Pasar keuangan domestik hari ini, Rabu (20/8/2025) masih akan bergerak volatile bagi IHSG, rupiah, maupun SBN. Selengkapnya mengenai proyeksi dan sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
IHSG pada perdagangan kemarin, Selasa (15/8/2025) ditutup melemah 0,45% ke level 7.862,94.
Nilai transaksi IHSG pada Selasa (19/8/2025), mencapai Rp18,55 triliun dengan melibatkan 40,05 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 2,17 juta kali. Sebanyak 405 saham menguat, 242 melemah, dan 155 saham stagnan.
Sebanyak lima dari sebelas sektor ditutup di zona merah dengan sektor teknologi memimpin dengan pelemahan sebesar 2,18%, kemudian diikuti oleh sektor utilitas yang dengan pelemahan 2,01%.
Sementara itu, sektor konsumen non siklikal, konsumen siklikal dan kesehatan menjadi sektor yang mengalami penguatan di tengah zona merah IHSG dengan penguatan masing-masing sebesar 2,24%, 2,06% dan 1,37%.
Di sisi lain, PT Astra International Tbk (ASII) menjadi emiten yang mampu menahan pelemahan IHSG dengan sumbangan penguatan 22,18 indeks poin, diikuti oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) dengan sumbangan 5,0 indeks poin, dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) 2,50 indeks poin.
Pelemahan rupiah terjadi seiring dengan pelaku pasar yang masih wait and see, menjelang Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Rabu (20/8/2025). BI diperkirakan akan menahan suku bunga acuan, setelah sebelumnya memangkasnya pada pertemuan Juli.
Dalam RDG 15-16 Juli 2025, BI menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%, dengan suku bunga Deposit Facility turun ke 4,5% dan Lending Facility ke 6,0%. Itu menjadi pemangkasan ketiga sepanjang 2025.
Selain faktor domestik, pergerakan rupiah juga dipengaruhi oleh pergerakan indeks dolar AS. Meski hari ini DXY melemah, pada perdagangan Senin (18/8/2025) indeks sempat menguat 0,32%, ketika pasar keuangan Indonesia tutup karena libur cuti bersama HUT RI ke-80. Pelemahan rupiah hari ini pun dinilai sebagai akumulasi dari penguatan dolar sehari sebelumnya.
Selain menunggu RDG BI, pelaku pasar global juga menantikan simposium tahunan Federal Reserve di Jackson Hole pekan ini. Acara tersebut kerap menjadi panggung penting untuk memberikan sinyal arah kebijakan moneter AS.
Ketua The Fed Jerome Powell dijadwalkan menyampaikan pandangannya mengenai prospek ekonomi dan kerangka kebijakan bank sentral, yang berpotensi mempengaruhi pergerakan pasar keuangan global, termasuk rupiah.
Dari pasar saham AS, bursa beragam pada perdagangan Selasa atau Rabu dini hari waktu Indonesia.
Indeks S&P 500 turun 0,59% ditutup di 6.411,37, sementara Nasdaq Composite melemah 1,46% menjadi 21.314,95. Di sisi lain, Dow Jones Industrial Average naik 10,45 poin, atau 0,02%, dan berakhir di 44.922,27. Indeks 30 saham ini sempat menyentuh rekor tertinggi baru selama sesi perdagangan, didorong kenaikan saham Home Depot.
Saham perusahaan teknologi besar dan pembuat chip mengalami penurunan. Saham Nvidia turun 3,5%, sementara Advanced Micro Devices dan Broadcom masing-masing turun 5,4% dan 3,6%. Saham software yang tengah populer, Palantir, merosot lebih dari 9%, menjadikannya saham berkinerja terburuk di S&P 500. Nama-nama teknologi besar lainnya seperti Tesla, Meta Platforms, dan Netflix juga berada di bawah tekanan.
"Perdagangan AI mungkin tidak sedang runtuh, tapi bisa jadi sedang beristirahat sejenak. Setelah kenaikan lebih dari 40% untuk NASDAQ sejak April, secara historis jeda seperti ini normal saat pasar menyesuaikan diri dengan data ekonomi terbaru dan kebijakan Fed yang diantisipasi," kata Jayson Bronchetti, Chief Investment Officer di Lincoln Financial, kepada CNBC International.
Dia menambahkan seiring pergeseran modal ke perusahaan di lebih banyak sektor yang mampu menerapkan AI untuk meningkatkan margin dan efisiensi.
Potensi rotasi dan partisipasi yang lebih luas dapat mendukung kenaikan yang lebih berkelanjutan, meskipun fluktuasi jangka pendek kemungkinan akan tetap terjadi.
Sementara itu, saham Home Depot naik 3% setelah raksasa perbaikan rumah ini mempertahankan proyeksi penuh tahunannya. Namun, laba kuartal kedua perusahaan ini memang berada di bawah ekspektasi.
Investor kini menunggu laporan laba dari Lowe's, Walmart, dan Target yang dijadwalkan keluar minggu ini untuk mendapatkan gambaran bagaimana kondisi konsumen di tengah outlook inflasi yang campur aduk dan kebijakan perdagangan AS yang terus berkembang.
Wall Street juga mengamati sinyal dari Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, mengenai langkah apa yang akan diambil pada sisa rapat kebijakan bank sentral tahun ini. Pejabat bank sentral dari seluruh dunia akan berkumpul minggu ini di Jackson Hole, Wyoming, untuk simposium ekonomi tahunan Fed.
Pasar futures suku bunga yang direkam alat FedWatch CME.menunjukkan kemungkinan 85% untuk pemotongan suku bunga seperempat poin pada rapat kebijakan Fed berikutnya di September.
"Pidato Jackson Hole pada Jumat kemungkinan menjadi titik balik bagi pasar karena kami percaya Jerome Powell akan memberi sinyal bahwa pemotongan suku bunga kemungkinan besar akan terjadi pada rapat September mendatang," kata Stephen Schwartz, founding partner firma manajemen kekayaan Pioneer Financial.
Dia menambahkan valuasi mungkin bahkan masih memiliki ruang untuk naik saat kita memasuki paruh kedua 2025 karena investor akan mulai memperhitungkan laba 2026, yang diperkirakan akan meningkat berkat potensi suku bunga lebih rendah dan kejelasan kebijakan tarif yang lebih baik.
Perdagangan hari ini, Rabu (20/8/2025), diperkirakan akan berlangsung penuh kehati-hatian seiring sejumlah sentimen penting yang menjadi perhatian pelaku pasar. Dari dalam negeri, fokus utama tertuju pada hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang akan menentukan arah kebijakan suku bunga acuan.
Sementara itu dari eksternal, keputusan suku bunga Bank Rakyat China (PBoC) juga akan menjadi sorotan. Kedua agenda ini dinilai berpotensi memengaruhi pergerakan IHSG hingga nilai tukar rupiah sepanjang hari ini.
Berikut rangkuman sentimen utama yang akan membentuk arah IHSG dan rupiah:
Suku Bunga Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan suku bunga RI pada hari ini, Rabu (20/8/2025). Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia terakhir yakni pada 15-16 Juli 2025, BI memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,25%. Suku bunga Deposit Facility turun menjadi 4,5% dan suku bunga Lending Facility turun menjadi 6,0%.
BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga pada periode Juli lalu dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta sejalan dengan rendahnya perkiraan inflasi 2025 dan 2026 dalam sasaran 2,5% plus minus 1%, dan terjaganya nilai tukar rupiah.
Hal tersebut sekaligus mencatatkan pemangkasan suku bunga ketiga dalam tahun ini. Suku bunga dipangkas masing-masing 25 bps pada Januari, Mei, dan Juli dari 6,00% di Desember 2024 menjadi 5,25% seperti saat ini.
Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 13 lembaga/institusi menunjukkan suara pasar terbelah dalam memproyeksikan kebijakan BI bulan ini.
Sebanyak delapan lembaga memperkirakan BI akan menahan suku bunga sementara lima institusi lainnya memproyeksikan BI akan melakukan pemangkasan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 5,0%.
Mayoritas para analis memperkirakan BI akan menahan suku bunga. Alasan utama proyeksi suku bunga ditahan adalah kinerja ekonomi Indonesia yang terbilang kuat.
Pada kuartal II-2025, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,12% yoy, lebih tinggi dibanding kuartal I-2025 sebesar 4,87% yoy dan melampaui ekspektasi pasar. Angka tersebut juga menembus level psikologis 5%, yang kerap menjadi tolok ukur stabilitas ekonomi nasional.
Pertumbuhan ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang solid, kinerja ekspor yang tetap positif, serta realisasi belanja pemerintah yang efektif. Capaian tersebut dinilai cukup untuk menahan BI agar tidak terburu-buru memangkas suku bunga lebih lanjut.
Namun, efek pelonggaran yang telah dilakukan sejak awal tahun belum sepenuhnya terasa di sektor perbankan. Hingga akhir Juni 2025, pertumbuhan kredit tercatat 7,77% yoy, melambat dibanding Mei yang tumbuh 8,43% yoy. Sebaliknya, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) naik menjadi 6,96% yoy, meski masih di bawah laju pertumbuhan kredit.
Salah satu hal yang sangat dipengaruhi oleh keputusan suku bunga BI adalah nilai tukar rupiah. Dalam beberapa pekan terakhir, rupiah menunjukkan tren penguatan yang cukup meyakinkan terhadap dolar AS. Sejak awal Agustus hingga penutupan perdagangan Selasa (19/8/2025), rupiah sudah terapresiasi 1,52% ke level Rp16.235/US$. Bahkan, pada 14 Agustus lalu rupiah sempat menyentuh Rp16.106/US$, posisi terkuat sejak awal tahun.
Penguatan ini menjadi bukti bahwa kebijakan moneter BI dalam menjaga stabilitas rupiah berjalan efektif. Kombinasi antara penurunan suku bunga acuan, pengelolaan likuiditas melalui SRBI, serta strategi intervensi ganda BI berhasil menjaga kepercayaan pasar.
Menurut Analis Mega Capital Sekuritas (MCS), BI masih akan menurunkan suku bunga lagi di sisa 2025 ini tetapi tidak bulan ini karena BI perlu mengambil langkah berhati-hati di tengah ketidakpastian kapan the Fed akan mulai memangkas suku bunga lagi.
Sebaliknya, menurut Chief Economist Bank Permata, Joshua Pardede, inflasi yang terkendali di batas bawah target, penguatan rupiah sebesar 1,3% sepanjang bulan ini serta turunnya yield SBN 10 tahun ke kisaran 6,4-6,5% membuka ruang pelonggaran moneter.
Stabilitas harga pangan dan energi, cadangan devisa yang memadai, serta defisit transaksi berjalan yang terjaga menambah keyakinan bahwa pemangkasan tidak akan memicu gejolak rupiah. Kurva Sekuritas Rupiah BI (SRBI) yang terus bergerak turun juga mencerminkan sikap BI yang semakin akomodatif.
Dengan pertumbuhan ekonomi tetap di kisaran 5%, Bank Permata memproyeksikan BI akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps pada Agustus 2025, guna memperkuat transmisi ke suku bunga kredit tanpa mengorbankan stabilitas.
Kebijakan Suku Bunga China
Bank Rakyat China (PBoC) dijadwalkan mengumumkan kebijakan suku bunga periode Agustus 2025 pada hari ini, Rabu (20/8/2025). Pasar menanti langkah otoritas moneter Beijing di tengah melambatnya konsumsi domestik dan pertumbuhan ekonomi yang mulai kehilangan momentum.
Pada keputusan sebelumnya, PBoC memilih menahan suku bunga pinjaman acuan (Loan Prime Rate/LPR) tetap di level 3,0% untuk tenor 1 tahun dan 3,5% untuk tenor 5 tahun. LPR satu tahun biasanya memengaruhi pinjaman korporasi dan sebagian besar kredit rumah tangga, sementara LPR lima tahun menjadi acuan utama suku bunga hipotek.
