
Menata Ulang Tambang RI Demi Cuan Berkelanjutan

Aktivitas pertambangan di banyak negara telah terbukti menjadi jalan menuju kemakmuran. Mereka sukses tidak hanya mengeruk tanahnya, tetapi membangun sistem dan kebijakan yang berkelanjutan.
China sudah mengubah tambangnya menjadi senjata strategis. China memimpin dalam mengendalikan rantai pasok bahan baku penting khususnya mineral dan logam tanah jarang (Rare Earth Elements/REE) dengan strategi yang sangat terencana, menyeluruh, dan berani.
Bagi China, kestabilan pasokan bahan baku bukan hanya isu ekonomi, melainkan urusan keamanan nasional. Dalam beberapa tahun terakhir, Beijing telah melancarkan berbagai langkah untuk memastikan kebutuhan industrinya terpenuhi tanpa terganggu oleh fluktuasi global atau tekanan geopolitik.
China memfokuskan kontrolnya pada sejumlah mineral strategis seperti: timah, besi, aluminium, dan logam tanah jarang.
Komoditas ini menjadi fondasi utama bagi teknologi tinggi seperti kendaraan listrik, turbin angin, perangkat militer, dan chip semikonduktor.
Untuk menjaga pasokan dan memperkuat dominasinya, China menerapkan serangkaian strategi baik di bidang kebijakan industri maupun riset dan pengembangan (R&D). Beberapa langkah utamanya meliputi pengenaan pajak dan kuota eksspor dan penetapan harga tunggal serta kuota produksi.
Berikut beberapa kebijakan sektor pertambangan dari negara lain:
Berbanding terbalik dengan negara di atas, sejumlah negara menjadi korban dari kesalahan pengelolaan tambang. Salah satu kisah menyedihkan datang dari Nauru.
Nauru, negara yang dulu-nya punya kekayaan tambang melimpah dan sempat menjadi negara terkaya di dunia berdasarkan pendapatan per kapita-nya. Namun, kini jadi negara yang runtun dan hanya bergantung ke negara lain.
Nauru adalah sebuah negara mikro di Pasifik Selatan yang hanya seluas sekitar 21 km², menjadikannya negara republik terkecil di dunia.
Meski kecil, Nauru pernah mencicipi masa kejayaan ekonomi yang luar biasa pada abad ke-20 karena kekayaan tambang fosfatnya.
Fosfat di Nauru terbentuk dari tumpukan kotoran burung laut (guano) yang mengendap selama ribuan tahun dan menghasilkan bahan baku pupuk berkualitas tinggi.
![]() Negeri kecil Nauru. (AFP/Torsten Blackwood) |
Seluruh hasil tambang fosfat dikelola langsung oleh pemerintah, dan keuntungan dari sektor ini dialirkan kembali ke masyarakat dalam bentuk bantuan tunai yang bernilai ribuan dolar per orang setiap tahunnya.
Sayangnya, distribusi dana itu tidak dilakukan dengan sistem yang teratur atau transparan, sehingga pemanfaatannya sering kali tidak tepat sasaran dan mengandalkan pola konsumtif yang tidak berkelanjutan.
Krisis pun datang karena negara tidak punya sumber pendapatan alternatif. Dalam keadaan terdesak, Nauru mulai mencari cara lain untuk tetap bertahan, termasuk dengan menjual izin perbankan dan paspor kepada warga asing. Langkah ini membuat Nauru dikenal sebagai tempat berisiko tinggi untuk pencucian uang.
Pada 2002, Amerika Serikat secara resmi menyebut Nauru sebagai pusat pencucian uang global, setelah terungkap bahwa dana dalam jumlah besar dari jaringan mafia Rusia mengalir melalui bank-bank di negara tersebut.
Beragam cerita sukses kebijakan berkelanjutan di banyak negara dan kisah pahit di Nauru membuktikan jika tambang harus dikelola dengan bijak.
Perbaikan sektor pertambangan di Indonesia yang sedang berjalan ini jika dijaga dan disempurnakan, bisa mengantar Indonesia pada masa depan yang tak hanya kaya secara materi, tapi juga bermartabat.
Karena tambang yang sesungguhnya, adalah tambang yang tak menghancurkan masa depan tetapi membangun keberlanjutan demi anak cucu di kemudian hari.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae/mae)