Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,87% ke level 7.484,34 pada akhir perdagangan hari kemarin, Kamis (31/7/2025).
Dari pasar saham AS, bursa Wall Street ambruk berjamaah pada perdagangan Kamis atau Jumat dini hari waktu Indonesia.
Indeks S&P 500 turun 0,37% dan ditutup di 6.339,39 sekaligus menandai penurunan tiga hari berturut-turut. Sementara itu, Nasdaq Composite nyaris stagnan, melemah tipis 0,03% ke level 21.122,45. Keduanya sempat menyentuh rekor intraday sebelum akhirnya mundur dari level tersebut. Dow Jones Industrial Average anjlok 330,30 poin atau 0,74%, berakhir di 44.130,98.
Dua anggota "Magnificent Seven", yaitu Microsoft dan Meta, masing-masing melonjak sekitar 4% dan 11% setelah melaporkan kinerja keuangan kuartalan yang melampaui ekspektasi.
Microsoft mengungkapkan bahwa pendapatan tahunan dari layanan cloud Azure telah melampaui US$75 miliar.
Sementara itu, Meta memberikan proyeksi penjualan kuartal ketiga yang optimistis dan juga melampaui ekspektasi analis. Kinerja solid Microsoft mendorong kapitalisasi pasar perusahaan tersebut menembus US$4 triliun.
Namun, kenaikan saham teknologi belum mampu mengangkat pasar secara keseluruhan. Sembilan dari sebelas sektor dalam indeks S&P 500 ditutup di zona merah.
Dalam indeks Dow, saham UnitedHealth dan Merck memimpin pelemahan, masing-masing merosot 6% dan 4%.
"Reaksi pasar-meski didukung laba yang kuat, belanja modal yang tinggi, dan aksi buyback semakin sulit dijustifikasi, Namun di sisi lain, tekanan penurunan sejauh ini masih relatif terbatas" kata Joseph Cusick, wakil presiden senior dan manajer portofolio di Calamos Investments, kepada CNBC International.
Sentimen pasar juga tertekan oleh perubahan ekspektasi terhadap kebijakan The Fed. Rapat bank sentral pekan ini membuat banyak investor kembali meragukan kemungkinan penurunan suku bunga pada September mendatang.
Selain itu, tenggat waktu dari Gedung Putih pada Jumat untuk menaikkan tarif impor secara signifikan terhadap mitra dagang utama dari India hingga Brasil juga menambah tekanan.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa tarif 25% terhadap impor asal Meksiko akan diperpanjang selama 90 hari ke depan.
Meski demikian, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengatakan pada hari Kamis bahwa negosiasi dengan China telah mencapai titik di mana kedua pihak memiliki kerangka kesepakatan.
Namun, Bessent tidak memberikan rincian atau waktu kapan kesepakatan itu akan dicapai. AS dan China memiliki batas waktu hingga 12 Agustus sebelum masa gencatan senjata atas tarif agresif berakhir.
Pada Kamis juga menandai penutupan bulan yang relatif kuat di Wall Street. Sepanjang Juli, S&P 500 naik 2,2%, sementara indeks Dow yang terdiri dari 30 saham hanya mencatat kenaikan tipis sekitar 0,1%. Ini merupakan bulan positif ketiga berturut-turut bagi kedua indeks. Nasdaq naik 3,7% pada periode yang sama, mencetak kemenangan bulanan keempat berturut-turut.
Dua raksasa teknologi lainnya, Apple dan Amazon, dijadwalkan merilis laporan keuangan mereka setelah penutupan pasar hari Kamis.
Pasar global dan domestik akan menerima serentetan kabar yang berpotensi mengguncang arah ekonomi. Di tingkat global, tenggat negosiasi tarif Presiden AS Donald Trump resmi jatuh tempo. Negara-negara yang gagal mencapai kesepakatan dagang, termasuk India dan China, berisiko dikenai tarif tambahan hingga 35%, sementara negara seperti Indonesia, Jepang, dan Uni Eropa sudah mengamankan posisi dengan berbagai kompromi dan janji investasi jumbo.
Di dalam negeri, Indonesia bersiap merilis data penting. PMI manufaktur, inflasi Juli, dan neraca dagang Juni 2025. Ketiganya menjadi cermin apakah ekonomi mulai pulih atau masih dalam tekanan.
Setidaknya ada lima faktor yang bisa membuat gerak IHSG, rupiah dan SBN hari ini dalam tekanan yakni negoisasi dagang Trump, data inflasi, data PMI, hasil laporan keuangan, hingga lonjakan dolar AS.
Deadline Tarif Trump, Siapa Aman, Siapa Terancam?
Dunia bersiap menyambut Jumat (1/8/2025) sebagai tenggat akhir negosiasi dagang global dengan Amerika Serikat.
Presiden AS Donald Trump menegaskan akan menjatuhkan gelombang tarif baru bagi negara-negara yang belum mencapai kesepakatan bilateral, dengan tarif dasar antara 15% hingga 35%, bahkan lebih tinggi untuk negara-negara dengan surplus dagang besar terhadap AS
Beberapa negara berhasil mengamankan kesepakatan. Indonesia, Jepang, Inggris, Korea Selatan, Vietnam, Filipina, dan Uni Eropa termasuk di antaranya.
Indonesia, misalnya, sukses menurunkan tarif dari 32% menjadi 19% dalam kesepakatan dagang yang diumumkan 15 Juli lalu. Jepang dan Korea Selatan sepakat memberlakukan tarif 15% untuk produk mereka, disertai janji investasi jumbo ke AS senilai ratusan miliar dolar.
Namun, tidak semua berjalan mulus. China belum mencapai kesepakatan final dan hanya menyepakati perpanjangan gencatan senjata tarif hingga 12 Agustus.
Dalam negosiasi di Stockholm awal pekan ini, belum ada kejelasan apakah tarif 30% terhadap produk China akan ditekan atau justru kembali dinaikkan. Sementara itu, isu sensitif seperti TikTok dan Taiwan tak dibahas dalam forum tersebut, memperlihatkan masih lebarnya jurang antara kedua kekuatan ekonomi dunia itu.
Nasib India, Kanada, Meksiko, dan Australia juga masih menggantung. India sudah dikenai tarif 25% oleh Trump karena dinilai terlalu proteksionis dan terlalu dekat dengan Rusia. Kanada dan Meksiko terancam tarif tinggi karena masalah migrasi dan narkotika lintas batas. Australia masih menegosiasikan tarif dasar, namun posisinya rawan jika tarif minimum dinaikkan menjadi 15%-20%.
Dengan deadline tinggal beberapa jam, investor global menanti apakah babak baru tensi perdagangan akan dimulai atau justru tertunda lewat kompromi diplomatik. Yang jelas, keputusan Trump seperti biasa akan jadi penentu utama arah pasar.
RI Tunggu Data Tiga Serangkai Manufaktur, Inflasi, dan Neraca Dagang
Hari ini (1/8/2025), ada tiga indikator ekonomi Indonesia yang akan dirilis yang mencerminkan denyut ekonomi. PMI Manufaktur Juli, inflasi bulanan, dan neraca perdagangan Juni. Ketiganya akan memberikan gambaran apakah roda ekonomi domestik mulai membaik, atau justru masih terjebak.
Dari sektor manufaktur, ekspektasi pasar belum terlalu optimistis. Setelah mencatat kontraksi selama tiga bulan berturut-turut, PMI manufaktur Indonesia diperkirakan masih akan bertahan di bawah level 50 atau kontraksi.
Sebagai catatan, pada Juni 2025, PMIi berada di zona kontraksi 46,9, hanya sedikit membaik dari Mei (47,4) dan April (46,7). Ini menjadi level terburuk kedua sejak Indonesia dihantam gelombang Covid-19 Delta pada 2021. Pulihnya permintaan belum cukup kuat untuk mengangkat aktivitas pabrik ke zona ekspansi.
Sementara itu, dari sisi harga, inflasi Juli diperkirakan sedikit menghangat dibanding bulan sebelumnya.
Hari ini, Jumat (1/8/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data inflasi Juli. Sejumlah ekonom memperkirakan tekanan harga bakal meningkat, utamanya dari sektor pangan dan energi.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi bulanan (mtm) sebesar 0,23%, dan tahunan (yoy) 2,29%. Inflasi inti diperkirakan stagnan di 2,33% yoy
Kenaikan harga beras menjadi salah satu pemicu utama. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) menunjukkan harga beras naik 1,9% secara bulanan menjadi Rp15.824/kg. Cabai rawit melonjak 14,4% ke Rp61.617/kg, dan bawang merah naik 5%. Harga telur dan daging ayam juga ikut menanjak. Musim liburan sekolah dan awal ajaran baru turut memberi tekanan tambahan dari sisi permintaan.
Tak hanya pangan, kenaikan harga BBM non-subsidi sejak 1 Juli juga berkontribusi. Pertamax, Pertamax Turbo, dan Dexlite masing-masing naik Rp300-Rp600 per liter. Kenaikan ini membawa efek domino ke biaya logistik dan transportasi, mendorong harga barang dan jasa lain ikut menyesuaikan.
Jika realisasi inflasi Juli benar-benar menyentuh proyeksi pasar, maka ini akan menjadi inflasi bulanan keempat sepanjang 2025. Perputaran ekonomi memang kembali bergerak, tetapi tekanan biaya hidup juga makin terasa bagi masyarakat.
Untuk neraca perdagangan, data Juni yang juga akan diumumkan hari ini menjadi perhatian tersendiri. Pada Mei 2025, Indonesia mencatat surplus US$4,30 miliar, jauh di atas ekspektasi pasar. Jika tren ini berlanjut, maka neraca dagang bisa menjadi penyangga penting bagi stabilitas eksternal, apalagi di tengah tekanan kurs dan potensi pelemahan ekspor akibat perlambatan ekonomi global, termasuk dari China.
Polling CNBC Indonesia dari 12 institusi menunjukkan surplus dagang akan menyempit menjadi US$ 3,2 miliar pada Juni 2025.
Inflasi PCE Amerika Serikat
Indeks pengeluaran pribadi warga AS atau PCE naik 0,3% secara bulanan pada Juni 2025, kenaikan terbesar dalam empat bulan terakhir, setelah revisi naik sebesar 0,2% pada Mei, dan sesuai dengan ekspektasi pasar.
Harga barang meningkat 0,4%, lebih tinggi dibandingkan kenaikan 0,1% pada Mei, sementara harga jasa naik 0,2%, sama seperti bulan sebelumnya.
Indeks PCE inti, yang tidak mencakup harga makanan dan energi, naik 0,3%, mencatatkan kenaikan bulanan terkuat dalam empat bulan, setelah naik 0,2% pada Mei, dan juga sesuai dengan perkiraan.
Secara terpisah, harga makanan naik 0,3%, setelah naik 0,2% pada Mei, sementara harga energi dan jasa terkait energi melonjak 0,9%, pulih dari penurunan 1% sebelumnya.
Secara tahunan, inflasi PCE keseluruhan meningkat untuk bulan kedua berturut-turut, mencapai 2,6% pada Juni dari revisi naik 2,4% pada Mei, dan melampaui ekspektasi sebesar 2,5%.
Sementara itu, inflasi PCE inti tetap stabil di angka 2,8%, tetapi angka untuk bulan Mei direvisi naik dari 2,7% menjadi 2,8%.
Inflasi PCE adalah laju inflasi yang menjadi patokan utama The Fed dalam menentukan kebijakan. Dengan inflasi yang naik maka The Fed bisa semakin lama menahan suku bunga.
Dolar Makin Perkasa
Dolar AS makin perkasa dalam sepekan terakhir. Indeks dolar bahkan kini sudah menyentuh rekor tetringginya sejak 21 Mei 2025 atau lebih dari dua bulan.
Lonjakan dolar ini menandai jika investor asing tengah kembali memburu dolar AS dan meninggalkan instrumen investasi lainnya, terutama rupiah.
Outflow dari pasar saham, rupiah hingga SBN pun kini mengancam Indonesia.
Parade Kinerja Emiten
Semester I-2025 membawa ragam warna bagi emiten papan atas. Beberapa masih mencetak pertumbuhan, tapi tidak sedikit yang mulai tertekan oleh beban operasional, tekanan harga jual, hingga perubahan peta permintaan.
Dari sektor perbankan, consumer goods, hingga tambang, laporan keuangan yang dirilis Kamis 31/7/2025 kemarin menyajikam performa yang makin beragam.
BBRI: Laba Turun, Kredit Tetap Tumbuh
BRI mencatatkan laba bersih Rp26,53 triliun sepanjang semester I-2025, terkoreksi 11,25% secara tahunan. Penurunan ini terjadi di tengah tekanan margin bunga bersih yang menyempit ke 6,58%, dan lonjakan beban operasional yang mendorong rasio BOPO ke 71,8%.
Meski demikian, fungsi intermediasi tetap ekspansif. Kredit naik 6% yoy menjadi Rp1.416 triliun, dengan porsi UMKM mencapai 80%. Dana pihak ketiga naik ke Rp1.482 triliun, ditopang CASA stabil di kisaran 65%.
Transformasi digital juga menunjukkan hasil. BRImo mencatat pertumbuhan pengguna 21%, Qlola dan AgenBRILink mencetak lonjakan volume transaksi. Perseroan juga aktif menyalurkan KUR dan program bantuan sosial, mengokohkan posisi BRI sebagai tulang punggung pembiayaan akar rumput.
UNVR, Merek Inti Bangkit, Strategi Dua Arah
Laba Unilever tercatat Rp2,2 triliun, turun 12,6% yoy, namun rebound kuat dibanding semester sebelumnya. Penjualan bersih Rp18,2 triliun hanya turun 4,4% yoy, tapi naik 13% dibanding paruh kedua 2024.
Beauty & Wellbeing tumbuh 36%, jadi lokomotif baru. Produk inti seperti Pepsodent dan Royco kembali menunjukkan performa.
UNVR menjalankan strategi mendorong premiumisasi, sekaligus memperkuat penetrasi ke segmen harga terjangkau lewat produk Rp500-Rp1.000.
Buyback Rp2 triliun dikunci, sebagai sinyal kepercayaan pada arah pemulihan kinerja jangka menengah.
BYAN, Naik Pendapatan, Turun Laba, Ramping Liabilitas
Bayan Resources mencatatkan pendapatan US$1,62 miliar, tumbuh 5,3% yoy. Namun laba bersih justru turun 7,3% menjadi US$349 juta, seiring pelemahan margin kotor ke US$526 juta.
Struktur biaya terlihat menekan kinerja, meskipun dari sisi neraca, liabilitas turun signifikan ke US$923 juta.
Utang usaha kepada pihak berelasi turun tajam, mencerminkan langkah perseroan merampingkan kewajiban. Secara operasional, BYAN masih dalam posisi aman, tapi tidak sekuat tahun lalu dari sisi bottom line.
AMMN, Jatuh Bebas dari Puncak Laba
Amman Mineral mencatat kerugian bersih US$153 juta, berbanding terbalik dengan laba US$443 juta pada semester I tahun lalu. Pendapatan amblas 88% ke US$182 juta, dan rugi operasional tercatat US$30 juta.
Laba kotor ikut tergerus hingga 93%, mencerminkan tekanan berat baik dari sisi harga maupun volume.
Menariknya, aset justru naik jadi US$12,6 miliar, seiring lonjakan kas ke US$1 miliar. Tapi liabilitas juga membengkak US$1,75 miliar-tanda tekanan likuiditas masih membayangi.
INCO, Produksi Naik, Tapi Beban Belum Longgar
Vale Indonesia bukukan laba bersih US$25 juta, turun 32% yoy. Padahal produksi nikel matte naik 9% secara kuartalan dan harga jual rata-rata ikut menguat tipis.
Sayangnya, beban pokok tetap dominan di atas US$396 juta.
Efek royalti baru dan pemeliharaan membuat margin tak banyak bergerak. Aset stagnan di US$3,17 miliar, tanpa ruang pertumbuhan berarti di semester pertama ini.
BUMI Laba Turun, Emas Jadi Penyelamat Sementara
BUMI mengantongi pendapatan konsolidasian US$677 juta, naik 13,8% yoy, ditopang kenaikan tajam penjualan emas dan perak. Tapi laba bersih justru turun ke US$38 juta, longsor 58,5% dari tahun lalu.
Kinerja entitas asosiasi melemah drastis, hanya menyumbang US$15 juta dari sebelumnya US$45 juta.
Aset turun ke US$3,92 miliar, menyusul beban pokok yang naik dan margin kotor yang makin tipis.
PTBA, Margin Kotor Tergerus, Utang Dividen Membengkak
Bukit Asam hanya mencetak laba Rp962 miliar, anjlok 61% yoy. Pendapatan tumbuh tipis 4%, tapi beban pokok naik jauh lebih cepat, menekan margin kotor ke 11%.
Beban umum dan administrasi ikut naik, dan penghasilan lain-lain turun drastis karena selisih kurs. Liabilitas melonjak akibat utang dividen Rp3,8 triliun, yang masih tertahan di neraca hingga akhir Juni.
RATU, Laba Tipis, Neraca Membaik Usai IPO
Raharja Energi mencatatkan laba bersih US$7,65 juta, hanya naik tipis 3% yoy. Pendapatan malah turun 10%, tapi efisiensi beban pokok mendorong margin kotor ke 47%.
Aset naik ke US$64 juta, ditopang lonjakan kas hasil IPO Januari lalu.
Pinjaman bank jangka pendek ditekan hingga 59%. Kinerja masih ramping, tapi disiplin biaya dan modal baru membuat struktur keuangan jauh lebih sehat.
Manufaktur China Kembali Melemah, Sinyal Tekanan Eksternal Meningkat
Sektor manufaktur China kembali mengalami kontraksi pada Juli 2025. PMI manufaktur tercatat di level 49,1, turun dari 49,5 pada bulan sebelumnya dan berada di bawah ekspektasi pasar. Ini menjadi bulan kelima berturut-turut aktivitas industri di Negeri Tirai Bambu berada di bawah ambang ekspansi.
Tekanan permintaan global masih membayangi. Subindeks pesanan ekspor baru tetap berada di zona kontraksi, mencerminkan belum pulihnya pasar luar negeri. Sementara itu, PMI non manufaktur juga melemah ke 51,5 dari 53, mengindikasikan pelambatan pada sektor jasa dan konstruksi terutama terkait tekanan di sektor properti dan konsumsi domestik.
Bagi negara mitra dagang seperti Indonesia, tren ini menjadi perhatian. Lesunya industri manufaktur China kerap berdampak pada permintaan komoditas seperti batu bara, nikel, dan CPO. Jika kontraksi berlanjut, tekanan terhadap ekspor dan harga komoditas bisa makin terasa di paruh kedua tahun ini.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Deadline Tarif Trump
- S&P mengumumkan data PMI Manufaktur Indonesia Juli
- BPS mengumumkan neraca perdagangan Juni 2025
- BPS mengumumkan data inflasi Juli 2025
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
-
RUPS PT Gunanusa Eramandiri Tbk GUNA
-
RUOS PT Indo Komoditi Korpora Tbk
-
Tanggal Pembayaran Dividen Tunai PT Mitra Adiperkasa Tbk MAPI
-
Tanggal Pembayaran Dividen Tunai PT Wira Global Solusi Tbk WGSH
-
Tanggal Pembayaran Dividen Tunai PT Cipta Perdana Lancar Tbk PART
-
Tanggal cum Dividen Tunai Interim PT PAM Mineral Tbk NICL
-
Pencatatan obligasi seri Surat Perbendaharaan Negara Seri SPN12260730 , Obligasi Negara RI Seri FR0104 , Obligasi Negara RI Seri FR0108, Obligasi Negara RI Seri FR0106, Obligasi Negara RI Seri FR0107 , Obligasi Negara RI Seri FR0102, Obligasi Negara RI Seri FR0105
Pencatatan obligasi seri Surat Perbendaharaan Negara Seri SPN12260730 , Obligasi Negara RI Seri FR0104 , Obligasi Negara RI Seri FR0108, Obligasi Negara RI Seri FR0106, Obligasi Negara RI Seri FR0107 , Obligasi Negara RI Seri FR0102, Obligasi Negara RI Seri FR0105
Berikut Indikator Ekonomi RI:
CNBC Indonesia Research
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.