Batu bara Cuma Seujung Kuku, Harga Harta Karun Langka Ini Rp 1,8 M/Ton

Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
25 August 2025 18:50
Neodymium. (Dok. International Energy Forum (IEF))
Foto: Neodymium. (Dok. International Energy Forum (IEF))

Jakarta, CNBC Indonesia- Satu nama komoditas melesat jauh meninggalkan yang lain sepanjang tahun ini. Bukan emas tetapi neodymium. Logam tanah jarang (rare earth element) ini mencatat kenaikan harga paling tinggi dibanding mineral maupun energi lain di pasar global 2025.

Harga neodymium melonjak tajam dalam dua pekan terakhir. Data Refinitiv mencatat harga komoditas ini berada di kisaran CNY 785.500/ton atau Rp 1,8 miliar pada Jumat (22/8/2025). Dalam sebulan harganya terbang 21% dan dalam setahun melesat 58%. Dari semua komoditas yang diperdagangkan di jabat bumi, lonjakan harga neodymium hanya kalah dengan Rhodium (62%). 
Kenaikannya jauh di atas komoditas logam mulia seperti platinum (50%), perak (34%) ataupun emas (28%).

Bila dibandingkan nominalnya, harga neodymium sangat jauh di atas. Harga batu bara misalnya berkisar US$111 per ton atau Rp 1,8 juta. Artinya, harga neodymium 1.000 kali lipat batu bara.

Pergerakan harga yang agresif ini menegaskan posisi neodymium sebagai salah satu logam paling strategis dalam rantai pasok global teknologi.

Apa Itu Neodymium?

Neodymium digunakan sebagai bahan utama magnet permanen berbasis NdFeB (neodymium, iron, boron) yang dikenal paling kuat di dunia.

Magnet ini menjadi komponen vital dan memiliki beragam aplikasi luas, seperti pada mikrofon, headphone dan speaker, hard disk drive, pompa, bantalan (bearing), pemindai MRI, mobil listrik, motor dan aktuator berperforma tinggi, terapi magnetik, sistem pengereman anti-lock (ABS), furnitur tetap DIY, serta display POP (Point of Purchase), dan lain-lain.

Dikuasai China

Kenaikan harga neodymium dipicu oleh kombinasi faktor pasokan dan permintaan. Dari sisi pasokan, ketersediaannya terbatas. Produksi global masih terkonsentrasi di China yang menguasai lebih dari 80% rantai pasok rare earth dunia.

Proses ekstraksi dan pemurniannya kompleks serta membutuhkan biaya energi tinggi. Dari sisi permintaan, lonjakan produksi kendaraan listrik dan ekspansi energi terbarukan membuat magnet neodymium semakin dicari.

Data pasar menunjukkan harga neodymium melonjak puluhan persen sejak awal tahun, melampaui laju kenaikan logam lain seperti tembaga, nikel, maupun litium yang sebelumnya lebih sering diburu industri baterai. Analis menyebut, jika tren ini berlanjut, neodymium bisa menjadi komoditas strategis baru yang menentukan daya saing industri teknologi.

Struktur biayanya juga menjelaskan kenapa harga begitu tinggi. Pembuatan magnet neodymium membutuhkan proses sintering dan magnetisasi yang rumit serta boros energi. Ditambah lagi, kualitasnya yang unggul-memiliki saturasi magnetik tinggi, tahan demagnetisasi, dan kerap digunakan dalam aplikasi berdaya tahan lama-membuatnya tidak mudah tergantikan.

Lonjakan harga tahun ini menjadi sinyal penting bagi negara produsen dan konsumen. Negara dengan cadangan rare earth yang belum dieksplorasi kini melihat peluang strategis, sementara industri global menghadapi tekanan biaya produksi yang lebih tinggi. Bagi Indonesia, yang juga memiliki potensi cadangan mineral tanah jarang, momentum ini membuka ruang untuk mempercepat riset dan pengembangan agar tidak sekadar menjadi penonton.

Neodymium mungkin tidak setenar emas atau minyak di mata publik. Namun, dalam peta industri modern, logam ini kian menjadi penentu. Dengan permintaan yang terus meningkat dari sektor energi hijau dan teknologi digital, kenaikan harga tajam di 2025 bisa menjadi awal dari babak baru perebutan kendali atas "emas hijau" abad ini.

Apakah RI Punya?

Indonesia ternyata juga memiliki sumber daya logam tanah jarang ini, namun sayangnya belum dikembangkan hingga saat ini.

Berdasarkan buku "Potensi Logam Tanah Jarang di Indonesia" oleh Pusat Sumber Daya Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2019, sumber daya logam tanah jarang yang berhasil diteliti di beberapa wilayah tercatat mencapai 72.579 ton, berasal dari endapan plaser dan endapan lateritik.

Endapan plaser ini banyak dijumpai pada lokasi kaya sumber daya timah seperti di Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan selatan Kalimantan Barat.

Pusat Sumber Daya Geologi-Badan Geologi pada 2014 melakukan kajian untuk mengetahui potensi sumber daya LTJ dalam endapan tailing di wilayah Pulau Bangka dengan menggunakan metoda interpretasi remote sensing. Hasil kajian menunjukkan tebal endapan tailing 4 m s.d. 6 m, luas total endapan tailing 500.000 ha, sehingga diperoleh volume 5.500.000.000 m3. Dengan kadar total LTJ 9,5 gr/m3, maka tonase LTJ mencapai 52.387.500.000 gr atau 52.000 ton.

Sementara untuk endapan lateritik terdapat di beberapa wilayah seperti Parmonangan, Tapanuli, Sumatera Utara, Ketapang, Kalimantan Barat, Taan, Sulawesi Barat, dan Banggai, Sulawesi Tengah.


Adapun sumber daya LTJ dari endapan lateritik yang diteliti dari beberapa wilayah tersebut mengandung 20.579 ton.

Logam tanah jarang juga berpotensi terdapat pada batu bara. Tapi sayangnya, LTJ pada batu bara Indonesia masih sangat terbatas.

Namun, berdasarkan kondisi geologi dan besarnya potensi batu bara Indonesia, diperkirakan potensi LTJ pada batu bara Indonesia cukup signifikan. Penelitian terbaru dari Anggara dkk. (2018) dilakukan pada batu bara Bangko Sumatera Selatan dan menunjukkan bahwa batu bara tersebut memiliki kandungan LTJ hingga mencapai 118,4 ppm.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(emb/emb)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation