastian perdagangan global.
Angka PMI terbaru ini memperpanjang rentetan kontraksi yang dimulai pada bulan April, karena pabrik-pabrik di seluruh pusat manufaktur tersebut menghadapi turbulensi akibat perang dagang AS yang sedang berlangsung.
"Ekspansi output ekonomi secara keseluruhan di negara ini sedikit meningkat selama bulan tersebut," kata ahli statistik NBS Huo Lihui dalam sebuah pernyataan, dikutip AFP.
Angka ini muncul tepat sebelum dimulainya libur nasional China, "Minggu Emas". Di periode ini biasanya aktivitas pabrik memang menjadi lebih lambat.
Sementara itu, data resmi juga menunjukkan pada hari Selasa bahwa PMI non-manufaktur, yang mengukur aktivitas di berbagai sektor termasuk jasa dan konstruksi, turun menjadi 50,0 pada bulan September dari 50,3 pada bulan Agustus. Angka tersebut lebih rendah dari perkiraan Bloomberg sebesar 50,2 dan merupakan yang terendah sejak November.
Kemudian, harga konsumen di China turun pada bulan Agustus dengan laju tercepat selama enam bulan. Ini menjadi sebuah tanda bahwa kesulitan masih berlanjut di sektor tersebut.
Karena pertumbuhan PDB di atas 5% pada semester pertama, pemerintah mungkin akan menoleransi perlambatan pada semester kedua selama hal itu tidak membahayakan target pertumbuhan setahun penuh sebesar 5%.
AS dan China sendiri masih terus bernegosiasi untuk menentukan tarif impor masing-masing negara. Kedua negara ekonomi terbesar dunia tersebut memperpanjang gencatan senjata tarif untuk sebagian besar bea masuk timbal balik hingga 10 November.
Lowongan Pekerjaan AS Meningkat
Data JOLTS atau lowongan kerja AS mencatat lowongan pekerjaan di Amerika Serikat naik 19.000 menjadi 7,227 juta pada Agustus 2025, dari revisi naik sebesar 7,208 juta pada Juli, sejalan dengan ekspektasi pasar. Data ini juga sedikit di atas perkiraan dan lebih tinggi dari angka sebelumnya 7,184 juta.
Rilis JOLTS ini diawasi ketat oleh pelaku pasar karena memberikan sinyal awal mengenai permintaan tenaga kerja dan minat perekrutan, terutama karena data ini keluar sebelum laporan bulanan Non-Farm Payrolls (NFP).
Namun perlu diingat, data ini dirilis untuk bulan sebelumnya (laporan kali ini untuk Agustus).
Kinerja yang lebih baik dari perkiraan hari ini menunjukkan bahwa, meskipun momentum ekonomi di sektor lain melambat, kondisi ketenagakerjaan AS belum memburuk. Namun, bagi sebagian orang data JOLTS tetap mengecewakan.
Terlebih, Perekrutan juga menurun, sejalan dengan melemahnya kondisi pasar tenaga kerja yang dapat memungkinkan Federal Reserve untuk kembali memangkas suku bunga bulan depan meskipun belanja konsumen masih kuat.
Dengan kemungkinan pemerintah akan tutup ketika dana habis pada tengah malam hari Selasa, laporan tersebut bisa menjadi data ekonomi penting terakhir dalam beberapa waktu. Departemen Tenaga Kerja dan Perdagangan mengatakan pada hari Senin bahwa semua rilis data, termasuk laporan ketenagakerjaan bulan September yang akan dirilis pada hari Jumat, akan ditangguhkan.
Perekrutan menurun 114.000 menjadi 5,126 juta pada bulan Agustus. PHK turun 62.000 menjadi 1,725 juta.
Pasar tenaga kerja melemah di tengah melambatnya permintaan tenaga kerja, dengan para ekonom menyalahkan hambatan akibat ketidakpastian yang berasal dari tarif impor. Tindakan keras imigrasi juga telah mengurangi pasokan tenaga kerja, menciptakan apa yang digambarkan oleh Ketua Federal Reserve Jerome Powell sebagai keseimbangan yang ganjil.
Pertambahan lapangan kerja nonpertanian rata-rata hanya 29.000 pekerjaan per bulan dalam tiga bulan hingga Agustus dibandingkan dengan 82.000 pada periode yang sama tahun lalu. Namun, serangkaian laporan yang cukup kuat, termasuk produk domestik bruto kuartal kedua dan belanja konsumen bulan Agustus, menimbulkan pertanyaan tentang apakah penurunan suku bunga lebih lanjut diperlukan tahun ini.
Trump Naikkan Tarif 50%
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan serangkaian tarif impor baru mulai 14 Oktober 2025. Impor ini akan berlaku untuk kayu yang masuk ke Paman Sam dari negara lain.
Dalam pengumuman perang dagang terbaru ini, Gedung Putih menyebut setidaknya ada tiga garis besar tarif. Pertama, tarif 10% untuk impor kayu lunak, kedua 25% untuk furnitur berlapis kain (yang akan meningkat menjadi 30% pada 1 Januari), dan 25% untuk lemari dapur dan meja rias (yang akan meningkat menjadi 50% pada 1 Januari).
Meski berlaku global, beberapa negara mendapatkan tarif lebih rendah. Di antaranya Inggris, Uni Eropa (UE) dan Jepang.
"Menikmati perlakuan yang lebih menguntungkan yang mencerminkan ketentuan perjanjian perdagangan mereka dengan Amerika Serikat," bunyi pengumuman Gedung Putih, Senin, dikutip dari AFP, Selasa (30/9/2025).
Sementara itu, pemberlakuan tarif Trump telah menghadapi tantangan hukum dan reaksi keras tak hanya di dunia, tapi juga AS sendiri. Mahkamah Agung (MA) AS dijadwalkan akan mendengarkan argumen lisan tentang legalitas bea masuk global Trump pada 5 November.
Dalam lembar fakta yang dirilis Trump, pemerintah mengatakan tarif kayu berguna untuk mengatasi ancaman terhadap keamanan nasional. Kayu, tegas Gedung Putih, memainkan peran vital dalam konstruksi sipil dan infrastruktur militer.
"Rantai pasokan asing dan para ahli besar semakin memenuhi permintaan AS, menciptakan kerentanan terhadap gangguan," ujar Gedung Putih.
"Mitra dagang yang bernegosiasi dengan AS mungkin dapat memperoleh alternatif untuk kenaikan tarif yang tertunda," tambah pengumuman itu.
Sebelumnya Trump juga mengumumkan penerapan tarif impor baru 1 Oktober. Salah satunya farmasi yang akan dikenai kenaikan 100% dan truk-truk besar 25%.
Ancaman Shutdown Pemerintah AS
Pemerintah Amerika Serikat berada di ambang shutdown setelah tengah malam pada Selasa atau Rabu pagi waktu Indonesia, karena Partai Republik dan Demokrat di Kongres tetap keras pada posisi masing-masing terkait kesepakatan pendanaan yang bisa mencegah penghentian operasi pemerintah.
Menurut Congressional Budget Office (CBO), sekitar 750.000 pegawai federal bisa diliburkan sementara jika shutdown terjadi. Total biaya harian untuk gaji pegawai yang diliburkan diperkirakan mencapai $400 juta, dan jumlah pegawai yang terdampak bisa berubah setiap hari, tergantung pada kebijakan masing-masing instansi.
Hingga Rabu dini hari waktu Indonesia, senator AS masih memvoting proposal sementara untuk menjaga pemerintah tetap berjalan. RUU yang dipimpin Demokrat baru saja gagal, dengan hasil voting 53 menentang dan 47 mendukung, mayoritas mengikuti garis partai.
Untuk lolos, RUU ini membutuhkan 60 suara dari 100 senator. Selanjutnya, Partai Republik akan mengajukan proposal mereka sendiri, yang diperkirakan juga akan gagal mencapai ambang 60 suara.
Deadline keputusan shutdown atau tidak akan diketahui sekitar pukul 11.00 WIB.
Jika kesepakatan tidak tercapai, beberapa layanan pemerintah AS akan berhenti sementara.
Presiden Donald Trump mengancam akan melakukan pemecatan massal yang tidak dapat dibalikkan terhadap pegawai federal. Senator Republik John Thune menegaskan partainya tidak akan dijadikan sandera, sementara pemimpin Demokrat Senat Chuck Schumer menuduh Partai Republik berbohong.
Dampak shutdown sudah dirasakan di tingkat individu. Seorang pemadam kebakaran dan ayah tunggal dari tiga anak mengatakan kepada BBC bahwa ia mungkin tidak mampu membayar sewa jika shutdown benar-benar terjadi.
Secara umum, pegawai pemerintah yang esensial tetap bekerja, meski beberapa tanpa gaji, sementara pegawai non-esensial ditempatkan pada cuti tanpa bayaran sementara.
Dengan kebuntuan ini, investor dan warga AS kini menunggu apakah Kongres dapat mencapai kesepakatan di menit-menit terakhir atau shutdown menjadi kenyataan, dengan potensi dampak ekonomi yang signifikan bagi pekerja federal dan layanan publik.
(saw/saw)