Langkah ini diambil setelah data menunjukkan pertumbuhan ekonomi China pada kuartal II-2025 mencapai 5,2% secara tahunan (yoy), lebih rendah dibanding kuartal I yang tumbuh 5,4%, tetapi masih melampaui ekspektasi konsensus sebesar 5,1%. Penjualan ritel juga mencatat perlambatan, hanya naik 4,8% (yoy) di Juni, turun dari 6,4% di bulan sebelumnya dan lebih rendah dari perkiraan 5,4%.
Pasar valuta asing merespons tenang, dengan yuan lepas pantai stabil di kisaran 7,179 per dolar AS. Menurut Frederic Neumann, Kepala Ekonom Asia HSBC, PBoC tampaknya belum melihat urgensi untuk memangkas suku bunga, mengingat pertumbuhan PDB masih berada di atas target.
Ia menambahkan, ruang pelonggaran moneter juga terbatas karena suku bunga sudah relatif rendah, sehingga stimulus fiskal dianggap lebih efektif.
Meski begitu, peluang penurunan suku bunga tetap terbuka jika tekanan deflasi berlanjut atau dampak tarif AS terhadap ekspor Tiongkok semakin nyata dalam beberapa bulan ke depan.
Awas, Dolar Menggeliat
Indeks dolar terus menanjak da kemarin ditutup di 98,25 atau posisi terkuatnya sejak 11 Agustus 2025. Indeks dolar kini merangkak ke level 99.
Kenaikan dolar ini tentu menjadi kabar buruk bagi rupiah. Indeks dolar yang menanjak menandakan investor kembali memburu dolar dan meninggalkan instrumen lain. Kondisi ini bisa memicu outflow sehingga rupiah tertekan.
Harga Minyak Terus Ambruk
Harga minyak terus ambruk. Pada perdagangan Selasa kemarin, harga minyak WTI ditutup di US$ 62,35 per barel atau ambruk 1,7%. Harga minyak brent juga jatuh 1,2% ke US$65,79 per barel.
Dalam sebulan harga minyak brent sudah ambruk 5% lebih. Harga jatuh karena para pelaku pasar menilai pertemuan Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin relative damai.
Setiap penyelesaian perang Rusia-Ukraina berpotensi mengakhiri sanksi terhadap ekspor energi Rusia, yang memungkinkan minyak mentah Rusia diperdagangkan secara bebas. Harga minyak juga jatuh karena meningkatnya produksi OPEC+.
Ambruknya harga minyak tentu akan berdampak besar terhadap emiten migas Tanah Air seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), dan PT Surya Esa Perkasa Tbk (ELSA).
Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- LPS Financial Festival 2025 di Regale International Convention Center, Medan, pada 20 dan 21 Agustus 2025
- Konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulan Agustus 2025
- Peluncuran Reksa Dana Eastspring Syariah Mixed Asset Fund
- Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Beasiswa Pendidikan SDM Perkebunan Kelapa Sawit Tahun 2025
- Rapat Konsultasi Pimpinan DPR RI dengan Pimpinan Fraksi-fraksi dan Pimpinan AKD
- RDPU Panja Komisi VIII DPR RI mengenai RUU Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, dengan Organisasi Kemasyarakatan Islam Indonesia
-
Menteri Koordinator Bidang Pangan memimpin Rapat Koordinasi terkait Koperasi Merah Putih di kantor Kemenko Pangan, Jakarta Pusat.
-
Kementerian Perindustrian menggelar The 2nd Annual Indonesia Green Industry Summit 2025 (AIGIS) di Jakarta International Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat. Turut hadir antara lain Menteri Perindustrian.
-
Konferensi pers KSPI terkait rencana aksi unjuk rasa pada 28 Agustus 2025 via zoom meeting.
-
Menteri Perdagangan akan meluncurkan program penguatan branding dan kemasan bagi UMKM produk pangan di Auditorium Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat.
- Suku Bunga Public Bank Of China (PBoC)
- Neraca Dagang Jepang Juli
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- RUPS Energi Mega Persada Tbk (ENRG)
- RUPS PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT)
- RUPS PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO)
- RUPS PT Sinergi Inti Andalan Prima Tbk (INET)
- Pidato Vice Chair for Supervision The Fed, Michelle Bowman
- Pidato Anggota Dewan Gubernur The Fed, Christopher Waller
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.