Newsletter

Saatnya BI Pilih: Pangkas Bunga Demi Ekonomi Atau Bertahan Demi Rupiah

Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
20 August 2025 06:15
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (tengah) saat menyampaikan Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan Januari 2025 dengan Cakupan Triwulanan pada Rabu (15/1/2025). (REUTERS/Willy Kurniawan)
Foto: Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (tengah) saat menyampaikan Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulan Januari 2025 dengan Cakupan Triwulanan pada Rabu (15/1/2025). (REUTERS/Willy Kurniawan)

Perdagangan hari ini, Rabu (20/8/2025), diperkirakan akan berlangsung penuh kehati-hatian seiring sejumlah sentimen penting yang menjadi perhatian pelaku pasar. Dari dalam negeri, fokus utama tertuju pada hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang akan menentukan arah kebijakan suku bunga acuan.

Sementara itu dari eksternal, keputusan suku bunga Bank Rakyat China (PBoC) juga akan menjadi sorotan. Kedua agenda ini dinilai berpotensi memengaruhi pergerakan IHSG hingga nilai tukar rupiah sepanjang hari ini.

Berikut rangkuman sentimen utama yang akan membentuk arah IHSG dan rupiah:

Suku Bunga Bank Indonesia

Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan suku bunga RI pada hari ini, Rabu (20/8/2025). Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia terakhir yakni pada 15-16 Juli 2025, BI memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%. Suku bunga Deposit Facility turun menjadi 4,5% dan suku bunga Lending Facility turun menjadi 6,0%.

BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga pada periode Juli lalu dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta sejalan dengan rendahnya perkiraan inflasi 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5% plus minus 1%, dan terjaganya nilai tukar rupiah.

Hal tersebut sekaligus mencatatkan pemangkasan suku bunga ketiga dalam tahun ini. Suku bunga dipangkas masing-masing 25 bps pada Januari, Mei, dan Juli dari 6,00% di Desember 2024 menjadi 5,25% seperti saat ini.



Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 13 lembaga/institusi menunjukkan suara pasar terbelah dalam memproyeksikan kebijakan BI bulan ini.


Sebanyak delapan lembaga memperkirakan BI akan menahan suku bunga sementara lima institusi lainnya memproyeksikan BI akan melakukan pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 5,0%.

Mayoritas para analis memperkirakan BI akan menahan suku bunga. Alasan utama proyeksi suku bunga ditahan adalah kinerja ekonomi Indonesia yang terbilang kuat.

Pada kuartal II-2025, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,12% yoy, lebih tinggi dibanding kuartal I-2025 sebesar 4,87% yoy dan melampaui ekspektasi pasar. Angka tersebut juga menembus level psikologis 5%, yang kerap menjadi tolok ukur stabilitas ekonomi nasional.

Pertumbuhan ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang solid, kinerja ekspor yang tetap positif, serta realisasi belanja pemerintah yang efektif. Capaian tersebut dinilai cukup untuk menahan BI agar tidak terburu-buru memangkas suku bunga lebih lanjut.


Namun, efek pelonggaran yang telah dilakukan sejak awal tahun belum sepenuhnya terasa di sektor perbankan. Hingga akhir Juni 2025, pertumbuhan kredit tercatat 7,77% yoy, melambat dibanding Mei yang tumbuh 8,43% yoy. Sebaliknya, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) naik menjadi 6,96% yoy, meski masih di bawah laju pertumbuhan kredit.

Salah satu hal yang sangat dipengaruhi oleh keputusan suku bunga BI adalah nilai tukar rupiah. Dalam beberapa pekan terakhir, rupiah menunjukkan tren penguatan yang cukup meyakinkan terhadap dolar AS. Sejak awal Agustus hingga penutupan perdagangan Selasa (19/8/2025), rupiah sudah terapresiasi 1,52% ke level Rp16.235/US$. Bahkan, pada 14 Agustus lalu rupiah sempat menyentuh Rp16.106/US$, posisi terkuat sejak awal tahun.

Penguatan ini menjadi bukti bahwa kebijakan moneter BI dalam menjaga stabilitas rupiah berjalan efektif. Kombinasi antara penurunan suku bunga acuan, pengelolaan likuiditas melalui SRBI, serta strategi intervensi ganda BI berhasil menjaga kepercayaan pasar.

Menurut Analis Mega Capital Sekuritas (MCS), BI masih akan menurunkan suku bunga lagi di sisa 2025 ini tetapi tidak bulan ini karena BI perlu mengambil langkah berhati-hati di tengah ketidakpastian kapan the Fed akan mulai memangkas suku bunga lagi.

Sebaliknya, menurut Chief Economist Bank Permata, Joshua Pardede, inflasi yang terkendali di batas bawah target, penguatan rupiah sebesar 1,3% sepanjang bulan ini serta turunnya yield SBN 10 tahun ke kisaran 6,4-6,5% membuka ruang pelonggaran moneter.

Stabilitas harga pangan dan energi, cadangan devisa yang memadai, serta defisit transaksi berjalan yang terjaga menambah keyakinan bahwa pemangkasan tidak akan memicu gejolak rupiah. Kurva Sekuritas Rupiah BI (SRBI) yang terus bergerak turun juga mencerminkan sikap BI yang semakin akomodatif.

Dengan pertumbuhan ekonomi tetap di kisaran 5%, Bank Permata memproyeksikan BI akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Agustus 2025, guna memperkuat transmisi ke suku bunga kredit tanpa mengorbankan stabilitas.


Kebijakan Suku Bunga China

Bank Rakyat China (PBoC) dijadwalkan mengumumkan kebijakan suku bunga periode Agustus 2025 pada hari ini, Rabu (20/8/2025). Pasar menanti langkah otoritas moneter Beijing di tengah melambatnya konsumsi domestik dan pertumbuhan ekonomi yang mulai kehilangan momentum.

Pada keputusan sebelumnya, PBoC memilih menahan suku bunga pinjaman acuan (Loan Prime Rate/LPR) tetap di level 3,0% untuk tenor 1 tahun dan 3,5% untuk tenor 5 tahun. LPR satu tahun biasanya memengaruhi pinjaman korporasi dan sebagian besar kredit rumah tangga, sementara LPR lima tahun menjadi acuan utama suku bunga hipotek.

Langkah ini diambil setelah data menunjukkan pertumbuhan ekonomi China pada kuartal II-2025 mencapai 5,2% secara tahunan (yoy), lebih rendah dibanding kuartal I yang tumbuh 5,4%, tetapi masih melampaui ekspektasi konsensus sebesar 5,1%. Penjualan ritel juga mencatat perlambatan, hanya naik 4,8% (yoy) di Juni, turun dari 6,4% di bulan sebelumnya dan lebih rendah dari perkiraan 5,4%.

Pasar valuta asing merespons tenang, dengan yuan lepas pantai stabil di kisaran 7,179 per dolar AS. Menurut Frederic Neumann, Kepala Ekonom Asia HSBC, PBoC tampaknya belum melihat urgensi untuk memangkas suku bunga, mengingat pertumbuhan PDB masih berada di atas target.

Ia menambahkan, ruang pelonggaran moneter juga terbatas karena suku bunga sudah relatif rendah, sehingga stimulus fiskal dianggap lebih efektif.

Meski begitu, peluang penurunan suku bunga tetap terbuka jika tekanan deflasi berlanjut atau dampak tarif AS terhadap ekspor Tiongkok semakin nyata dalam beberapa bulan ke depan.

Awas, Dolar Menggeliat

Indeks dolar terus menanjak da kemarin ditutup di 98,25 atau posisi terkuatnya sejak 11 Agustus 2025. Indeks dolar kini merangkak ke level 99.

Kenaikan dolar ini tentu menjadi kabar buruk bagi rupiah. Indeks dolar yang menanjak menandakan investor kembali memburu dolar dan meninggalkan instrumen lain. Kondisi ini bisa memicu outflow sehingga rupiah tertekan.

Harga Minyak Terus Ambruk

Harga minyak terus ambruk. Pada perdagangan Selasa kemarin, harga minyak WTI ditutup di US$ 62,35 per barel atau ambruk 1,7%. Harga minyak brent juga jatuh 1,2% ke US$65,79 per barel.

Dalam sebulan harga minyak brent sudah ambruk 5% lebih. Harga jatuh karena para pelaku pasar menilai pertemuan Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin relative damai.

Setiap penyelesaian perang Rusia-Ukraina berpotensi mengakhiri sanksi terhadap ekspor energi Rusia, yang memungkinkan minyak mentah Rusia diperdagangkan secara bebas. Harga minyak juga jatuh karena meningkatnya produksi OPEC+.

Ambruknya harga minyak tentu akan berdampak besar terhadap emiten migas Tanah Air seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), dan PT Surya Esa Perkasa Tbk (ELSA).

(evw/evw)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular