
Drama Tembaga: Harga Rontok Setelah Dunia Tertipu Janji Trump

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga tembaga global jatuh hingga 20% dalam sepekan terakhir. Sentimen utama datang dari kebijakan Amerika Serikat (AS) yang mengecualikan tembaga olahan (refined copper) dari daftar logam yang dikenai tarif impor, meski logam lainnya dari China masih disasar.
Langkah ini mengejutkan banyak pihak, terutama para pelaku industri dan investor tembaga, yang sebelumnya mengantisipasi pasar akan mengencang karena tarif baru. Namun nyatanya, pembebasan tembaga olahan justru menimbulkan tekanan baru terhadap harga logam ini.
Merukuk Refinitiv, harga tembaga pada hari ini, Kamis (31/7/2025) ada di posisi US$ 4,467 per pon, harganya ambruk 20,4% sehari. Dalam sepekan harganya jatuh 22,8%.
Harga hari ini adalah yang terendah sejak 11 April 2025 atau tiga bulan lebih.
AS Batalkan Tarif, Harga Langsung Tergelincir
Harga tembaga global terguncang pada 30 Juli 2025 setelah pemerintah Amerika Serikat mengumumkan tarif baru terhadap produk tembaga-namun tidak sesuai ekspektasi pasar. Keputusan ini memicu aksi jual besar-besaran di pasar tembaga hingga harganya anjlok lebih dari 20% dalam sehari.
Sebelum pengumuman resmi, pelaku pasar telah berspekulasi bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan mengenakan tarif terhadap seluruh rantai pasok tembaga, mulai dari bijih mentah, konsentrat, katoda, hingga produk jadi seperti kabel dan pipa.
Antisipasi ini menyebabkan harga tembaga AS naik signifikan dan mendorong para eksportir global mengalihkan pengiriman ke AS demi mengejar premium harga.
Namun, Trump hanya menetapkan tarif 50% untuk produk setengah jadi seperti pipa dan kabel tembaga, tanpa mencakup bahan baku utama seperti bijih atau katoda. Kekecewaan ini langsung memicu aksi jual besar di pasar tembaga Comex, karena pasar merasa telah bereaksi berlebihan terhadap kabar yang terlalu dibesar-besarkan.
Sebagai catatan, akibat spekulasi sebelumnya, stok tembaga di AS menumpuk karena banyaknya pengalihan pengiriman ke sana.
Ketika kebijakan tarif ternyata hanya mencakup produk jadi, para pedagang berebut melepas stok yang tak lagi menguntungkan. Ini menciptakan kelebihan pasokan lokal, menekan harga lebih dalam.
Sebelum tarif diumumkan, harga tembaga di Comex AS sempat memiliki premium hingga US$3.000/ton dibanding harga acuan global di London Metal Exchange (LME). Namun setelah pengumuman, premium itu anjlok ke hanya US$157/ton, mencerminkan betapa pasar membalik ekspektasinya. Harga Comex pun jatuh lebih dari 20%, mencerminkan pembalikan sentimen tajam dalam semalam.
Analis melihat bahwa harga tembaga di AS kini kembali ke tingkat wajar pra-tarif, yakni sekitar US$4,5 per pon atau sekitar US$10.000 per ton. Dengan koreksi harga ini, pasar dianggap telah menyesuaikan diri dengan kenyataan kebijakan dan menutup ruang spekulasi yang sebelumnya terlalu agresif.
"Pasar bereaksi keras karena keputusan ini membuka keran ekspor tembaga Tiongkok tanpa hambatan bea masuk," ujar ekonom industri logam, dikutip dari Mining.com.
Sebelumnya, China memasok sekitar 20% dari kebutuhan tembaga olahan AS, dan ekspektasi tarif sempat membuat pasokan ketat. Namun realitasnya justru sebaliknya.
Dominasi China dan Over Supply
Berdasarkan data Global Trade Tracker, ekspor tembaga olahan China melonjak tajam sejak Maret hingga Mei 2025. Kondisi ini memperkuat kekhawatiran pasar akan kelebihan pasokan (oversupply), terutama ketika permintaan dari sektor properti di China sendiri sedang lesu.
Langkah AS untuk mengecualikan tembaga dari tarif diduga merupakan strategi untuk menjaga biaya produksi manufaktur tetap rendah, mengingat tembaga merupakan komponen vital di berbagai sektor seperti mobil listrik, infrastruktur energi, hingga elektronik konsumer.
Namun, kebijakan ini memperlebar jarak antara retorika proteksi industri dalam negeri dengan praktik nyata di lapangan.
Sementara itu, permintaan domestik China sebagai konsumen tembaga terbesar dunia belum menunjukkan perbaikan signifikan. Industri properti, yang menjadi pengguna besar logam ini, masih dalam fase koreksi. Selain itu, pertumbuhan ekonomi China pada kuartal II 2025 hanya mencapai 4,7% secara tahunan, di bawah ekspektasi pasar.
Kondisi ini makin menekan harga tembaga global, karena China tidak hanya menjadi eksportir besar, tetapi juga pasar utama yang menentukan arah permintaan global.
Keputusan AS untuk mengecualikan tembaga dari tarif impor dan lesunya permintaan dari China menjadi kombinasi negatif bagi harga tembaga dunia.
Dalam jangka pendek, harga diperkirakan tetap berada di bawah tekanan, meskipun secara struktural permintaan jangka panjang dari sektor transisi energi masih menjanjikan.
Investor dan pelaku industri perlu mencermati perkembangan kebijakan lanjutan dari AS, serta pemulihan sektor properti dan manufaktur di Tiongkok yang masih menjadi titik kunci stabilisasi harga tembaga ke depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
