Kabar Buruk 1 Agustus: PMI Manufaktur RI Jeblok, 4 Bulan di Zona Merah

mae, CNBC Indonesia
01 August 2025 08:10
FILE PHOTO: Labourers work at a garment factory in Bac Giang province, near Hanoi October 21, 2015. REUTERS/Kham/File Photo                              GLOBAL BUSINESS WEEK AHEAD        SEARCH GLOBAL BUSINESS 29 JAN FOR ALL IMAGES
Foto: REUTERS/Kham

Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas manufaktur Indonesia masih terkontraksi pada Juli 2025.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Jumat (1/8/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 49,2 pada Juli 2025 atau mengalami kontraksi, artinya PMI sudah terkontraksi selama empat bulan beruntun.

Sebelumnya, PMI sudah terkontraksi sebesar 46,7 di April, kemudian 47,4 di Mei, berlanjut di Juni (46,9), dan Juli (49,2).

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

S&P dalam keterangannya menjelaskan sektor manufaktur Indonesia kembali memburuk pada awal paruh kedua tahun 2025. Meski demikian, laju kontraksi melambat dibandingkan bulan sebelumnya, disebabkan oleh penurunan yang lebih ringan pada output dan pesanan baru dibandingkan Juni.

Pesanan ekspor baru kembali mengalami penurunan, sementara ketenagakerjaan dan aktivitas pembelian tetap berada di zona merah.

Survei terbaru untuk Juli dilakukan antara tanggal 10 hingga 24 Juli, sehingga sebagian besar respon diperoleh sebelum pengumuman perjanjian dagang dengan Amerika Serikat pada 22 Juli.

Sementara itu, ekspektasi pertumbuhan untuk satu tahun ke depan melemah pada Juli, dengan tingkat keyakinan bisnis berada pada posisi terendah sejak survey ini digelar pada April 2012.

Di sisi harga, harga input terus meningkat tajam, dan mencatat kenaikan tercepat dalam empat bulan terakhir. Sebagai konsekuensinya, harga jual output (output charges) dinaikkan dengan laju tercepat sejak April.

Permintaan Ekspor Turun

Faktor utama di balik ambruknya PMI Juli adalah kontraksi berkelanjutan dalam tingkat produksi. Meski terjadi penurunan, laju penurunan ini moderat dan menjadi yang paling ringan dalam empat bulan terakhir.

Para responden menyebutkan bahwa penurunan output umumnya mencerminkan lemahnya pesanan baru. Bahkan, laju penurunan bisnis baru juga melambat selama Juli.
Produsen menyatakan bahwa kelemahan pasar sebagian diimbangi oleh dimulainya beberapa proyek baru.

Meski begitu, permintaan luar negeri terhadap barang manufaktur Indonesia kembali ke zona kontraksi untuk ketiga kalinya dalam empat bulan, setelah sempat stabil pada Juni.

"Penurunan output dan pesanan baru terus berlangsung pada awal kuartal ketiga, namun melambat dibandingkan Juni. Pesanan ekspor baru kembali menurun," tutur Usamah Bhatti, Ekonom di S&P Global Market Intelligence, dikutip dari website resmi S&P.

Dia menambahkan produsen mencatat bahwa tekanan harga meningkat saat paruh kedua 2025 dimulai. Inflasi biaya mencapai titik tertinggi dalam empat bulan akibat kenaikan harga bahan baku dan fluktuasi nilai tukar yang tidak menguntungkan. Biaya yang meningkat sebagian diteruskan ke klien, meskipun inflasi harga jual hanya moderat.

"Keyakinan terhadap prospek tahun depan menurun tajam pada Juli, dengan tingkat optimisme terendah sepanjang sejarah. Perusahaan menyuarakan kekhawatiran bahwa tarif dari AS dan daya beli pelanggan yang melemah akan membatasi volume produksi tahun depan." Imbuhnya.

Sejalan dengan tren pesanan baru, tumpukan pekerjaan yang belum diselesaikan (backlogs) kini menurun dalam empat bulan berturut-turut.

Tingkat penurunannya pada Juli moderate tetap paling tajam dalam tiga bulan terakhir.

Perusahaan mengatakan stok barang jadi yang tersedia digunakan untuk memenuhi pesanan, berkontribusi terhadap penurunan stok pasca-produksi untuk bulan keempat berturut-turut.

Aktivitas pembelian turun dengan laju moderat selama Juli, dengan perusahaan menunjuk pada penurunan kebutuhan produksi.

Perusahaan berusaha merampingkan stok bahan baku, yang menyebabkan penurunan stok pembelian untuk bulan keempat berturut-turut.

Namun demikian, ada laporan tekanan tambahan pada pemasok, karena rata-rata waktu pengiriman bahan baku memanjang untuk kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir, dipicu oleh penundaan pengiriman dan gangguan akibat konflik Iran-Israel.

Harga Input Terus Naik

Seperti yang telah terjadi sejak Desember 2019, produsen barang di Indonesia kembali melaporkan kenaikan harga input dalam periode survei terbaru.

Tingkat inflasinya kuat, dan merupakan yang paling tinggi sejak Maret. Di mana harga naik, hal ini umumnya terkait dengan kenaikan harga bahan baku, sementara fluktuasi nilai tukar juga turut mendorong kenaikan harga barang impor.

Perusahaan berusaha meneruskan kenaikan biaya input kepada klien dengan menaikkan harga jual pabrik (factory gate prices) sejauh kenaikan tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Namun, laju inflasi ini tetap tergolong moderat.

Tenaga Kerja dan Prospek ke Depan
Survei S&P juga menunjukkan perusahaan tetap dalam mode pengetatan, seperti ditunjukkan oleh turunnya ketenagakerjaan dan aktivitas pembelian.

Tingkat ketenagakerjaan masih dikurangi meski laju pengurangan tenaga kerja melambat dari Juni dan hanya sedikit.

Ke depan, produsen manufaktur Indonesia masih menyampaikan optimisme terhadap prospek tahun depan.

Namun, tingkat keyakinan menurun tajam dibandingkan Juni, dan menjadi yang terlemah sejak seri ini dimulai pada April 2012.

Optimisme ini ditopang oleh harapan perbaikan ekonomi dan penurunan harga bahan baku. Meski demikian, perusahaan mengkhawatirkan tarif yang diberlakukan oleh AS serta melemahnya daya beli pelanggan.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(mae/mae)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation