
Boom! Harga Tembaga Kembali Cetak Rekor, Dunia Masuki Supercyle Baru

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga tembaga kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa ditopang oleh pelemahan pasokan dan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Harga kontrak berjangka tembaga pada Rabu (23/7/2025) ditutup melesat 1,7% di US$ 5,8 per pon. Penguatan tersebut memperpanjang tren positif batu bara menjadi menguat 5,6% selama empat hari beruntun.
Pada hari ini Kamis (24/7/2025), harga tembaga masih menguat 0,47% ke US$5,85 per pon.
Sepanjang bulan ini harga tembaga sudah melesat 14% sementara sepanjang tahun ini sudah terbang 45% lebih.
Harga tembaga melonjak tajam sepanjang Juli 2025, didorong oleh kombinasi kebijakan proteksionis Amerika Serikat, krisis pasokan di Chile, hingga ledakan permintaan global dari sektor energi baru dan kendaraan listrik.
Sejak Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif ini awal bulan Juli, harga tembaga telah melewati batas US$ 5 per pon dan terus menanjak.
Meskipun harga terus menguat, para analis dari ANZ Bank mengatakan tarif tembaga ini diperkirakan akan membuat pasar AS lebih bergantung pada stok domestik dalam jangka pendek, yang berpotensi menekan harga di New York maupun London.
Di sisi lain, arus masuk tembaga ke pasar AS mulai melambat, karena para pedagang memilih menahan pengiriman menjelang implementasi tarif pada 1 Agustus.
Dalam sebulan, harga logam merah ini melonjak hampir 19%, dan sejak awal tahun telah naik lebih dari 45%, menjadikannya salah satu komoditas dengan kinerja terbaik, bahkan mengungguli emas yang hanya menguat 29%.
Salah satu pemicu utama reli harga tembaga adalah keputusan Presiden Donald Trump yang mengumumkan tarif 50% terhadap impor tembaga, berlaku mulai 1 Agustus. Pengumuman ini memicu gelombang pembelian panik di pasar domestik AS, saat para importir dan produsen bergegas mengamankan pasokan sebelum tarif berlaku.
Akibatnya, harga tembaga berjangka di AS melonjak hingga 13-15% dalam sebulan, dan menciptakan premium harga AS terhadap LME (London Metal Exchange) terbesar sepanjang sejarah yakni sekitar 30%.
Di balik lonjakan harga juga terdapat permintaan tembaga global terus melonjak yang didorong oleh proyek infrastruktur besar-besaran, ekspansi kendaraan listrik dan baterai, pembangunan pusat data (data center), dan transisi energi ke sumber terbarukan seperti angin dan matahari.
Namun, sisi pasokan tidak bisa mengikuti. Proyek tambang baru dan modernisasi smelter cenderung berjalan lambat karena kendala lingkungan, perizinan, dan biaya. Kesenjangan ini membuat pasar global semakin ketat.
Kondisi makin diperparah oleh gangguan produksi dari Chile, negara penghasil tembaga terbesar dunia. Tambang raksasa Collahuasi melaporkan penurunan output, dan raksasa tambang Codelco mengungkapkan kekhawatiran tentang ketidakpastian regulasi dan tarif, yang memperburuk volatilitas pasar.
Kondisi ini memicu sejumlah lembaga keuangan untuk merevisi naik proyeksi harga tembaga global menjadi sekitar US$ 4,28 per pon, dengan harga kontrak berjangka di AS bahkan mencapai US$ 5,81 per pon per 23 Juli.
Faktor lain yang memperkuat reli harga tembaga adalah pelemahan dolar AS. Dengan nilai tukar dolar yang menurun, komoditas yang dihargakan dalam dolar menjadi lebih murah bagi pembeli luar negeri, sehingga mendorong kenaikan permintaan dari importir global.
Kenaikan harga tembaga bukan hanya soal sentimen sesaat. Banyak analis melihat bahwa ini bisa menjadi awal dari supercycle baru untuk logam industri, terutama karena transisi energi global dan kebutuhan infrastruktur yang belum pernah sebesar ini.
Namun di balik euforia pasar, risiko tetap ada yakni dari gangguan geopolitik, perubahan arah kebijakan moneter, hingga kemungkinan intervensi pemerintah dalam pengendalian harga.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
